Bab 8. Tetap Pada Pendirian

1202 Kata
Leonel memandang Tami yang saat ini menatapnya penuh amarah, Leonel memegang pipinya. Leonel mendesah napas halus karena merasa tersinggung dengan sikap Tami. “Ini balasan untuk kamu karena melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kamu lakukan.” Tami menunjuk ke arah Leonel. “Apa yang tidak seharusnya? Dengan menciummu?” “Aku sudah sering mengatakan kepadamu untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu kepadaku, aku ini istri adikmu, aku adik iparmu, bisa tidak kamu pahami? Jangan sampai adikmu tahu perbuatanmu begini,” omel Tami berusaha menenangkan diri. Ya dia memang belum melupakan malam yang ia habiskan dengan Leonel 8 tahun yang lalu, tapi Tami tidak akan melakukan hal itu lagi, karena dia menghargai pernikahannya. “Aku mohon kepadamu keluar lah dari sini, pura-pura saja tidak mengenalku, jangan sampai ini membuat kamu dan Evano bertengkar,” lanjut Tami. “Kamu yang sudah mengkhianatiku, jadi ini tidak ada hubungannya dengan Evano.” “Yang melibatkan aku akan menjadi urusan Evano juga.” “Kamu mengancamku?” “Aku tidak mengancammu, tapi kamu harus memahami apa yang aku katakan. Aku berusaha tenang dan tidak terganggu dengan adanya kamu di sini, tapi jika terus seperti ini, aku tidak akan mengajak Evano pergi dari rumah ini.” Leonel memandang Tami, tentu saja bukan itu yang dia inginkan, jika Tami pergi dari rumah ini dan mengajak Evano, itu sama saja menjauhkan dirinya sendiri dari Tami. “Aku mohon pergi lah, sebelum Evano kembali,” usir Tami. Leonel menatap kesal Tami, namun tidak bisa mengatakan apa yang ingin ia katakan, Leonel lalu melangkah pergi meninggalkan Tami yang hendak berganti baju karena baru selesai mandi. Leonel kesal dan memukul tembok sampai tulang jari-jarinya lebam dan berdarah. Leonel tidak suka melihat kebersamaan Tami dan Evano, jika ia membayangkan keduanya b******u, Leonel marah tanpa alasan. Evano baru keluar dari ruang kerja, ketika ia hendak masuk ke kamar, ia melihat Leonel yang terlihat sedang marah. Evano mendekati Leonel. “Bro, apa yang kamu lakukan? Kelihatannya kamu sedang marah,” tanya Evano. Sumber kemarahannya ada didepan matanya, ingin rasanya Leonel memukuli wajah Evano, namun itu hanya akan membuat keributan dan melibatkan banyak orang. Leonel berusaha menahan amarah dan menoleh melihat Evano. “Aku tidak apa-apa.” “Tapi kamu terlihat seperti sedang marah.” “Abaikan saja,” jawab Leonel. “Kenapa kamu di lantai ini?” Akhirnya pertanyaan itu datang, membuat Leonel bingung bagaimana menjawabnya. “Aku kemari hanya ingin menenangkan diri,” jawab Leonel. “Iya menenangkan diri.” “Apa kamu salah turun ke lantai ini?” “Nah benar, aku kira ini sudah lantai tempatku, tapi ternyata masih di lantai tempatmu,” jawab Leonel lagi meralat perkataannya. “Ya sudah.” Evano mengangguk, hendak melangkah pergi meninggalkan Leonel, namun langkahnya terhenti ketika mendengar Leonel berdeham. Evano berbalik. “Kamu mencintai istrimu?” tanya Leonel, pertanyaan yang konyol, membuatnya terdengar kepo. “Iya. Aku tidak mungkin menikahinya tanpa cinta.” “Wahh. Selamat ya,” ucap Leonel. “Selamat apanya?” “Karena akhirnya kamu menikah menduluangiku.” “Karena itu kemarin aku suruh kamu cepat menikah.” “Menikah tidak gampang,” jawab Leonel. “Aku bersyukur karena menikah dengan wanita yang aku sukai dan aku cintai, dia itu idola, kamu lihat sendiri kan? Dia cantik dan menawan, pokoknya dia menarik disegala sisi.” Evano berseru didepan Leonel. “Oh.” “Kalau kamu mau cari seperti istriku, sepertinya sudah tidak ada,” kekeh Evano. “Apa maksudmu? Apa kamu mengira aku mau mencari istri seperti istrimu? Tidak mungkin.” Leonel langsung menyentak perkataannya. Membuat Evano tertawa kecil. “Kamu ini, apa kamu tidak bisa bercanda sekarang?” tanya Evano. Leonel lalu melangkah pergi menuju lift, membuat Evano heran karena Leonel marah tanpa alasan. Evano masuk ke kamar dan melihat istrinya sudah duduk bersandar dikepala ranjang seraya membaca majalah fashion. “Apa kamu bertemu dengan Leon?” tanya Evano. “Heem? Leon? Dimana?” “Dia lagi di depan kamar kita, katanya salah masuk.” “Salah masuk? Maksudnya gimana?” “Maksudnya dia salah turun ke lantai ini, katanya,” jawab Evano. “Oh mungkin saja, aku tidak bertemu dengannya,” geleng Tami berbohong, lebih baik berbohong daripada harus jujur. Karena jika ia jujur, apa yang akan Tami katakan? Tidak mungkin dia mengatakan sesuatu yang akan membuat Evano semakin banyak pertanyaan. “Ya sudah. Asalkan dia tidak masuk kemari,” kata Evano. “Tidak, Sayang, memangnya apa yang akan dia lakukan di sini?” “Ya aku hanya berprasangka saja.” “Ya sudah. Ayo tidur,” ajak Tami. *** Leonel masuk ke rumah Petro dan duduk di sofa, Petro sedang memandikan anaknya jadi dia akan menunggu di sini, sementara Tiara sedang belanja sayur didepan kompleks, Leonel kemari mau memanggil Petro kembali bekerja dan menjadi asistennya. Petro datang dan duduk dihadapan Leonel. “Tumben kamu kemari?” “Kamu sudah datang ternyata. Aku dengar dari Tami.” “Iya. Sejak kemarin.” “Kenapa tidak menghubungiku.” “Aku lupa menghubungimu, tapi syukurlah kamu ke sini.” “Kembali lah bekerja di perusahaan,” kata Leonel. “Baiklah. Aku memang mau minta pekerjaan,” sambung Petro. “Aku harus bekerja, sebelum tabungan kami habis, apalagi anakku sudah mau besar.” “Hallah, aku sudah mengajakmu waktu itu tapi kamu selalu menolak.” “Kali ini aku tidak akan pernah menolaknya.” “Oke lah. Kamu bisa ke kantor hari ini?” “Bisa. Tapi, tunggu Tiara pulang,” kata Petro. Leonel menganggukkan kepala. “Oh iya, aku dengar dari Tami, kalau dia menikah dengan Evano.” “Bukannya kamu sudah tahu?” “Aku sudah tahu, tapi aku tidak menyangka itu Evano.” “Pura-pura kamu,” geleng Leonel. “Serius, Tami hanya mengatakan menikah dengan pria kaya, tapi dia tidak bilang kalau menikah dengan Evano. Coba saja kalau dia katakan, mungkin sudah aku katakan kepadamu waktu kamu ke Bandung.” “Sudahlah. Semua itu hanya masa lalu,” kata Leonel. “Kok bisa kamu dan Tami akhirnya menjadi Adik dan Kakak Ipar?” “Begitulah. Semua bisa saja terjadi.” Leonel menunduk sesaat. “Dan, aku kecewa.” “Kecewa pada siapa?” “Pada Tami.” “Apa yang membuatmu kecewa kepadanya?” “Karena dia telah mengkhianatiku.” Petro menggeleng, karena sikap Leonel saat ini seperti anak kecil, kekanak-kanakan sekali, menganggap apa yang terjadi antara dirinya dan Tami harus berlangsung sampai saat ini. “Kamu berpikir seperti itu?” tanya Petro. “Yes.” “Bukankah kalian sendiri yang tidak mau memperjelas hubungan kalian sebelum berpisah? Seharusnya kamu suruh Tami menunggumu.” “Aku akan merebutnya,” kata Leonel. “Apa pun alasannya, aku terlambat atau tidak, aku akan merebutnya dari tangan Evano. Sejak awal Tami adalah milikku. Aku tidak bisa melupakan hari itu.” “Itu hanya hubungan klise.” Petro melanjutkan. “Aku sudah bilang apa pun alasannya aku tetap akan merebutnya.” “Ada apa denganmu? Masih banyak wanita lain yang lebih baik dari Tami.” “Aku bukan pria gampangan yang menerima begitu saja kejadian 8 tahun yang lalu.” “Hubungan kalian tidak pernah dimulai, Leon.” Leonel tidak perduli, ia tetap pada pendiriannya, ia akan merebut Tami, ia rela kehilangan segalanya dan menggadaikan kekayaan dari sang Ayah dan menukarkan Tami dengan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN