Bahagia Awal Dari Luka

1535 Kata
Garut 2003 Alvira memandang gusar di balik jendela kamarnya. Tirai kamarnya meliuk-liuk tertiup angin. Gerbang rumah yang tinggi menjulang terus dia tatap berharap sosok Dirga muncul dari balik pintu besi itu. Ini hari Jumat, seharusnya Dirga muncul karena Sabtu dan Minggu adalah hari libur. Alvira mengelus perutnya yang sudah sangat buncit. Dia bercermin mematut diri, melihat perubahan yang tidak menyenangkan. Pipinya kini tidak tirus lagi. Dadanya besar. Dan yang paling dia benci adalah perutnya. Kehamilan membuat Alvira terpenjara. Yang dia dengar dari Asisten Rumah Tangga, tetangga tahunya Alvira pindah sekolah ke Jerman. Itulah alasan mengapa Alvira tidak boleh keluar. Lagipula jika benar dia berkeliaran di komplek perumahan, bisa-bisa jadi cibiran karena hamil di luar pernikahan. Terdengar kelontang bunyi pagar besi dibuka. Alvira lekas-lekas menoleh. Kemudian senyum terukir di wajah Alvira melihat siapa yang datang. Motor sport itu melaju menuju garasi yang letaknya bersebrangan dengan rumah. "Jangan berjalan tergesa, Non," ucap salah satu ART yang tengah membersihkan koleksi Guci milik Michelle. "Suamiku datang, Bi." Seantusias itu Alvira menyambut kedatangan Dirga. Ketika membuka pintu, senyum khas Dirga adalah yang pertama Alvira lihat. Berbulan-bulan tak berkabar, Dirga muncul dengan wajah yang sangat lesu. Dia tidak terawat dan kurus. "Aku kangen," bisik Alvira dalam pelukan Dirga. Lelaki itu mengecup kening Dirga. Lalu berlutut dan mendaratkan ciuman di perut Alvira. "Ayah datang, Nak. Maaf lama sekali baru pulang. Ayah harus kuliah juga kerja," ujar Dirga di depan perut Alvira. Alvira tersenyum malu-malu. Dirga lantas berdiri. Sekali lagi mengecup Alvira lalu membawa istrinya masuk. "Ingat pulang, kamu?" tegur Sakti tanpa mengalihkan pandangan dari surat kabar yang tengah dia baca. "Aku kerja, Pi." Dirga menjawab dengan bangga. Sakti mencibir, sementara itu Alvira yang sudah dua kali mendengar kata "Kerja" dari bibir suaminya penasaran. Kerja di kantor mana Dirga sekarang? bukankah keren punya suami yang bekerja kantoran, seperti Papi Sakti. "Eh, sudah pulang kamu? Masuk dan makan, Vir, ajak Dirga makan," perintah Michelle. Setidaknya meski Sakti tidak menyukai dirinya, Dirga masih beruntung karena Michelle selalu menganggapnya ada. "Ayok, aku juga laper lagi, nih." Alvira menyeret Dirga. Hatinya berbunga-bunga suami yang dia nantikan sejak lama kini ada di hadapannya. "Pelan-pelan, sayang," tegur Dirga saat tangannya ditarik oleh Alvira. "Tenang, gak apa-apa, kok. Yuk, tadi Bibi masak sambel goreng kentang, ada tahu s**u trus ayam goreng kesukaan kamu," cerocos Alvira. "Aku cuci tangan dulu, sayang. Jadi tolong lepasin dulu. Aku di sini gak akan kabur." Alvira melepas genggaman tangannya, lalu mengekori Dirga menuju wastafel yang berada di sisi lain dekat meja makan. Alvira menyisipkan tangannya ketika Dirga membasuh tangannya dengan sabun. Keduanya saling menggenggam dan memercikkan gairah kerinduan yang terpendam. "Rasanya aku ingin makan kamu dulu," goda Dirga. "Ga, ih. Masih siang," jawab Alvira. wajahnya memanas. Dia cepat-cepat membilas tangannya lalu menemoatkan dirinya di depan makanan yang sudah tersaji di meja makan. "Gak ada yang larang, mau siang mau malam sama saja." Dirga terus menggoda, dia lantas duduk dan mulai menikmati makanan di depannya. Dirga lapar, di Bandung dia jarang pulang ke rumah karena harus kerja. Lelaki itu milih untuk Indekos dekat dengan kampus dan tempatnya bekerja. Lirikan mata Alvira membuat Dirga gelisah. Perempuan di depannya selalu berhasil memberikan godaan hingga membangunkan gairah Dirga yang membisu. Alvira meremas paha Dirga dengan tangan kirinya. Dirga berhenti sejenak dari kegiatab mengunyahnya. Dia memejamkan mata. Menahan hasrat. "Jangan lakukan itu, Vir. Sungguh aku gak tahan." Lagi-lagi Dirga berbisik. Alvira cekikikan, membuat Sakti yang melintas terpaku sejenak. Alvira yang selama ini murung kini bisa tertawa lepas. Ayah dari Alvira itu tidak bisa menampik, Dirgalah sumber kebahagiaan Alvira. Sakti mengerjap. Tiba-tiba saja dia tersadar, jangan terbawa perasaan. Rencana tetaplah rencana. Alvira harus memiliki masa depan yang cerah. "Sini aku suapin." Alvira menyodorkan satu sendok makanan. Dirga menyambutnya, lalu mencubit gemas pipi kemerahan Alvira. Dirga melihat sekeliling. Michelle dan Sakti tidak terlihat. Bibi membawa keranjang cucian menghilang dibalik pintu samping. Lalu Dirga mendekatkan wajahnya, melumat bibir Alvira. "Ga, ih," protes Alvira seraya terengah. Selain mencium Alvira, tangan Dirga meraba tubuh istrinya yang terlihat lebih gemuk. Dirga terpana ketika melihat Alvira tadi. Istrinya terlihat sangat seksi dan menggairahkan. "Ga, nanti diliat mami." Alvira melepaskan kembali ciuman Dirga. "Aku kangen, Vir. Kangen sekali. Maaf karena jarang pulang. Aku benar-benar harus kerja keras demi kalian." "Kamu kerja di kantor mana?" Pertanyaan Alvira membuat Dirga mematung. Tidak ada kantor, tetapi Dirga juga tidak mungkin membeberkan bahwa dia kerja di cafe, dan sesekali jadi juru parkir di Bank BUMN yang tidak jauh dari kampusnya. "Nanti juga kamu tahu. Tabunganku lumayan, Vir. Uang saku dari kedua orangtuaku juga aku irit-irit. Oh iya, ini ada titipan dari mama." Dirga berdiri lalu meraih ranselnya. Dia mengeluarkan sesuatu yang dibungkus dengan kertas kado. Alvira antusias membukanya. Satu set pakaian bayi. Hatinya menghangat. "Ga, ini indah. Kenapa warnanya kuning?" "Mama belum tau jenis kelamin bayi kita." Alvira mengelus pakaian bayi itu dengan hati-hati. Satu hal yang dia inginkan, menyiapkan sendiri semua kebutuhan bayinya. Namun, kedua orang tuanya selalu melarangnya. Katanya Alvira diam saja karena apa yang seharusnya disiapkan sudah disiapkan oleh Michelle. "Ga, mami gak izinin aku beli baju bayi. Aku juga gak boleh keluar." "Bukan gak boleh keluar, kamu tahu kan alasannya apa?" sambar Michelle. Alvira dan Dirga terperanjat kala perempuan berambut cokelat itu tiba tiba sudah ada di dekat mereka. "Mami sudah siapkan segalanya. Kamu saja yang gak mau dengar tiap mami mau bilang." "Vira kan bete, Mi. Vira butuh udara, butuh keluar rumah. Rasanya kayak dipenjara aja." "Jangan bikin Papimu murka deh, atau Dirga gak diizinkan datang kemari lagi." Alvira mengalah membayangkan Dirga tidak bisa datang ke rumahnya membuat dia ketakutan. "Lanjutkan makannya, kalau sudah istirahat sana," lanjut Michelle. Lalu pergi meninggalkan suami istri yang masih belia itu. "Sudah jangan cemberut," hibur Dirga. Dilingkarkannya lengan yang kini berubah legam itu di pinggang Alvira. Mengelusnya lembut, mengantarkan kembali getar demi getar yang rasanya tidak dapat digambarkan. Dirga memotong jarak, lalu keduanya kembali tenggelam dalam pagutan yang penuh kerinduan. Komposisinya pas, antara rindu, gairah juga luapan cinta dan putus asa. Dirga melampiaskan itu semua dengan mengecap bibir sang istri yang begitu manis. Alvira memasrahkan dan menuntaskan rindu yang sudah sesak dengan mata terpejam. Lalu, orang pertama yang kembali mengambil jarak adalah Dirga. "Kangen," rengek