STEP 21 - Resign

1362 Kata
"Tidak seorangpun ingin terjebak dalam kesedihan yang berlarut-larut. Namun, kehilangan seseorang yang berarti membutuhkan waktu untuk terbiasa tanpa hadirnya." —Zirena Nameera Ahmad— *** Pada hari-hari yang terasa berjalan lambat, ada kala di mana Zirena terbangun oleh alarm alami tubuhnya. Salat sepertiga malam seperti biasa sebelum beranjak menuju dapur. Kemudian, dia akan terhenyak di tempat begitu menyadari apa yang dia lakukan. Tidak ada lagi Ibu yang tiap hari dirinya bantu membuat kue untuk dijajakan. Tidak seorangpun ingin terjebak dalam kesedihan yang berlarut-larut. Namun, kehilangan seseorang yang berarti membutuhkan waktu untuk terbiasa tanpa hadirnya. Begitupun dengan Zirena. Sebisa mungkin mulai berkegiatan seperti biasa, mencoba mengabaikan jejak-jejak keberadaan Ibu di rumah ini. Dia pun mulai tinggal sendiri tanpa Sagita yang sampai sehari lalu masih menginap menemaninya. Meski sahabatnya itu bersedia mendampingi sampai kapanpun, Zirena bersikeras bahwa dia baik-baik saja. Toh, teman-teman baiknya juga memiliki kehidupan yang menunggu untuk dijalani. Hanya saja, masih ada satu orang yang hingga detik ini berkeras kepala mengunjunginya tiap hari. Membawakan makan siang dan memastikan Zirena menyantap makanan itu sebelum pulang. Bukan tanpa alasan, sebab Zirena sendiri yang memilih pilihan itu ketimbang membiarkan sang ayah menginap di sini. "Besok aku masuk kerja, jadi A-yah tidak perlu ke mari." Zirena terbata menyebut kata 'Ayah' hingga terdengar kikuk bagi siapa saja yang mendengar. Setidaknya dia telah berusaha untuk tidak memanggil dengan sapaan 'Anda' lagi, karena menyadari betapa tidak sopannya dia selama ini. Sementara Ayah duduk tertegun di kursi seberang, haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Tidak menyangka Zirena kembali memanggilnya seperti dahulu. Lelaki itu mengangguk saja, kemudian membiarkan putri sulungnya melanjutkan santap siang. Dalam hati dia terus berucap syukur pada Tuhan yang Maha membolak-balik hati. "Ah. Sampaikan rasa terima kasihku pada istri ... A-yah. Masakannya enak, tapi tidak seenak buatan Ibu." Alih-alih tersinggung, Ayah justru tersenyum. "Akan Ayah sampaikan," sahutnya pada Zirena yang tengah membawa piring makannya ke bak cuci. Gadis itu menuangkan sabun cair ke atas sponge basah lantas mulai membersihkan peralatan makannya. Sembari membilas sisa busa, Zirena merenungi perubahan dirinya hari ini. Kata-kata mutiara dari Indira maupun Sagita mulai meracuni pikirannya. Ke arah yang lebih baik tentu. "Mungkin ayah kamu pernah menyia-nyiakan kamu dulu, Zi. Tapi, lihatlah, sekarang beliau kembali dan tulus mencari maaf dari anaknya. Kalo kamu ikut menyiakan, lantas apa bedanya kamu sama beliau yang dulu?" ucapan Indira tempo hari saat mengomentari kekeras kepalaannya terngiang lagi. "Dira benar, Zi. Saat ini hanya ayahmu keluarga yang kamu punya. Di luar sana banyak loh anak-anak yang kepingin punya ortu tapi gak bisa. Lagian nih, sampai kapan sih kamu mau membenci? Pas kawin nanti, kamu gak bisa loh nolak ayahmu sebagai wali." Kalimat tidak nyambung satu ini milik Sagita. Apa yang mereka berdua katakan memang benar. Dirinya tidak mungkin terus-terusan membenci. Allah yang Maha Kuasa saja bisa memaafkan dosa segunung, lalu sebagai manusia hina dina bagaimana bisa Zirena merasa congkak untuk tak memberi maaf? Walau belum memaafkan penuh ataupun menerima kembali kehadiran Ayah seutuhnya, Zirena akan mencoba. *** Semuanya terkejut melihat kedatangan Zirena ke kantor pagi itu. Lebih cepat dua hari dari perkiraan mereka. Dewi dan Rahma menghampiri, memberi ucapan belasungkawa secara langsung karena tidak sempat melayat. Dika pun demikian. "Semoga kamu tabah dan sabar melewati ini semua, Zi," harap Dika seraya menepuk pundak Zirena. Gadis itu mengangguk, mengamini. Lantas, dia pamit menuju meja kerjanya. Kerjaan yang tertunda menunggu dirinya untuk diselesaikan. Tepat di saat dia memijakkan kaki pada anak tangga terakhir, Adam ke luar dari ruangannya membawa gelas kopi sisa kemarin. Sepasang mata tajam lelaki itu membeliak, sama kagetnya dengan yang lain begitu mendapati Zirena berdiri di hadapannya. "Yo, Pak Bos," sapa Zirena diikuti gerakan memberi hormat pada pemimpin upacara. Detik berikutnya, gerakan itu berganti garukan canggung pada pelipis. 'Yo?' cari hidup sekali kamu, Zi! Kasih salam atau selamat pagi kek. Ck. Adam membalas tak kalah kikuk dengan sekali anggukan. Suasana aneh ini terjadi karena Zirena yang tiba-tiba teringat chat bercanda dari bosnya yang sama sekali tidak lucu beberapa hari lalu. Membuatnya berakhir diserang seribu tanya oleh Indira dan Sagita. Mungkin si bos juga mengingat karena setahu Zirena, Reva langsung memelototi kakaknya itu sambil memberi isyarat mengancam dengan gerakan jari mengiris pada leher. Siapa suruh mengirim pesan seperti itu di saat tidak tepat. Huh. "Kamu sudah baikan?" tanya Adam, memecah diam di antara dia dan Zirena. Seraya berjalan mendekati meja untuk menyimpan tasnya, Zirena mengiyakan. Senyum tipis terulas dari wajah sayu itu. "Pak Bos mau buat kopi? Biar saya buatin." Bahkan sebelum Adam memberi respon, gadis berkucir itu sudah ngacir menuju pantry. Dengan cekatan Zirena mengeluarkan moka pot, grinder kopi manual, serta shaker stainless dari kabinet. Lalu, mulai mengolah biji kopi toraja yang disimpan pada toples khusus. Setiap gerakan gadis itu tidak luput dari perhatian seseorang yang berdiri bersandar pada kusen pintu. Alih-alih kembali ke ruangannya, dia malah mengikuti Zirena ke sini. "Kamu belum makan berapa hari?" suara itu menyentak keseriusan Zirena. Dia berbalik dan bosnya tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. "Dengan tenaga selemah itu, kopi saya bisa selesai berhari-hari kemudian." Zirena mencebik tidak suka. Bosnya hiperbola sekali. Dia menyingkir dari tempatnya sebab Adam mengambil alih grinder berukir itu dari dirinya. Tapi, harus dia akui, lelaki itu menggiling berkali lipat lebih cepat dari dirinya. Sementara menunggu Adam selesai, Zirena memilih melakukan hal lain daripada berdiam mengamati. Padahal pada kenyataannya, dia hanya tidak ingin kecanggungan kembali menyelimuti mereka. "Kenapa tidak bilang mau masuk hari ini?" Adam bertanya tanpa repot-repot melirik Zirena. Gadis itu sedang membilas gelas kotor yang bosnya bawa. "Kenapa harus, Pak?" Suara decakan mampir di daun kuping Zirena. "Pertanyaan itu dijawab, bukannya balik bertanya, Zirena." "Ha ha. Saya juga serius nanya, Pak. Memang ada yang berubah kalo saya bilang? Bakal ada penyambutan season 2 gitu?" Susah memang bicara sama orang yang selalu punya cara untuk membalikkan kata-kata. Adam jadi gemas ingin menjawil hidung gadis itu. "Ehem. Omong-omong, saya ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Zirena meletakkan gelas pada tempatnya. Dia membalik badan, berjalan beberapa langkah kemudian duduk satu kursi lebih jauh dari Adam. "Mungkin ini bukan waktu dan tempat yang tepat, tapi lebih cepat lebih baik." "Apa?" Penggiling kopi ditepikan Adam. Tubuhnya serong sedikit menghadap Zirena. Tatapannya fokus pada raut wajah gadis itu yang berubah serius. "Mm ... saya mau resign, Pak." Sepasang mata tajam Adam membeliak diiringi sebelah alisnya yang terangkat tinggi. "Saya berniat melanjutkan usaha yang dirintis Ibu." Sedetik kemudian lelaki berjanggut tipis itu kembali memasang ekspresi normal. Dia tampak menimbang sesuatu dalam benaknya. "Baiklah. Saya mengerti." Adam bangkit dari kursi bar. Bibirnya bergerak gelisah seakan ingin menyampaikan hal lain, tapi kalimat itu entah mengapa tertahan di tenggorokan. "Surat pengunduran diri kamu saya tunggu." Tanpa sadar, Zirena menghela napas lega. Tadinya dia berpikir akan lebih sulit untuk ke luar dari sini karena dirinya masih terikat kontrak selama setengah tahun ke depan. Ternyata Adam memahami dan memberinya kemudahan. *** Studio Adara tidak memiliki divisi HRD, sebab itu urusan pengunduran diri karyawan seperti ini disampaikan langsung ke atasan atau tangan kanannya. Prosesnya pun jadi lebih cepat dibanding perusahaan tempat Zirena bekerja dulu. Ngomong-ngomong soal gadis itu, dia sedang berdiri menunggu Adam selesai membaca surat resign yang sore ini dia setorkan. "Tiga hari. Saya kasih waktu tiga hari untuk menyelesaikan semua kerjaan kamu. Setelah itu kamu bisa berhenti bekerja sesuai keinginanmu." Adam memasukkan lipatan kertas di tangannya ke dalam amplop kemudian meletakkannya sembarang di pinggir meja. "Baik, Pak. Terima kasih," ujar Zirena, menyetujui. Dia pamit undur diri, saatnya pulang dan menghadapi lagi kehampaan yang menanti di rumah. Zirena memutar tubuh, bergegas beranjak ke luar dari ruang kerja calon mantan bosnya. "Zirena," suara dalam dan berat Adam menghentikan gerak kaki gadis berkemeja longgar dengan lengan yang dilipat sampai siku. "Iya, Pak?" Zirena menoleh ke belakang, menunggu ucapan selanjutnya dari si bos. "Mungkin saya terlambat untuk bilang ini. Tapi ... terima kasih untuk masakan dan kopi buatanmu yang enak. Saya suka." Tolong bantu Adam menjawab, mengapa mengatakan hal sepele ini saja jantungnya berdebar tak keruan? "Hm?" Zirena mengerjap cepat, lantas tersenyum lebar sambil mengacungkan dua jempol ke tempat Adam. "Sama-sama, Pak. Dan terima kasih buat pujiannya. He he." Dan, sore itu menjadi kali terakhir Adam menyaksikan senyum manis Zirena. Karena esok hari dia harus berangkat ke Jayapura bersama Dika, mengurus proyek dokumentasi pernikahan beberapa klien selama seminggu di sana. (*)

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN