"Aku bisa menahan luka sesakit apapun, asal luka itu tidak berasal dari Ibu."
-Zirena Nameera Ahmad-
***
"ASTAGFIRULLAH!" Zirena terperanjat, nyaris terjatuh saat buru-buru membalikkan badan untuk membelakangi sepasang sejoli yang dimabuk asmara itu. Tangan kirinya serta merta terangkat menutupi mata dari pemandangan terlarang.
"Maaf. Saya tidak lihat apa-apa, kok. Suerrr." Tangan kanan Zirena terjulur ke atas, membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan tengahnya. Entah bagaimana ekspresi bosnya dan si pacar yang baru saja kepergok. Zirena enggan berbalik. "Anu, saya permisi. Silakan dilanjut lagi kegiatannya."
Menggunakan kecepatan maksimal, Zirena ngacir menaiki tangga kembali ke rooftop. Terpaksa mengurungkan tujuan ke dapur kantor untuk mengambil beberapa kaleng cola yang diminta Dika. Setibanya di atas, gadis itu memilih bersandar sejenak pada dinding dekat pintu penghubung antara kediaman Adam dan roof garden.
Dia memegangi dadanya yang kembang kempis mengatur napas. Ngos-ngosan menapaki anak tangga sekaligus efek terkejut karena menyaksikan adegan 'romantis' barusan. Astagfirullah.
"Jadi kayak gini rasanya kalo lihat live kissing?" Zirena merasakan jantungnya berdebar, entah jenis debar yang sama saat menonton pemeran utama drama korea berciuman, atau debar tidak nyaman karena melihat yang tak seharusnya dilihat. "Lagian, kenapa mereka harus di sana, sih, gituannya? Kayak tidak ada tempat lebih private aja."
"Private untuk apa?" Double kaget. Dika tahu-tahu membuka pintu dan melongokkan kepalanya. "Aku baru mau nyusul ... loh, cola-nya mana?"
Zirena mencari-cari alasan sebagai jawaban ke Dika yang bingung mendapatinya kembali dengan tangan kosong. Meski lelaki tinggi kurus itu sempat memicingkan mata curiga, namun akhirnya dia mengiyakan saja ucapan Zi.
Hampir setengah jam berlalu. Tidak ada tanda-tanda Adam akan kembali ke atas. Oleh karena itu Zirena pamit pulang lebih dulu. Arloji mungil yang melingkar manis di pergelangan kanannya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kasian Ibu di rumah kelamaan sendiri jika dia tinggal lebih lama.
Selama melangkah menuju tempat motornya terparkir, gadis itu berdoa agar tidak berpapasan dengan Adam maupun Anggun. Dia belum siap harus memasang tampang seperti apa, yang pasti mustahil baginya berlagak biasa saja.
Fiuh. Satu helaan lega lolos dari paru-paru Zirena. Dalam hitungan detik dia menyalakan si scoopy, lantas melaju cepat meninggalkan studio.
***
Bagaimana perasaanmu ketika ingin sekali mengatakan sesuatu namun di satu sisi kamu juga mati-matian menahannya di lidah? Asli tidak enak. Seperti itulah yang Zirena rasakan. Lisannya gatal sekali mau menyampaikan ke Ibu tentang sosok Ayah yang baru-baru ini dilihatnya. Sedikit saja lengah, maka informasi tak berfaedah—baginya—ini akan lolos dari mulutnya.
"Syukur masih bisa tutup mulut," gumam Zirena sambil memotong-motong kentang membentuk dadu. Hari ini Adam standby di kantor, itu artinya dia wajib menunaikan tugas memasak makan siang. Dan, di sinilah dia sekarang, dapur mungil ber-kitchen set minimalis milik bosnya.
"Ehm." Zirena mengumpat dalam hati begitu mendengar dehaman seseorang yang teramat dihindarinya.
Langkah kaki Adam terdengar kian mendekat, membuat jantung Zirena serasa jumpalitan. Dia tidak siap disidang atas kecerobohannya semalam. Tanpa sadar genggamannya pada pisau dapur semakin mengerat.
Dan ... suara kulkas terbuka seketika membikin Zirena menghembuskan napas lega. Rupanya dia berpikiran terlalu jauh. Dari ekor matanya dia melirik Adam. Lelaki itu mengenakan kaos longgar lengan panjang V-neck berwarna putih dan celana pendek selutut. Rambutnya tergerai agak basah, pertanda baru selesai mandi. Mau ngantor jam berapa dan pakai apa suka-suka dia. Bos mah bebas.
Adam mengeluarkan sebotol mineral dingin. Membukanya di tempat lalu meminumnya dalam beberapa kali tegukan.
Zirena buru-buru menarik mata tatkala lelaki itu menoleh ke arahnya. Dia pura-pura sibuk dengan sayur mayur siap potong di atas talenan. Lantas pada detik kesekian gerakan tangannya berhenti oleh ucapan Adam.
"Lupakan apapun yang kamu lihat semalam." Kalimat singkat itu keluar dari mulut Adam. Lancar dan jelas. Pendengaran Zirena sama sekali tak menangkap nada salah tingkah, tidak nyaman, maupun gugup di sana.
"Otak manusia tidak diciptakan untuk melupakan, Pak." Jika melupakan semudah itu, maka aku tidak perlu kesulitan karena teringat kenangan buruk. "Daripada melupakan, saya akan berusaha pura-pura tidak mengingat apa yang saya lihat." Jangan tanya dari mana keberanian Zirena sehingga mampu menjawab Adam sedemikian rupa.
"Terserah kamu saja. Saya hanya tidak ingin kamu merasa kurang nyaman atau apa. Karena saya pribadi tidak peduli." Adam mengedikkan bahu. Caranya melihat Zirena datar dan tajam. Sejurus kemudian dia beranjak meninggalkan dapur. Langkahnya mengarah ke tangga, sepertinya akan ke ruang kerja di lantai dua.
Zirena mendengkus tidak percaya. Tidak peduli katanya? Setidaknya lelaki itu harusnya malu. Belum halal sudah nyosor. Tapi itulah yang orang-orang lakukan ketika jatuh cinta, Zi...satu suara dari dasar hatinya berceletuk. Iya, tapi tidak disaat hal itu masih haram bagi mereka...suara lain menyahut.
Tanpa bermaksud mengurusi gaya hidup seorang Adam, Zirena mengiyakan sahutan suara yang kedua. Dia juga pernah jatuh cinta dan menjalin kasih dengan seseorang. Namun didikan ketat dari Ibu perihal batasan-batasan dalam agama menjadikan dirinya tegas akan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama menjalin kasih.
Karena itulah 'dia' mengkhianati kamu, Zi. Kamu tidak memberikan apa yang dibutuhkan seorang lelaki saat jatuh cinta. Keintiman..., suara pertama kembali berujar.
"Heh, kalau itu sih bukan cinta. Tapi nafsu," bentak Zirena lebih kepada dirinya sendiri agar tak terhasut bisikan-bisikan negatif.
***
Rumah Zirena jarang sekali kedatangan tamu selain Indira dan Sagita. Karena itu dia sedikit penasaran siapa gerangan yang sesore ini berkunjung ke kediamannya. Gadis itu melewati avanza silver yang terparkir di depan. Dia terus mengendarai scoopy memasuki halaman samping, memarkirkannya di bawah pohon mangga.
Ibu duduk di kursi yang menghadap keluar. Zirena sempat melihat wanita tersayangnya itu memasang ekspresi yang tidak biasanya. Karena itu selesai menurunkan standar samping motornya, dia bergegas mendekati rumah.
"Saya ingin bertemu Zirena, Dijah." Kaki Zirena memaku tepat selangkah dari depan pintu masuk. Dia bisa saja tidak mengenali suara itu lagi, tetapi caranya menyebut nama Ibu bagai sambaran petir di siang bolong yang menghantam kesadarannya. Tidak salah lagi, orang itu ada di sini. Ayahnya.
Dengan gerakan patah-patah dan pelan, gadis yang baru pulang kerja itu masuk usai mengucap salam. Lehernya terasa diikat puluhan kilogram beban hingga sulit baginya menoleh ke belakang. Ibu berdiri menyambutnya. Tatapan Ibu seolah menyiratkan sesuatu, namun Zirena terlalu terkejut untuk mengartikannya.
"Zirena..." Ayahnya memanggil. Jika tidak salah tangkap, suara lelaki tua itu sarat kerinduan. Rindu? Omong kosong!
Zirena membalik badan menghadap Ayahnya. Sama seperti Ibu, gurat garis waktu terukir jelas di wajahnya. Dia menilik tajam bak menghunus pedang pada sang Ayah dengan penuh kebencian. Kakinya mendadak kehilangan tenaga menopang tubuh saking besarnya rasa benci yang dipikul selama ini.
"Mau apa Anda ke sini?" tanya Zirena sinis, masih dalam keadaan berdiri di samping Ibu. "Tidak seharusnya Anda kembali ke tempat di mana orang-orang yang Anda buang berada!"
Ibu menyentuh pundak Zirena, menenangkan. Inilah yang dia khawatirkan saat mantan suaminya datang tanpa mengabari. Ibu sudah memaafkan masa lalu, tapi tidak dengan anak gadisnya yang keras kepala ini.
Lelaki tua berkulit coklat gelap itu terdiam. Lidahnya kelu menerima penolakan dari darah dagingnya. Sepantasnya memang dia mendapatkan hukuman seperti ini.
"Sebaiknya Anda pergi dari sini. Tidak ada tempat untuk orang asing dalam rumah kami. Pergi!"
"Tenang, Zi. Ibu tidak pernah mengajarimu untuk bersikap tidak sopan pada orang tua." Ibu mencoba menasihati.
"Tidak, Bu. Zi tidak bisa sopan pada laki-laki ini. Dia tega meninggalkan Ibu, meninggalkan putri kecilnya demi wanita lain! Dia tidak pantas kusebut orang tua!"
Plak!
Sambaran keras nan telak di pipi Zirena kontan membungkam gadis itu dari aksi teriak-teriak. Dia tergugu di tempat. Rasa panas dan berdenyut nyeri sekonyong-konyong menjalar dari pipi sampai ke hatinya.
Dia menatap Ibu tak percaya. Baru sekali ini dia terluka melebihi apa yang pernah dia rasakan saat ditinggal Ayah.
Sementara lelaki yang menjadi penyebab keributan ini terbelalak. Mungkin tidak menduga Dijah melayangkan tangan pada sang putri. Dia melirik mantan istrinya. Wanita paruh baya itu menangis tanpa suara, tangannya bergetar.
Zirena menggigit bibirnya keras, menahan isakan agar tak meluncur dari mulutnya. Gejolak emosi yang dia tahan itu justru menyebabkan dadanya terasa sakit. Sebelah tangannya menyentuh pipi yang terkena tamparan Ibu. Tangan lainnya mengepal keras seiring aliran air terjun bebas dari pelupuk matanya yang memerah.
"Ma ... maafkan Ibu, Zi. Ibu tidak bermaksud..." Ibu mengatupkan mulut, tak melanjutkan kalimat. Oh tidak, dia teramat salah menyakiti putrinya, namun akan lebih salah kalau membiarkan Zirena berlaku kurang ajar. Lihatlah, tatapan pilu dan terluka itu. Ya Allah....
Napas Zirena kian tersengal oleh tangis yang minta diluapkan. Tanpa mengatakan apa-apa, dia menyambar helem yang diletakkan di meja tadi. Menghampiri scoopy, menyalakan, dan melajukannya secepat mungkin. Menjauh dari rumah, dari Ibu, dari lelaki itu. Dari semua drama yang bertamu dalam hidupnya.
Dia tak menoleh sekalipun Ibu berteriak menyebut-nyebut namanya. (*)