bab 9

1918 Kata
Berlawanan arah 9 Ketika Adit datang, suasana rumah megah itu terlihat sangat ramai. Ada banyak tawa ceria terdengar di sana. Bahkan ketika mematikan motornya dan memarkir di garasi rumah, Adit bisa mendengar gelak tawa serta diiringi petikan gitar yang mengalun merdu. "Kue besok ngiwo nengen, tak tabrak kue gubrah!" Satu lantunan dengan suara bak kaleng rombeng itu membuat Adit tak ikut tertawa karenanya. Sungguh lucu, ketiga sahabatnya itu jika sedang gabut memang terasa kocak dengan tingkah konyol yang membuat Adit geleng kepala. Padahal jika dirinya sudah bergabung nanti, keadaan malah semakin bertambah absurd, karena nyatanya, Adit adalah orang terparah dengan tingkah yang tak kalah nyeleneh dari yang lain, bisa dikatakan, jika dia adalah orang paling konyol di lingkungan sahabatnya. "Wey! Gabut tanpa gue Lo orang! Parah bet astaga!" Teriak Adit ketika dirinya sudah masuk ke halaman rumah yang menyerupai taman, wajar saja keluarga Rangga adalah keluarga yang sangat kaya. Halaman rumahnya pun hampir empat kali lipat dari halaman rumahnya yang hanya sepetak saja. "Nah, ini dia, artis paling gabut kita udah dateng setelah sekian lama kami nunggu, akhirnya!" Anjar menyambut kedatangan dengan aksi yang konyol, merentangkan tangannya dan menggunakan mic yang digunakan untuk berkaraoke tadi untuk memanggil Adit. "Terima kasih, terima kasih, kalian emang terbaik!" Kata Adit lalu menyambut rentangan tangan Anjar. "Jadi karena pendatang terlambat, kita bakal hukum Lo buat nyanyi satu lagu buat menghibur kita di tempat ini." Ucap El dengan tawa merekah. Cewek itu duduk tepat di sebelah Rangga dengan kedekatan yang hampir menempel. Adit tersenyum melihatnya, sejak kejadian beberapa bulan lalu, di mana kami hampir kehilangan Rangga, El seolah sadar dengan semua hal yang sudah dia lakukan selama ini. Cinta buta dan kenyamanan semu yang menjadikan dirinya lupa akan sosok yang selama ini selalu ada untuk dirinya. Dan sekarang, setelah semua berlalu, El dan Rangga semakin dekat, bahkan keluarga mereka juga sudah mengetahui kedekatan itu, maka tidak salah, setelah kejadian itu, keluarga Rangga semakin peduli dengan Rangga, dan mulai mengurangi intensitas pekerjaan dan sering meluangkan waktu untuk kami. Tentu saja bukan hanya Rangga, kami para sahabat juga sudah dianggap selayaknya keluarga oleh mereka. Dak kedekatan kami sudah bukan seperti orang lain lagi, tapi sudah seperti keluarga kandung. "Oke siapa takut." Adit mengambil mic dari Anjar dan menatap Rangga. "Kartonyono medot janji." "Dih, harus banget koplo?" Balas El dengan cepat. "Lah, gue kagak bisa lagu lain selain lagi koplo." "Makanya belajar! Bosen gue denger lagi itu Mulu." "Ya udah sih, nikmati aja, lagian yang lain juga nggak protes kan?" El merenggut, lalu menoleh kearah Rangga dengan tatapan yang terlihat lucu di sana, sedangan Rangga hanya membalasnya dengan kekehan pelan, sebelum mengangkat tangannya dan mengacak rambut El pelan. "Udah, lagian buat seru-seruan kan?" "Tuh, Rangga aja nggak keberatan!" Rutuk Adit setelah, merasa tak mendapat pembelaan dari Rangga, El malah melipat tangannya di d**a dan menatap ke arah Adit tajam. "Serah Lo deh." "Nah, gitu, dari pada gue nyanyi lagu b****g semok kan? Malah lebih parah tuh." "Iye iye, serah Lo!" Adit tersenyum lebar, lalu ketika Rangga mulai memetik gitar mengiringi lagi yang beberapa tahun ini tengah naik daun itu membuat Adit langsung bersiap-siap. Walau dengan suara pas-pasan, dan suara yang tergolong ancur, dia dengan pedenya menyanyikan lagu itu. Lagi yang katanya lagi galau dengan sejuta kesedihan di dalamnya. Tapi anehnya, Adit malah menyanyikan lagu itu dengan kebahagiaan yang luar biasa. Terlebih ketika dia membayangkan hari ini adalah hari keberuntungan dirinya. Bahkan hingga malam mulai larut dan Adit sudah menyanyikan tiga buah lagu andalannya. Mereka masih terlihat bahagia dengan tawa yang mer kah di sana. Dari sudut ruangan, terlihat dua pasang orang dewasa tengah mengamati mereka berempat yang terlihat bahagia di sana. Senyum terbit di wajah dia orang itu. "Beruntung, anak kita memiliki teman-teman yang selalu ada untuk dia. Bahkan setelah kita abai dan melupakan keberadaanya, mereka masih setia menemani anak kita." Ujar pria paruh baya yang tak lain adalah ayah dari Rangga. Sejak kejadian itu, kedua orang tua itu seolah terpuruk akan rasa bersalah yang sangat besar, hingga ketakutan dalam diri mereka menguar dan membuat mereka trauma akan hal itu. "Beruntung karena mereka benar-benar peduli dengan anak kita." Balas sang istri dengan raut bahagia di sana. Keduanya terus memperhatikan anak-anak itu hingga tak lama setelahnya datang asisten rumah tangga yang langsung menunduk di hadapan dua orang itu. "Permisi, tuan. Masakan sudah siap." Sang nyonya menoleh terlebih dahulu, lalu tersenyum begitu lembut kearah asisten rumah tangganya. "Makasih, bi. Sebentar lagi kita makan." "Baik nyonya." Si wanita paruh baya itu mengangguk pelan. "Kalau begitu saya ke dalam dulu." Si nyonya mengangguk, tak melepaskan senyum di wajahnya, setelahnya dia beranjak dari sana dan menghampiri anak-anak di taman. "Hei, kalian belum selesai?" Keempat anak itu menoleh cepat, terutama Anjar yang masih menyanyi. Mereka semua tersenyum malu karena perbuatan mereka jelas di lihat oleh orang tua Rangga. "Udah capek sih om, udah laper juga." Anjar langsung menyaut cepat. "Yee, Lo mah perut mulu yang di pikirin!" Balas El sewot. "Orang laper kok, ngapa harus jaim?" Kata Anjar tak mau kalah. "Gue juga laper btw." Kata Adit tak mau kalah. Keributan itu tentu saja membuat bunda Rangga menggeleng pelan, dan membuat sang suami terkekeh pelan karenanya, sungguh. Mereka tidak menyangka jika Rangga bisa mendapatkan teman-teman seperti tiga orang di sana. Dan jauh dalam hati mereka. Kedua orang tua itu mengucap syukur dan kata terima kasih untuk mereka. "Ya nggak usah malu-maluin gitu lah, lagian udah tengah malam juga, masih mikirin makan!" Bala El yang masih memasang raut sewot di wajahnya. "Yang namanya laper tuh nggak peduli mau jam berapa aja, laper ya laper." Balas Anjar tak mau kalah. "Udah-udah, masa masalah gini aja kalian berantem sih. Lagian Tante kesini emang sengaja ngajak kalian makan kok." "Tuh, Lo sih nggak percaya apa kata gue!" Balas Anjar seolah menang dengan perdebatan mereka. Sedangkan El hanya mengerucut bibir kesal karena perbuatan Anjar. Rangga terkekeh pelan di sebelahnya, lalu merangkul pundak gadis itu, dan mendekapnya dengan kuat. "Udah ah, buru makan aja!" Kata Rangga melerai pertikaian mereka. Dia meletakkan gitarnya dan segera beranjak dari duduknya. "Yuk!" "Aku nggak makan deh, udah malem." Kata El sembari berdiri dari sana. "Dih hari gini masih jaman takut gendut!" Cibir Anjar mendengar ucapan El. Entah kenapa cowok itu selalu saja membuat masalah untuk El. "Diam, Lo!" Sentak El tak terima. "Marah! Marah. Gitu doang marah!" Balas Anjar uang langsung berlari masuk meninggal orang-orang itu setelah melihat El melotot tajam kearahnya. Ayah dan bunda Rangga hanya terkekeh melihat tingkah konyol anak-anak itu, lalu setelahnya mereka meninggalkan area taman dan masuk kedalam rumah. Tidak dengan Adit, cowok yang baru saja menerima pesan dari seseorang langsung terdiam kaku. Dia membaca berulang-ulang pesan itu dengan seksama. Dari sekian banyak pesan yang dia kiriman sebelumnya, hanya kali ini dia mendapatkan balasan, walau hanya ucapan terima kasih dari Anya, tapi dia bisa mengerti maksud dari isi pesan itu. Sungguh, ternyata menikung seseorang ketika wanita itu bersedih adalah hal yang terbaik, dan kini dia tahu trik yang akan dia gunakan untuk terus mendekati Anya. Tentu saja melalui jalur orang dalam. Di jaman moderen seperti sekarang, jalur orang dalam adalah sesuatu yang sudah sering di gunakan dalam bidang apapun itu, bahkan bidang pekerjaan saja harus menggunakan jalur orang dalam agar bisa lolos. Kepintaran nomor sekian, orang dalam adalah yang utama. Dan Adit akan menggunakan cara itu agar bisa mendekati Anya. Orang tua Anya, dia akan mendekati orang tuanya, lalu meminta restu dan berusaha untuk dekat dengan orang tuanya. Setelah mendapat lampu hijau, maka dia akan dengan giat memepet wanita pujaan hatinya itu. Adit membalas pesan itu dengan senyum tertahan di wajahnya. Sama-sama, lain kali kabari aja kalo butuh sesuatu. Walau hanya sebaris kata itu, dan hanya ada satu centang setelahnya, tetap.saja Adit merasa debar yang luar biasa di dadanya. Katakan saja dia berlebihan, tapi momentum inilah yang dia inginkan sejak dulu, sesuatu yang sudah lama dia nantikan, dan dia bisa mewujudkannya sebentar lagi. "Woy! Ngelamun aja! Makan kagak!" Adit mendongak ketika teriakan Anjar membuat dirinya terkejut. Dia menoleh ke sekitar dan tidak mendapati satu orang pun ada di sana. Setelahnya dia meringis kecil. Sepertinya dia tertinggal sendiri di tempat ini. "Malah bengong! Kalo nggak makan gue abisin nih!" Teriak Anjar lagi." "Eh enak aja!" Adit membalas, menyimpan ponselnya lalu berlari menyusul Anjar. "Gue juga laper setan!" Ucap Adit lagi dengan napas sedikit terengah-engah. "Ya makanya jangan kelamaan, El tuh s***s makan duluan." "Lah katanya nggak mau makan?" "Ada salad makanya dia doyan." "Lah, kek biasa aja perutnya makan gituan." "Udeh, nggak usah protes, buru masuk kita makan bareng!" Adit mengangguk lalu mengikuti langkah Anjar masuk. Mereka berdua menuju ruang makan yang terlihat sangat luas. Bukan hal mengejutkan lagi jika rumah Rangga sebesar ini, karena mereka sendiri sudah terbiasa dengan hal itu. Anjar dan Adit memilih duduk bersebelahan, lalu mereka mulai membuka piringnya setelah mendapat izin dari tuan rumah. Adit mengambil ayam bakar dengan perasan jeruk sate, sedangkan Anjar memilih mengambil ikan gurame bakar dengan ukuran besar yang utuh keatas piringan, tak lupa memberi perasan jeruk nipis di atasnya. "Kalian laper apa doyan? Rakus amat!" Sindir El ketika melihat perbuatan kedua orang itu. "Terserah mau di bilang apa. Mumpung ada ini!" Balas Adit. "Bener, dari pada sok jaim tapi akhirnya makan juga!" Balas Anjar yang terlihat jelas menyindir El di sana. "Dih, suka-suka gue lah!" Balas El tak mau kalah. "Dih, suka-suka gue juga lah!" Ucap Anjar mengikuti ucapan El dengan gaya yang di buat-buat. Mereka saling tatap sejenak sebelum tawa ayah Rangga membuat keduanya terdiam. "Kalian nih, masih aja sempet-sempetnya ribut di meja makan." Kata ayah Rangga dengan tawa pelan. "Suka ribut, tapi kalo satu nggak ada saling cari!" Lanjut bunda Rangga dengan kekehan pelan. Cara tertawa wanita anggun memang berbeda, dan membuat El serta Anjar malu dibuatnya. "Sudah makan dulu, habis itu kalian bermalam di sini. Besok pagi-pagi sekali kita berangkat." Lanjut ayah Rangga. "Kalian udah izin sama orang tua kalian, kan?" Tanya bunda Rangga. "Sudah Tan, tadi langsung izin sebelum ke sini." Balas El pelan. Adit mengingat sesuatu ketika mereka membahas soal izin. "Aduh hampir lupa, itu om, tante, tadi bapak sama mamak titip.salam buat om sama Tante." "Waallaikumsalam, sampaikan salam dari om juga ya." "Siap om." Ucap Adit dengan senyum lebar. Mereka memang jarang berinteraksi, karena sebelum ini mereka memang jarang bertemu, selain ayah Rangga yang terlalu sibuk, mereka juga sedikit ada jarak yang membuat Adit sedikit sungkan untuk menyapa dua orang itu. Katakan saja Adit agak sedikit minder dan takut ketika berteman dengan orang yang memiliki derajat lebih tinggi darinya, dan ternyata setelah melihat bagaimana mereka memperlakukan teman-teman Rangga, Adit benar-benar terkejut, atau bersyukur karena nyatanya orang tua Rangga benar-benar baik, persis seperti sifat Rangga. "Ya udah kalau sudah selesai makan, kalian istirahat saja. Om sama Tante mau ke kamar dulu." Kata bunda Rangga yang memilih undur diri karena sepetinya mereka hanya memakan kudapan saja, dan memang mempersiapkan makanan mewah itu untuk teman-teman Rangga. "Siap, om!" Jawab Adit dan Anjar bersamaan. Mereka melanjutkan makan mereka hingga tak lama setelahnya mereka memilih menuju kamar mereka masing-masing, rumah yang besar tentu saja diimbangi dengan kamar yang banyak. Adit dan Anjar memilih untuk satu kamar. Rangga tentu saja ke kamarnya. Sedangkan El memilih untuk satu kamar yang berukuran sedang di sudut ruangan makan, dan mereka memilih untuk beristirahat dan melanjutkan kegiatan mereka esok hari. Berlibur ke salah satu tempat yang baru mereka datangi kali ini, sungguh membayangkannya saja membuat Adit dan Anjar sulit tidur karena tidak sabar menanti pergantian hari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN