STEP 20 - Pengajian

1257 Kata
"Jika hanya peduli, lantas mengapa aku merasa kehilangan ketika wajah itu tak seceria biasanya?" —Adam F. Rahadian— *** Segala sesuatu yang dimiliki sejatinya bukan milik kita, kecuali amal dan dosa. Semua hanya titipan dan akan kembali ke Sang Pemilik pada waktunya. Termasuk kehadiran orang-orang dalam hidup kita. Seperti Ibu yang hari ini telah berpulang. Kepergian tiba-tiba itu menyisakan ruang kosong dalam hati Zirena. Bagai ada lubang besar bersarang, menghadirkan sebuah rasa bernama hampa. Perasaaan itu kian terasa sekembalinya Zirena ke rumah usai pemakaman Ibu. Bangunan yang dijejakinya masih sama, namun tanpa kehadiran Ibu rasanya teramat berbeda. Tidak ada lagi sosok yang menyambutnya dikala pulang, tidak ada lagi dekapan hangat tempatnya bermanja, dan ... tidak akan ada lagi masakan khas Ibu yang dibuat sepenuh kasih. Seketika sesak memenuhi d**a Zirena. Jantungnya berdenyut nyeri oleh kesedihan, dan air matanya kembali menitik. Ibu.... Sebuah rangkulan mendarat di pundaknya, Indira berusaha menguatkan. Dia menuntun Zirena memasuki kamar, membantu gadis lemah itu duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Sebelum ke luar mengambilkan minuman hangat, dia meminta Sagita untuk menemani Zirena. "Zi." Sagita mencoba membuat Zirena fokus pada apa yang akan dia ucapkan. "Sebelum Ibu pergi, dia menitipkan pesan sama aku." Zirena mengangkat wajah, mempertemukan manik matanya dengan manik coklat Sagita. Gadis di hadapannya menghapus butir bening sebelum melanjutkan ucapannya. "Ada seseorang yang ingin bertemu kamu. Ibu mau agar kamu bersedia dan mendengarkan orang itu walau sebentar." Tanpa Sagita sebutkan pun Zirena tahu siapa orang yang Ibu maksud. Orang yang juga hadir di rumah sakit siang tadi. "Ini amanah terakhir Ibu. Kamu mau, kan?" Diamnya Zirena selama sekian detik dianggap Sagita sebagai jawaban mengiyakan. Dia berdiri, beranjak menghampiri pintu lalu memberi kode pada seseorang di luar. Lama bersahabat dengan Zirena, dia cukup tahu persoalan keluarga temannya. Dan ketika jalan keluar dari permasalahan itu bisa menemui titik terang, maka dia akan mendukung. "Titip Zi, ya, Om," ujar Sagita, kemudian meninggalkan ayah dan anak itu. Rasa benci kembali berdesir di tiap aliran darah Zirena, tapi tidak sehebat pertama kali dia bertemu lelaki ini setelah sekian lama. Entah karena energinya sudah terkuras banyak oleh duka atau dia memilih menekan egonya demi amanah Ibu. Lelaki itu berjalan canggung mendekati Zirena. Dia mengambil kursi dan duduk tidak jauh dari tepi ranjang. Lama dia terdiam, berat untuk membuka suara setelah apa yang terjadi. "Anda sebaiknya pergi jika tidak ada yang ingin dikatakan." Suara Zirena yang parau oleh sisa tangis mengisi langit-langit kamar. Terdengar tegas dan dingin. "Ayah turut berduka atas kematian Ibumu, Zi," ucap Ayah sedetik kemudian. Dari getar suaranya, Zirena tahu jika kesedihan yang dia miliki juga dirasakan oleh lelaki di sisinya. Hening sejenak. Ayah mengembuskan napas berat. "Maafkan Ayah ... untuk semua kesalahan yang melukai kalian. Ayah tidak akan mengatakan apapun sebagai pembelaan, selain meminta maaf." Cairan bening yang tertahan sejak tadi di pelupuk berjatuhan seiring kelopak mata Zirena memejam. Ingin rasanya dia meluapkan segala amarah, namun lidahnya terlalu letih untuk itu. Sebagaimana wasiat Ibu, dia hanya perlu mendengarkan, bukan? "Kenapa? Setelah belasan tahun berlalu, kenapa baru sekarang Anda datang?" Zirena bertanya lemah. Tatapannya tajam menyorot ke arah Ayah. Ada sirat luka di kedalaman mata jernih itu. "Harusnya Anda tidak perlu kembali. Aku dan Ibu hidup bahagia tanpa Anda, seperti Anda yang bahagia membangun keluarga dengan wanita yang Anda cintai." Sindiran itu bagai sebilah pisau tajam yang menghunus tepat jantung Ayah. Sulit baginya berkata-kata kini. "Zi—" Sebelah tangan Zirena terangkat. Menghentikan ucapan ayahnya sekaligus tangan lelaki itu yang hendak terulur menyentuh pundaknya. Berat hati Ayah mengurungkan niat. Putri kecil yang dahulu selalu ingin berada dalam dekapannya, sekarang berubah sebab ulahnya sendiri. Sebegitu jauhkah dia meninggalkan Zirena selama ini? Ah, mestinya dia tak perlu menanyakan karena jawabannya sudah jelas. Dengan enggan, ayah Zirena bangkit dari tempatnya. "Sekarang, Ayah akan selalu ada untukmu, Nak. Ayah tidak akan mengulang kesalahan yang sama kali ini," kata lelaki berpakaian hitam itu. "Istirahatlah." Zirena memandang nanar punggung tegap Ayah yang tampak tegar namun rapuh dalam satu waktu. "Terlambat. Aku hanya butuh Ibu saat ini, bukan Anda...," gumam Zirena yang perlahan mendekap lutut, dan menumpukan dagunya di atas sana begitu sosok ayahnya hilang di balik pintu. *** Adam bersiap menghadiri pengajian di rumah Zirena malam ini usai menutup telepon dari Dika. Semuanya baik-baik saja di camp dan besok mereka akan pulang naik bus bersama peserta pelatihan lainnya. Mereka juga tidak lupa menitipkan pesan belasungkawa untuk Zirena. Jarak tempuh dari studio ke tempat gadis itu lumayan dekat, tidak sampai sepuluh menit menggunakan mobil. Lelaki berkemeja hitam itu tidak datang sendiri. Reva yang mendengar kabar duka darinya memaksa ikut. Mereka memang belum mengenal dekat, tapi rasa manusiawi tidak memerlukan status kedekatan, kan? Sagita yang pertama kali menyadari kehadiran bos Zirena berdiri menghampiri mempersilakan masuk. "Om, ini bosnya Zirena. Yang tadi ketemu di rumah sakit. Dam, ini bapaknya Zi." "Adam." Lelaki itu mengulurkan tangan lebih dulu. Selama ini dia mengira Zirena seorang yatim. Dari apa yang gadis itu pernah sampaikan seolah memang dia hanya memiliki ibu dan ayahnya meninggal. Ayah Zirena menjabat ramah, menyebut nama dan sekali lagi mempersilakan dua orang tamu anaknya itu untuk beranjak ke dalam. Lantunan surah yasin menguntai dari setiap orang yang hadir di ruangan itu. "Maaf, Kak Zirenanya di mana kalo boleh tau?" Reva berdiri di samping Sagita, bertanya pelan. Sebelum masuk ke kamar Zirena, Reva menyerahkan kantongan berisi beberapa dos brownis pada Sagita. Bantuan kecil untuk menjamu para tamu. "Assalamualaikum." Indira dan Zirena bersamaan menoleh ke asal suara. "Aku boleh masuk, nggak?" Zirena tersenyum tipis, kemudian mengangguk. "Dia adiknya bos aku," jelasnya pada Indira yang menatap penasaran. Reva langsung berjalan cepat mendekati Zirena. Sebuah pelukan tulus dia berikan pada karyawan baru kakaknya ini. Matanya berkaca-kaca turut merasakan sedih kehilangan seperti yang pernah dia rasa saat nenek kesayangannya meninggal. Sedangkan Indira menggeser tubuh sedikit agar Reva leluasa. "Aku dan keluarga turut berduka ya, Kak Zi. Semoga amal ibadah mamanya Kakak diterima dan diberi tempat terbaik oleh Allah." Reva mengusap pelan punggung Zirena. "Mami titip salam karena tidak bisa datang." Keduanya mengurai pelukan. Reva sempat memerhatikan makanan di atas nakas yang sepertinya belum tersentuh sama sekali. Tidak banyak yang mereka bicarakan saat itu. Apalagi kehadiran Sagita yang meminta Zirena untuk keluar sebentar. *** Duka telah mengambil cahaya kehidupan dari wajah Zirena saat ini. Dengan mata sembabnya, gadis itu semakin terlihat kuyu. Begitulah yang Adam dapati tatkala Zirena bergabung dengan tamu yang lain. Raut rapuh itu bahkan lebih buruk dibanding saat dirinya memergok Zirena menangis di kantor tempo hari. Adakah sesuatu yang bisa dia lakukan untuk menghibur? "Zi, makan kuenya, ya? Sedikit saja. Sejak siang kamu belum makan apa-apa." Indira menyodorkan potongan kue yang berakhir penolakan. Jika semangat hidup serasa pergi mengikuti Ibu, apalagi selera makan? Samar-samar Adam menyimak percakapan itu. Dia menghentikan sejenak bacaannya, lantas mengamati apakah Zirena membawa ponselnya. Berniat mengirimkan sebuah pesan w******p sebab tidak memungkinkan bicara langsung. Bos Adam [Sy mengerti km sedih. Tp km harus tetap makan. Jika km jatuh sakit, pasti ibumu akan sangat sedih] Zirena serta merta mengangkat wajah, mencari si pengirim chat. Sagita, Indira, dan Reva yang tak sengaja melihat pop-up pesan itu ikut celingukan. Adam tersenyum samar di saat Zirena akhirnya menemukan dia, lalu saling bersitatap beberapa lama. Dari tatapan sayunya, gadis itu seakan mengucap bahwa dia sungguh tidak bernafsu makan. Menelan air saja tenggorokannya terasa sakit. Bos Adam [Makan, Zirena. Setidaknya kasihanilah orang disekitarmu yang mencemaskan kondisi km. Atau km mau sy suapin?] Seandainya dalam kondisi normal, mungkin Zirena sekarang mendelik tajam. Tapi, sepertinya dia tidak perlu melakukan itu sebab ketiga perempuan di sampingnya sudah mewakili. Rupanya sejak tadi mereka ikut membaca pesan yang belum dia balas sama sekali. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN