Nah itu. Ucapan Irgi yang terakhir malah membuatku akhirnya tidak bisa tidur semalaman. Dan alhasil aku akhirnya terus menguap pagi ini. Menemani Irgi di dalam kamar perawatannya. Meski ditemani Meita. Tapi di bawel itu sudah tertidur lebih cepat di sofa panjang yang ada di pojok kamar. Mama dan papanya Meita juga ikut menemani sebentar, dan mengurus semua administrasi Irgi. Sedangkan Irgi memang tidur lebih awal karena obat yang diberikan dokter.
Untung saja luka Irgi tidak begitu parah, hanya tergores di bagian kening. Tapi memang butuh jahitan dan mengharuskan Irgi untuk beristirahat di rumahnya selama kurang lebih 3 hari. Tapi Irgi tetap berkeras dia akan ke kampus, meminta pertanggung jawaban Andi. Yang memang mengindikasikan pria itu memang dengan sengaja menyerempetnya.
Aku kembali menguap. Om Radit dan Tante Agni juga ikut menjenguk Irgi pagi tadi tepat sebelum kami bersiap pergi dari rumah sakit. Tante Agni juga memberikan baju ganti untukku.
Padahal sumpah, aku ingin bergelung di atas kasur saat ini. Membayangkan Kasur yang empuk sungguh menggodaku. Tapi Irgi memaksaku untuk menemaninya ke kampus. Tuh kan, padahal aku pingin banget bolos.
"Kenapa kamu menguap terus?" Irgi melirikku. Pria itu masih menggunakan perban yang melingkari kepalanya. Sebenarnya aku kasihan dengan keadaannya. Tapi begitu sampai di sini juga, Irgi tampak sibuk. Aku maklum dengannya yang memang asisten dosen itu.
Sedangkan aku hari ini cuma ada satu mata kuliah dan sudah selesai dari tadi. Aku menunggu Irgi dan duduk di koridor di depan ruangan dosen. Rencananya sih, habis ini kami mau menemui Andi. Biang kerok dari ini semua.
Irgi baru saja menghempaskan tubuhnya di sebelah dan pria itu tampak lelah.
"Aku ngantuk." kembali aku menguap. Dan beberapa mahasiswa yang lewat di depan kami tampak sedikit penasaran. Yah sepertinya gosip sudah menjadi santapan yang lezat di sini.
Irgi tiba-tiba menarik kepalaku dan menyandarkan di bahunya. Tentu saja aku langsung menolaknya. Dia gila apa?
"Kenapa?" Irgi mengucapkan itu tanpa melihat ke arahku. Dia masih sibuk dengan buku tebal yang ada di pangkuannya. Sepertinya itu materi pelajaran.
"Kenapa apa? Ini tempat umum. Dan aku juga belum mengijinkanmu menyentuhku." Aku menjauh dan kini duduk di pojok kursi. Dan aku melihat Irgi mengulas senyum tipisnya meski dia tidak mengangkat wajahnya. Masih fokus dengan buku tebal itu.
Huft. Kutiup poniku lagi. Mataku benar-benar sudah tidak kuat untuk terbuka. Entah untuk beberapa saat aku memang tidur atau memang tidur ayam. Tapi begitu mata terbuka. Aku merasakan kepalaku berbantalan sebuah jaket yang di letakkan di sandaran kursi dari besi ini. Sedangkan posisiku sendiri bersandar di kursi itu. Sungguh memalukan memang. Dan ketika melirik ke arah Irgi duduk, dia tidak ada di sana. Meski masih ada tas ransel dan juga bukunya tadi. Kemana pria itu?
Aku memutuskan untuk menunggu lagi. Dan menguap berkali-kali.
"Bulan cantik." Sapaan Seno yang lewat di depanku membuatku mengangguk. Pria itu mengedipkan mataku dengan genit. Tapi dia memang seperti itu. Kalau bertemu denganku.
"Nabilaaaa..." segerombolan mahasiswa dari fakultas seni melangkah dari arah berlawanan saat Seno melewatinya. Dan aku hanya tersenyum saat empat pria itu berebutan untuk menyapaku ketika lewat lagi di depanku. Tapi aku mengernyitkan kening. Tidak biasanya pria itu hanya lewat dan memanggil. Biasanya mereka duduk sebentar untuk merayuku mengajakku kencan. Meski selalu kutolak.
"Irgi mana Bul? Tuh si Andi lagi ada di kelas statistik." Aku mengalihkan pandanganku lagi ke arah kananku dan mendapati Rio. Salah satu sahabat Irgi, itu kata Meita kini berdiri di sampingku.
Aku menggelengkan kepalaku. " Kagak tahu. Tadi ada di sampingku sih. Tapi pas aku tertidur dia menghilang. Mungkin di toilet." Tapi aku mencerna ucapan ku sendiri. Kenapa lama sekali? Atau terjadi sesuatu kepada Irgi? Pria itu jangan-jangan pingsan?
Aku langsung beranjak berdiri.
"Aku cari dulu di toilet." Rio langsung mengangguk mengiyakan.
"Gue tunggu di sini ya Bul. Jagain tasnya Irgi sama punya loe." aku hanya mengangguk dan segera melangkah cepat menuju toilet yang ada di sayap kanan. Toilet terdekat dari fakultas ini.
Tapi saat langkahku hampir sampai di toilet, aku mendengar suara dari arah ruangan kesehatan yang memang harus di lewati. Aku masih menguap saat melangkah dan tubuhku sedikit limbung. Mungkin dengan mengambil vitamin yang memang disediakan gratis untuk mahasiswa yang membutuhkan. Dan saat aku membuka pintu, tiba-tiba semuanya terlihat begitu jelas. Aku bergetar melihat pemandangan yang terpampang di depanku.
Lututku lemas. Tapi aku tak sadar kalau tubuhku yang limbung langsung menubruk pintu membuat pintu itu berdebam dengan keras. Dan saat itulah kedua orang yang entah sedang apa kini menoleh ke arahku. Dan aku bisa melihat wajah Irgi yang pucat pasi. Ingin aku marah kepadanya. Tapi seketika aku melihat noda darah merembes dari perban Irgi. Dan aku tahu dia sedang kesakitan.
Kemejanya sudah terkoyak, sepertinya dibuka secara paksa oleh Rania. Yap, Irgi aku temukan sedang memunggungiku dan tangan wanita sedang merengkuh lehernya. Seperti posisi berciuman. Tapi raut wajah Rania kini terlihat kesal saat melihatku.
"Pergi!" Suara dalam Irgi tampak terdengar begitu murka. Dan itu di tujukan kepada Rania yang sudah turun dari atas brankar yang di letakkan di pojok ruang kesehatan ini.
Rania akan menjawab, tapi tahu kalau Irgi akan meraung murka. Karena wajah Pria itu tampak begitu suram saat ini.
"Aku tak akan berhenti untuk membuatku kembali kepadaku!" Rania berteriak dan langsung berlari meninggalkan kami berdua.
Irgi menghela nafas lega, dan kini menyandarkan punggungnya di brankar. Dan dia merintih saat memegang kepalanya.
Tentu saja aku langsung berlari ke arahnya. Dan memegang lengannya.
"Bukan seperti yang kamu lihat." Irgi langsung menunjukkan beberapa kancing bajunya yang sudah terlepas. Dan aku bisa melihat dengan jelas kalau kancingnya sudah hilang dan ada sedikit paksaan.
"Jangan bilang dia mencoba memperkosamu?" kuangkat alisku masih gak percaya. Bukankah Irgi masih mencintai Rania? Dan pria itu mungkin merindukan Rania dan b******u di tempat...
Aku langsung menggelengkan kepalaku. Kenapa aku peduli? Dan kenapa hatiku mencelus saat ini? Kayaknya aku harus periksa ke dokter hati kalau begini.
"Hilangkan imajinasimu yang terlalu berlebih. Aku tak ada apa-apa sama Rania. Tadi aku memang baru saja dari toilet saat tiba-tiba aku ditarik masuk ke sini. Dan Rania seperti kesetanan saat memaksaku....."
Aku langsung menghentikan ucapannya dengan mengangkat salah satu tanganku.
"Tidak perlu menjelaskan apapun. Sekarang kamu duduk dan aku ganti perbanmu."
Aku memaksa Irgi untuk duduk di atas brankar. Dan mulai mengambil perban yang ada di kotak obat.
"Bulan. Aku tidak mau kamu berpikiran yang macam-macam. Rania tidak pantas mendapatkanku kembali."
Aku langsung menoleh kepada Irgi. Pria itu sudah melepas perbannya sendiri dan kini memang terlihat jahitan yang belum mengering di keningnya itu sedikit berdarah.
Dengan mengabaikan ucapan Irgi, aku melangkah mendekatinya. Membersihkan darah itu dengan kapas. Dan langsung mengganti perban yang lama dengan yang baru. Aku bisa merasakan Irgi menatapku lekat. Bahkan sedekat ini berdiri di depan Irgi. Dengan aroma tubuhnya yang maskulin dan nafas hangatnya menerpa wajahku membuat aku benar-benar gugup.
"Jadi seberapa pantas wanita yang bisa menjadi istrimu?"
Aku mencuci tanganku di wastefel setelah selesai dengan Irgi. Tak menyadari kalau Irgi sudah beranjak berdiri dan kini melangkah mendekatiku.
"Kamu yang pantas untukku." Bulu kudukku langsung meremang saat menyadari Irgi ada di belakangku. Tapi saat aku berbalik, pria itu sudah melangkah keluar dari ruangan ini.
****
Rasa kantuk ku sudah hilang saat ini. Irgi menarikku untuk menemaninya menemui Andi. Tapi pria itu ternyata sudah pulang. Dan sia-sia sepertinya hari ini.
"Aku harus mengantarkanmu sampai rumah Om Radit ya?"
Tapi aku kembali menggeleng. Entah kenapa malas berbicara dengannya sejak keluar dari ruangan kesehatan. Membayangkan dia tadi dipeluk erat oleh Rania masih menyisakan kekesalan.
Susah duduk di dalam mobil Irgi. Tapi aku juga khawatir kalau membiarkan dia menyetir seorang diri
"Aku saja sini." Akhirnya aku menoleh ke arah Irgi. Tapi dia sudah melajukan mobilnya.
"Aku bisa kok. Tapi sampai rumahku saja ya. Aku sedikit pusing."
"Aku bisa pulang sendiri naik taksi." Aku berkeras tapi Irgi tak menjawab lagi. Dia tetap melajukan mobilnya menuju rumahnya.
Tentu saja aku diam lagi. Sampai akhirnya mobil sampai di halaman rumah milik Irgi. Dia menoleh kepadaku saat aku melepas seatbelt.
"Please. Temani aku masuk ya? Mama papa masih di luar kota. Aku pusing dan butuh tidur sebentar. Kamu mau kan menjagaku?"
Permintaan yang tulus dan membuatku iba itu tentu saja tidak bisa aku tolak. Aku hanya mengangguk dan kini menemani Irgi keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam kamar.
Dan benar saja, tepat saat kami sampai di ruang keluarga. Yang hanya di lapisi permadani tebal motil bunga berwarna merah itu. Irgi langsung menyuruhku untuk duduk. Dan pria itu tiba-tiba merebahkan kepalanya di atas pahaku
Astaga!!! Dia mau apa coba.
"Gi ngapain?"
"Biarkan begini sebentar saja." Irgi menjawab dengan memejamkan matanya. Aku panik. Belum pernah melakukan kontak fisik yang seperti ini. Bagiku ini sudah intim.
Wajahku pasti susah seperti kepiting rebus saat ini. Tapi aku bisa apa? Irgi sudah tertidur pulas di pahaku. Babeeeee...anakmu ini butuh penyelamatan.