Alvira. "Sama." Suara Dirga sudah serak, matanya sayu, lelaki itu butuh sesuatu untuk menuntaskan dahaganya akan cinta. bersama dengan istri tercinta. *** Dituntun perasaan rindu, Alvira dan Dirga melabuhkan rasa di peraduan. Menatap Alvira yang polos dan malu-malu membuat Dirga gemas. Sentuhan demi sentuhan Dirga membawa Alvira terbang mengitari tujuh lapis langit. Menari di atas awan. Mengumpulkan kepingan perasaan menjadi selaksa kenikmatan tiada tara. Berkali-kali Alvira meneriakkan nama Dirga, pun sebaliknya. Ketika nama Alvira disebut penuh gairah, perasaan surgawi dia reguk dengan bahagia. Jengkal demi jengkal kini basah dengan peluh. Dirga begitu semangat namun tetap hati-hati. Berulang kali dia kecup perut telanjang Alvira, di dalamnya ada makhluk kecil yang ikut menari kala kedua orang tuanya menyatukan asmara. Lantas, setelah satu jam lebih mereka berpesta, hingga sprei dan perlengkapan tidur laksana kapal sehabis perang, keduanya berhenti. "Terima kasih, Ga. Ini luar biasa." Alvira mengecup pipi Dirga. Rasanya kasar, jambang-jambang yang baru tumbuh itu sudah harus dibersihkan lagi. "Aku yang terima kasih, Sayang. Rasanya seperti surga. Kita bebas melakukannya tanpa takut ketahuan seperti dulu." Dirga tersenyum membayangkan. Kenakalannya saat berpacaran membuat Alvira harus menanggung beban banyak. Namun, ada rasa syukur yang Dirga panjatkan. Jika tidak begitu mana mungkin mereka kini bisa bersama. "Dulu kita pacaran di indekos Vivi, trus dia kok ngerti ya, selalu keluar dengan alasan cari makan." Alvira tergelak mengingatnya. Di situlah petaka terjadi. Setiap kali berpacaran di kamar kos temannya Alvira dan Dirga selalu memanfaatkan 20 hingga 30 menit waktu Vivi cari makan untuk b******a. Hingga kehamilan pun terjadi. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti, bahwa pengaman saat b******a itu teramat penting. "Kamu selalu bikin aku tergoda, sayang. Aku janji akan selalu ada di sisimu. Aku janji hanya aku yang bisa menyentuh dirimu." Dirga kembali memagut bibir Alvira, seolah memulai dari Nol keduanya kini berada di garis start, kembali berlomba mencapai puncak gairah di garis finish yang mereka ciptakan. *** "Laper," bisik Dirga ditelinga Alvira. Alvira yang sedang tidur menggeliat. Diliriknya jam, sudah tengah malam. Tapi Dirga terus merengek kelaparan. "Nunggu besok pagi aja, Ga. Aku ngantuk." "Makan kamu lagi boleh?" goda Dirga. Alvira menanggapinya dengan mendaratkan pukulan ringan di bahu Dirga. Keduanya bahkan masih tertutup selimut, tanpa busana. "Sudah, sudah perih rasanya." "Perutku juga perih," rajuk Dirga lagi. Tenaganya sudah terkuras habis karena pertempuran barusan. Sesaat kemudian terdengar bunyi memalukan dari perut Dirga. Alvira yang sudah mengantuk terpaksa bangun. "Sebentar," cegah Dirga. Lalu mendaratkan ciuman di kening Alvira, kedua pipi dan diakhiri dengan melumat bibir Alvira. "Lagi?" goda Dirga. "Ish katanya lapar." Alvira segera bangun bahaya kalau terus meladeni Dirga. Dia memungut pakaiannya, kemudian mengenakannya. Ketika Alvira tengah membuat simpul pada tali jubah tidurnya yang terbuat dari satin lembut, cairan hangat keluar deras melalui kakinya. Alvira mematung, lalu merapatkan paha. "Ga, aku pipis kok gak bisa ditahan, ya." Dirga yang sedang berbaring terperanjat. dia melihat genangan air di bawah kaki Alvira. Lelaki itu yakin, yang baru saja Alvira bilang pipis sebenarnya bukanlah itu maksudnya. Dirga tiba-tiba diserang perasaan takut. Belum waktunya. Bayi itu seharusnya lahir bulan depan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN