STEP 16 - Tidak Beres

1247 Kata
"Jangan menyepelekan cinta. Dia bisa datang di waktu tak terduga dan pada orang yang tak pernah disangka." —Zirena Nameera Ahmad— *** Zirena menggamit manja lengan Ibu. Kepalanya bersandar santai pada batas bahu wanita paruh baya itu. Sementara, matanya terpejam menikmati alunan lagu Payung Teduh 'Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan' yang terputar melalui radio mobil. Mereka sudah melewati tiga perempat jarak tempuh menuju Fort Rotterdam, salah satu kawasan wisata di kota Anging Mammiri. Di tempat itu tengah diadakan festival budaya dan kuliner, sebab itu Zirena mengajak sang ibunda menghabiskan malam minggu di sana. "Ibu ingin sekali melihat kamu mengenakan hijab, Zi," ucap Ibu tiba-tiba tatkala tangan rentanya mengusap lembut mahkota panjang Zirena. "Zi belum siap, Bu." "Lantas kapan siapnya? Berhijab itu kewajiban bagi tiap muslimah yang sudah balig. Siap tidak siap." Kapan siap? Zirena belum tahu jawabannnya. Sebagai wanita muslim, dia memang belum merasa lengkap tanpa mengenakan kain yang lebih dari sekadar penutup aurat itu. Tapi, apa ya ... seperti ada sesuatu yang masih menahan hatinya dan dia tidak tahu bagaimana mengungkapnya lewat kata. Baginya, berjilbab itu sakral sesakral mengucap ijab qobul depan penghulu. Bukan hanya tentang menggunakan selembar kain, karena banyak hal-hal penting yang mengikuti ketika diri memutuskan untuk berhijab. Mulai dari perilaku sampai ke-istiqomah-an. Dia tidak ingin suatu hari nanti dirinya menjadi salah satu dari mereka yang melepas jilbab atas dalil tidak siap dan lainnya. "Doain ya, Bu," pinta Zi, tulus dari hati terdalam. Gadis itu lantas menarik diri dari Ibu, menyiapkan sejumlah uang. Taxi online yang mereka tumpangi hampir tiba di tujuan. Lokasi event tampak ramai oleh pengunjung yang mulai berdatangan. Sejauh mata memandang, bangunan-bangunan kuno berarsitektur belanda menyambut. Tidak hanya itu, berbagai stand makanan sudah unjuk gigi dengan saling saing menguarkan aroma sajian mereka. Zirena mengajak Ibu mengunjungi salah satu kios minuman. Sejak tadi lehernya menahan dahaga. "Ibu mau coba mojito?" Zirena mengulurkan satu cup kecil minuman bening beraroma mint kepada Ibu. Gadis berkuncir itu terkikik pelan melihat bagaimana ibunya bereaksi saat menghabiskan minuman itu dalam sekali tenggak. Selama tiga puluh menit lebih ibu dan anak itu mengelilingi sebagian area festival. Bermacam makanan ringan telah dicicipi. Sedangkan sebagian lainnya akan mereka telusuri usai melaksanakan salat isya. Ibu dipersilahkan Zirena untuk berwudu lebih dulu begitu ada bagian yang kosong. Jumlah keran air terbatas sehingga mereka harus mengantri dengan pengunjung lainnya. Sembari menanti Ibu selesai, gadis itu menyapukan pandangan ke sekitar musala. Lalu, pada satu titik tatapannya terhenti. Sosok itu berada di sana, tengah membaur bersama para lelaki yang juga sedang berwudu. *** "Bu, ini Pak Adam. Bosnya Zi di tempat kerja yang baru." Adam menjulurkan tangan, menyalami Ibu dan sedikit membungkuk untuk mengecup punggung tangan wanita berjilbab lebar itu. Sesaat Zirena terkesima. Jarang sekali menemukan lelaki yang memperlakukan orang tua sedemikian rupa saat berkenalan. Waktu mendapati bosnya di tempat wudu, Zirena mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan diri tidak salah lihat. Meski pangling, dirinya mengucap syukur atas perubahan lelaki itu yang baru diketahuinya. "Terima kasih, Nak Adam. Sudah mau menerima anak saya kerja di tempat kamu." Alih-alih mendengarkan percakapan ibunya dan Adam, Zirena justru sibuk memerhatikan perubahan pada diri bosnya. Kumis dan janggut lelaki itu sepertinya belum tersentuh pisau cukur selama hampir seminggu. Lebih panjang dibanding terakhir kali Zirena bertemu Adam. Lalu, amatannya merangkak naik, tertumbuk pada kantung mata yang tercetak jelas di bawah sepasang mata tajam Adam. Wajahnya bahkan sedikit menirus. Dari apa yang dia dengar dari Dika,  Adam jadi gila kerja. Mengambil job diluaran sebanyak mungkin hingga dirinya kurang tidur. Entah apa yang telah terjadi, Dika juga bilang Adam menjadi bukan seperti dirinya yang biasa. "Bapak dalam rangka apa ada di sini?" tanya Zirena, mengalihkan diri kegiatan curi-curi pandangnya. "Saya dan Dika mengikuti lomba food photography dan kontes pameran foto budaya." "Kak Dikanya mana?" "Di lapangan sama Maman." "Pak Adam baik-baik saja?" Kedua alis tebal Adam bertautan, tidak mengerti pertanyaan terakhir Zirena yang so out of the blue. Zirena sendiri merutuki mulutnya yang lagi-lagi tidak menggunakan rem, main bertanya seenak jidat. "Ya, saya baik-baik saja, Zi. Terima kasih sudah bertanya. Kalau begitu saya pamit dulu, harus kembali ke arena kontes. Mari, Tante." Seuntai senyum dilontarkan Adam sebelum beranjak dari tempat Zirena dan Ibunya berdiri. Sampai punggung tegap lelaki itu hilang di antara keramaian, Zirena masih berdiri di tempat. Tadinya ingin bertanya lebih banyak lagi, namun urung sebab tidak enak pada Ibu. "Kamu suka sama bosmu?" Ibu memberi tatapan penuh selidik. Sedangkan Zirena terbatuk, tersedak liurnya sendiri. "Tidaklah, Bu. Mana mungkin Zi suka. Pak Adam itu udah punya calon." "Kalau calonnya tidak ada, kamu mau?" Zirena melotot mendengarkan pertanyaan-pertanyaan aneh dari Ibu. Cepat-cepat dia menggeleng, lantas membawa Ibu menuju tempat-tempat yang belum dikunjungi. Suka? Ibu ada-ada saja. Bagaimana mungkin dirinya suka pada atasan. Zirena bukan h****n n****+-n****+ w*****d yang sering terjebak cinta antara bos dan karyawan. Dirinya tahu batasan yang tidak boleh dilalui. Toh seperti katanya, Adam telah memiliki calon istri. Walau hingga detik ini dia tidak tahu apakah proses lamaran bosnya minggu lalu berjalan lancar atau tidak. Sayangnya, Zirena lupa bahwa cinta bisa datang dengan cara dan pada orang yang tak terduga. *** Untuk pertama kalinya, Zirena berharap hari senin tidak datang secepat ini. Rasanya dia masih ingin berdiam di rumah. Tidak tahu mengapa beberapa hari ini dia selalu ingin berada di dekat Ibu. Baik untuk bermanja ria layaknya anak kecil maupun sekedar duduk berdua depan televisi sembari mengobrolkan banyak hal. Rindu pada Ibu bahkan segera menyergapnya begitu dirinya ke luar rumah untuk bekerja. Namun, senin tetaplah senin. Suka tidak suka, hari itu tidak akan pernah bertukar tempat dengan jum'at. "Zi, tolong bantu saya rekap pengeluaran bulan ini. Kalau bisa sebelum asar, datanya udah ada di saya. Ok?" Dika meletakkan sejumlah catatan pengeluaran berupa nota juga struk. "Siap, Kak," sahut gadis yang hari ini mengenakan kemeja navy dengan lengan dilipat hingga siku. Diliriknya jarum jam di atas dinding depan meja kerja, sebentar lagi waktu makan siang. "Habis maksi saya kerjakan, Kak. Saya harus ke atas dulu soalnya." "Ok, gak masalah. Ah, tolong buatin makanan yang gizinya lengkap buat Adam, ya. Akhir-akhir ini dia jarang makan. Saya khawatir penyakit pencernaannya kambuh lagi." Zirena mengiyakan dengan ragu. Tidak yakin bahan makanan Adam tersedia banyak, karena mami bosnya itu belum datang lagi membawa stok. Dengan langkah pelan, Zirena menapaki anak tangga. Suasana sepi seperti biasa menyapa dirinya. Begitu kakinya akan berbelok menuju dapur, netranya menangkap sosok Adam yang tengah tertidur gelisah pada sofa panjang di ruang tamu. Kedua tangan besar lelaki itu terlipat di depan d**a, sesekali bergerak mengusap diri sendiri seolah mencari rasa hangat. Penasaran, Zirena akhirnya berjalan mendekat. Dia sedikit membeliak melihat bibir pucat bosnya. Belum lagi keringat dingin berseliweran di sekitar dahinya. Ada yang tidak beres. Ragu-ragu, Zirena menggerakkan maju telunjuknya. Perlahan menyentuh kulit jidat lelaki itu. Awalnya hanya sentuhan pada satu jari, lama-kelamaan dia menggunakan punggung tangannya untuk benar-benar memastikan bahwa Adam sedang demam tinggi. Tanpa babibu, dia bergegas berlari kecil menuruni anak tangga. Berniat menemui Dika secepat mungkin. Napasnya ngos-ngosan begitu tiba di depan pintu studio satu. Dia mengetuk pelan, minta izin menginterupsi pemotretan barang sebentar. Dengan lambaian tangan, Zirena memanggil Dika ke luar. "Kak Dika punya kontaknya Reva?" "Iya. Kenapa, Zi?" "Minta tolong hubungi dong, Kak. Pak Adam demam, mana demamnya tinggi," pinta Zirena dengan nada cemas. Tadinya dia ingin menyuruh Dika membawa Adam langsung ke rumah sakit, tapi sebelum itu keluarganya harus datang lebih dulu. Siapa tahu Adam hanya demam biasa. Kekhawatiran turut tercetak jelas di wajah Dika. Sudah dia duga, hanya menunggu waktu dan saudaranya itu akan tumbang oleh sakit. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN