STEP 15 - Penolakan

1266 Kata
"Kepercayaan ibarat sebuah kaca. Jatuh sekali, mungkin masih bisa disatukan meski tidak utuh lagi. Tapi, jatuh kedua kali menandakan tidak ada lagi yang bisa diperbaiki." -Adam F. Rahadian- *** "Aku gak nyangka kamu masih ingat tempat ini, Sayang." Suara merdu Anggun menelisik masuk indera pendengaran Adam. Wajahnya mendengak, mempertemukan tatapannya dengan manik mata si jelita. Sudut-sudut bibirnya terangkat, membentuk lekuk yang jarang diperlihatkannya pada orang lain. Tentulah Adam masih mengingat sky lounge ini, tempat di mana dia menyatakan rasa pertama kali ke Anggun. Tempat di mana dia mati-matian menutupi kegugupan demi mengucapkan sebuah kalimat cinta. Hari ini, di sini, dengan rasa gugup yang berkali lipat dibanding waktu itu ... Adam akan mengungkap maksud hati untuk meminang sang kekasih. "Aku pengen bilang sesuatu ke kamu." Anggun kembali berujar, seraya mulai menyantap makan malamnya. "Sama," kabar yang mungkin lebih membahagiakan buatmu. Adam begitu yakin rencananya malam ini akan berjalan lancar. Keduanya saling bertukar senyum, tidak sabar menuntaskan rasa penasaran masing-masing. Dalam diam, mereka menikmati hidangan yang tersaji. Kesempatan bagi Adam untuk menyusun kembali kalimat yang akan dia sampaikan. Sementara Anggun pun tampak tengah memikirkan sesuatu. Hanya Tuhan dan dia yang tahu, betapa jantungnya kali ini berdebar tak normal hingga keringat dingin membasahi telapak tangannya.  "Jadi, apa yang ingin kamu bilang ke aku?" Anggun melipat tangannya di atas meja, beberapa lama usai menghabiskan makan malamnya. Sedangkan tangan kanan Adam diam-diam merogoh saku celana, tergenggam erat begitu kotak kecil berlapis kain beludru dijangkaunya. Adam menarik napas dalam-dalam, berusaha membuat dirinya rileks. Entah kebetulan ataukah takdir, sayup-sayup intro lagu dari Yovie and Nuno terdengar. Perlahan mengalun, merambati tiap sudut ruang On20 Bar and Dining. Dengarkanlah wanita pujaanku. Malam ini akan kusampaikan. "Kamu tahu, aku tidak pandai berbasa-basi. Tapi, kali ini izinkan aku mengatakan ini." Jemari kiri Adam bergerak maju, menyentuhkannya pada punggung tangan Anggun yang putih bersih seperti salju. Hasrat suci kepadamu dewiku. "Sejak pertama kali menyadari rasaku untuk kamu, saat itu juga aku bisa melihat kamu ada di masa depanku." Anggun mengulum senyum tipis. Tak menyela sekali pun, membiarkan Adam melanjutkan ucapannya. Dengarkanlah kesungguhan ini. "Saling mengisi hari penuh kasih. Saling mendampingi dalam suka dan duka. Dan, saling mencintai no matter what happens." Aku ingin mempersuntingmu. Tuk yang pertama dan terakhir. Kotak beludru biru yang tadi disembunyikan Adam dalam sakunya, kini telah terjulur ke hadapan Anggun. Penutupnya terbuka, menampakkan cincin emas putih bertahtahkan permata-permata kecil dengan bentuk serupa matahari. "Will you be my perfect partner in life?" akhirnya kalimat itu meluncur lancar. Suaranya begitu dalam, dan penuh keyakinan. Jangan kau tolak dan buatku hancur. Anggun mendekap mulut dengan kedua tangannya. Dia terkesima sekaligus terharu dalam satu waktu. Pandangannya menyiratkan rasa bahagia. Namun, itu hanya berlangsung sekian detik. Ku tak akan mengulang tuk meminta. Satu keyakinan hatiku ini, akulah yang terbaik untukmu. Berat, wanita itu membalas tatapan berharap dari Adam. "I'm so sorry, Dam." Kening Adam mengernyit. "Maaf untuk?" tanyanya, tidak mengerti. Sejurus kemudian, Anggun mengeluarkan amplop panjang dan menyerahkannya ke lelaki itu. Logo IFA Paris tercetak jelas di sudut atas kertas tipis itu. "Terimakasih sudah melamar aku dengan cara semanis ini. Tapi ... Maaf. Aku gak bisa nerima lamaran kamu sekarang." Anggun menghentikan sesaat perkataannya. Hati-hati menilik reaksi Adam. Wajah sumringah pemilik wajah tampan itu berganti kebingungan dan kecewa dalam satu waktu. "Aku masih punya mimpi-mimpi yang ingin aku capai." Anggun kembali menjelaskan, sementara Adam mulai membuka lalu membaca baris demi baris isi surat itu. Telinganya tetap menyimak kata-kata Anggun. "Aku mencintai kamu, juga mencintai cita-citaku." Adam mendengus tak percaya. Dia meletakkan surat itu ke atas meja. Surat pemberitahuan penerimaan Anggun sebagai peserta short course fashion design selama enam bulan di Paris. Tangannya mengepal erat. "Cinta dan cita-cita, bisa berjalan seiringan. Tanpa kamu harus memilih salah satunya, Anggun," ujar Adam, setenang mungkin. Meski hatinya bersiap hancur oleh penolakan yang tak dia sangka. "Tidak bagiku, Dam. Kamu paling tahu seberapa besar usahaku meraih impian. Dan sebuah ikatan hanya akan memperlambat lajuku. Aku ... Aku mungkin ingin menikah, tapi tidak di saat jalan menuju mimpiku terbuka lebar. Dan, kamu pasti sudah paham, pilihan apa yang akan aku pilih di saat seperti ini." Sebisa mungkin Anggun mengabaikan kontak mata dengan Adam. Tidak sanggup mendapati sirat luka di sana. "Jadi ... apa yang kamu inginkan sekarang? Tentang hubungan kita." "Kamu ...." Sesaat Anggun tertegun. Tidak mengira secepat ini Adam mempertanyakan hal itu. Kemudian, dia terlihat ragu menyambung kalimatnya. "Kamu mau nunggu aku?" Adam memejam mata. Pundaknya luruh seiring helaan napasnya. "Aku pikir, selama ini kita sevisi. Ternyata tidak. Kamu melihat pernikahan sebagai hambatan, sementara aku melihatnya sebagai ikatan suci yang mampu membuatku meraih apa yang kuinginkan." Anggun ingin menyela, akan tetapi Adam mendahului. "Kita tidak bisa menapaki jalan yang sama jika pandangan kita tak mampu saling berdampingan. Hubungan cinta tanpa tujuan serupa, tidak akan ke mana-mana." "Jadi ... Kita putus, Dam?" sepasang mata bulat Anggun mulai berkaca-kaca. Dia tidak tahu harus merespon seperti apa lagi. Di satu sisi dia sudah mantap memilih mimpinya, sedangkan di sisi lain dia tidak ingin melepaskan Adam. Tidak bisakah dia menjadi egois kali ini saja? Adam mendongakkan kepala, sekali lagi mengembuskan napas. Kecewanya harus dia telan seorang diri. Detik berikutnya, dia memanggil pramusaji, meminta struk dan menyelesaikan pembayaran. Kemudian bangkit dari duduknya. "Aku pernah bilang kalau aku akan selalu mendukungmu. Kali ini pun tetap sama. Akan kukabulkan apa yang kamu inginkan sebagai bentuk dukungan." Butir bening menetes bersamaan dengan kelopak mata Anggun yang mengerjap. "Adam--" "Ayo, kuantar kamu pulang." *** Mungkin Adam terlalu percaya diri. Lupa kemungkinan ditolak tetap ada meski hanya sekian persen. Dia luput memerhatikan betapa seorang Anggun lebih dari sekedar wanita yang ingin meraih cita. Matanya buta dari melihat seberapa berambisinya sang kekasih selama ini, terlebih tiap kali membicarakan pekerjaannya kala bertemu. Dan, sekarang dia harus menanggung kecewa sebab dirinya kalah saing dari suatu hal bernama fashion design. Susunan Lego masa depan yang telah dia rancang untuk hidup bersama Anggun, rubuh dalam satu jentikan jari. Jika sekedar tentang meraih cita-cita, Adam bisa saja menunggu. Namun, kalimat-kalimat Anggun yang terlontar sungguh membuka matanya lebar-lebar. Mereka teramat berbeda dalam mengartikan hal paling prinsipil dan krusial tentang sebuah ikatan hubungan. Apakah perbedaan itu tidak bisa diberi kesempatan? Entah. Bukannya tidak ingin lebih memperjuangkan apa yang mereka bangun selama ini, tapi ... Adam akan membiarkan Anggun memilih jalannya. Mereka bukan lagi sepasang anak manusia labil. Baik dirinya maupun Anggun telah mengerti arti konsekuensi atas setiap keputusan yang diambil. "Eh, Mas Adam?" Adam melambaikan tangan singkat ke adiknya yang dia temui di ruang keluarga. Tanpa sepatah kata dia melangkah menaiki tangga, menuju kamar yang telah lama tak dia tempati. Dengan keheranan, Reva mengamati punggung kakaknya. Berhenti sejenak dari aktivitasnya mengunyah pocky. Tidak hanya kedatangan tiba-tiba Adam yang terasa ganjil, tapi juga ekspresinya yang semrawut. "Mas Adam nginap aja sekalian, ya? Papi masih di luar kota, Mami nginep di rumah Tante Ratih." Adam masih bisa mendengar teriakan Reva sebelum dirinya benar-benar hilang di balik pintu kamarnya yang kecoklatan. Dia memang berencana untuk bermalam di sini, ragu mengendara hingga ke studio dalam keadaan risau seperti sekarang. Selain itu, baginya, rumah adalah tempat pelarian terbaik dibanding apapun. "Jadi ... kita putus?" Pertanyaan itu terus berulang di benaknya. Bahkan dia bisa membayangkan raut wajah Anggun berada di langit-langit kamar saat wanita itu mengucapkannya. Beginikah akhir kisah yang selama ini dia elukan? Untuk sejenak saja, Adam ingin melupakan titik jungkir balik hubungannya usai makan malam tadi. Matanya memejam perlahan, berharap kantuk segera menyergap sampai dia terlelap. Sayangnya, kantuk pun enggan bersahabat dengan Adam malam ini. Hingga pagi menjelang dia tetap terjaga. Menyisakan tanda tanya di pikiran karyawan-karyawannya begitu dia kembali ke studio, sebab penampilannya yang bisa jadi luar biasa kacau. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN