SCENE 17 MENGEJAR PURNAMA!

1256 Kata
Aku merasa tak berguna. Entah kenapa, dikonfrontasi oleh keluargaku sendiri. Dan kini sudah balik lagi ke Bandung. Bagaimanapun juga rutinitasku masih terus berjalan. Meski Irgi tidak menjawab saat aku mengatakan ingin tetap meneruskan pernikahan ini. Irgi hanya mengatakan kalau aku harus fokus ke kuliahku lagi. Hanya itu dan pria itu tak mengatakan apapun lagi. Tentu saja aku menjadi salah tingkah serba salah, dan papa Mama mengindikasikan kalau aku dan Irgi sudah berbaikan lagi dan tetap meneruskan pernikahan ini. Kukunyah es balok yang ada di dalam gelas berisi es teh di atas mejaku. Aku lelah. Berangkat dari rumahnya Tante Agni mengharuskanku untuk berangkat lebih pagi. Bagaimana bisa aku berkonsentrasi kalau begini. “Heh. Buuuull...Lo kenapa? Asem banget muka Lo. Kayak belimbing baru di panen." Aku hanya mendesah. Baru kali ini Nabila Bulan Dirgantara tidak bersemangat. Penampilanku seperti gembel. Celana jins belels dan kaos oblong. Rambutku kubiarkan berantakan dari jepit rambut yang kini menahan rambutku yang panjang dan tebal. Tanpa makeup, tanpa bedak dan juga deodorant. Biarin. Toh aku juga tidak mau tampil cantik, lagi malas. Hidupku berantakan. "Jadi undangan udah di sebar ya?" Meita bertanya kepadaku lagi dan aku hanya mengangkat bahu. Mau menikah juga biarlah. Toh Irgijnya juga malas sama aku. "Tuh kan lo kesambet kayaknya deh. Apa kangen ama Irgi?" Nah sahabatku ini emang bawel. Tapi mungkin Irgi juga tidak cerita apapun tentang permasalahan kami. "Nah pucuk di cinta Irgi pun tiba. oiiii Gi calon bini loe nih kangen." Aku tentu saja panik menatap sekeliling. Untung saja ini masih pagi dan kantin masih lengang oleh mahasiswa. Dan benar saja, pria yang kini sedang melangkah mantap ke arahku tampak mengintimidasi. Tapi Irgi juga sepertinya terlihat berantakan. Rambutnya acak-acakan. Jaket jinsnya memeluk dirinya tapi celana jins robek-robek di pakainya. Bukan Irgi seperti biasanya. "Aku menjemputmu ke rumahnya Om Radit." Aku mengernyitkan kening mendengar ucapan Irgi. Dia sudah duduk di depanku sementara Meita sudah meninggalkanku sendiri. Dasar. "Memangnya kamu tahu aku udah balik?" Dan melihat anggukan Irgi membuat Aku menatapnya dengan bingung. Tapi dia sudah berbalik dan melambai kepada Mang Ujang, penjual soto di sini. Memesan soto dan es teh. Kuhela nafasku, dan kutiup poni rambutku yang kini sudah menutupi mataku. "Kenapa kamu berpakaian seperti itu?" Irgi menatapku dan kini menelusuri tubuhku. "Bukan urusanmu juga. Kamu toh sudah bukan apa-apa ku. Kalau kamu menolak ku, tolong bilang sama papa kita tidak jadi menikah." Setelah mengucapkan itu aku menatap Irgi yang tampak kecewa dengan ucapanku. Tapi dia hanya mengangkat bahu. Tentu saja aku tidak suka diperlakukan seperti ini. "Kenapa kamu memintaku untuk menikahimu? Bukankah aku duda?" Pertanyaannya membuat aku terdiam. Kenapa Irgi membahas ini lagi. Soto yang di pesan Irgi sudah datang dan aku sudah tak ingin berbicara dengan Irgi. Aku langsung beranjak dari dudukku. Menarik tas ransel ku dan segera pergi. Aku tak mau di permalukan lagi di depan umum. Memangnya aku ini apa? Kuturuni tangga dan langsung berlari menuju taman yang akan membawaku ke halaman kampus. Kenapa Irgi bersikap sinis kepadaku. Aku menyeberang jalanan dan baru akan melangkah ke arah halte bus saat terdengar teriakan Irgi. "Bulan... Jangan lari lagi." tentu saja aku langsung menoleh ke belakang. Dan saat itulah aku terdiam membeku karena dari arah depanku, bersamaan dengan Irgi yang sedang berlari ke arahku. Sebuah mobil tiba-tiba melintas. Refleks aku menutup mataku, aku tidak bisa melihat kejadian ini. Suara decitan ban dan mobil yang berhenti langsung membuatku membuka mata. Irgi tampak terkapar di jalanan aspal dan sudah banyak orang yang mendekatinya. Sedetik dua detik aku masih tak bergerak. Tapi saat sadar itu Irgi, aku langsung berlari ke arah Irgi yang sudah diangkat oleh orang-orang dan langsung di masukkan ke dalam mobil yang ada di dekatnya. "Irgi." aku berlari dan berusaha mendekati Irgi dan orang yang menolong Irgi menatapku. "Kamu siapa?" "Tunangannya." Refleks aku mengatakan itu. Dan orang itu mengangguk dan mengizinkanku untuk masuk ke dalam mobil. ***** Mengantuk, tapi aku tetap ingin terjaga. Meita sudah menemaniku. Irgi sudah selesai di obati. Lukanya sebenarnya tak fatal, hanya saja keningnya membentur aspal dan perlu di jahit. Mobil yang sengaja menabrak Irgi ternyata milik Andi. Aku sungguh tak bisa berpikir saat ini. Terlalu khawatir dengan keadaan Irgi. "Loe mau pulang dulu Bul? Om sama Tantemu udah loe beritahu?" Aku hanya mengangguk. Tapi kemudian menggeleng. Tadi sudah menelepon Om Radit dan mengatakan aku tidak pulang karena menjaga Irgi yang kecelakaan. "Gue ingin di sini saja. Kedua orang tua Irgi lo udah hubungin?" Dan Meita mengangguk. "Om sama Tante lagi diluar kota hari ini. Makanya gue yang nemenin Irgi." Aku hanya menghela nafas. Lalu menyandarkan kepalaku di dinding di belakangku. Kami duduk di bangku yang ada di depan koridor dimana kamar perawatan Irgi ada di depan kami. "Kalau gitu gue juga mau di sini. Please." Aku menoleh kepada Meita dan dia mengangguk. "Ya udah. Gue pulang dulu ambil baju ya. Mama sama papaku juga nanti ke sini. lo jaga Irgi ya." Aku hanya mengangguk. Irgi masih di periksa di dalam sana setelah selesai di jahit di kamar operasi. Aku belum siap melihat keadaan Irgi saat ini. Aku merasa bersalah. Tapi saat Meita sudah melangkah pergi meninggalkanku, akhirnya kukuatkan diriku untuk melihat keadaan Irgi. Melangkah mendekat ke arah pintu dan membukanya pintunya. Bau obat langsung menguar di sekelilingku. Dan mendengar Irgi berteriak kepada seorang suster yang sedang menyuntikkan obat di lengannya. "Aku tak perlu di suntik dan tak perlu di rawat aku juga tak mau minum penghilang rasa sakit ini." Melangkah mendekati Irgi yang masih menatap galak suster yang tak mempedulikan bentakannya. "Gi, jangan melawan biar kamu cepet sembuh." mendengar ucapan ku membuat Irgi langsung mengalihkan tatapannya. Dia menyunggingkan senyum tipis meski perban kini membebat kepalanya. Suster di depannya sudah selesai menyuntikkan obat dan kini memaksa Irgi untuk meminum obat yang ada di atas nakas. Tapi Irgi langsung menggeleng. Aku langsung mendekati suster itu dan mengatakan aku yang akan meminumkannya. Suster itu tersenyum maklum dan segera melirik Irgi. Tanpa mendengarkan gerutuan Irgi aku langsung meraih gelas berisi air putih dan obat yang sudah di siapkan. "Minum dan jangan membantah!" kusuapkan obat itu dan dia menurut. Lalu setelah tegukan air dia menatap ke arah suster yang tampak menyunggingkan senyumnya lagi. "Dia kecil, tapi galak." Irgi menunjukku dan menatap suster itu yang hanya menatapku dengan terimakasih. Lalu mengintruksikan kalau Irgi harus meminum obatnya dan berpamit pergi.   Kuhela nafasku saat Irgi menyandarkan kepala di atas bantal. Aku duduk di atas kursi plastik yang ada di samping brankar. "Gi, maafkan aku" Melihat Irgi yang kini tengah menatapku dan aku tak menduga kalau Irgi tersenyum. "Eheemm rasanya sakit." Dia menyentuh kepalanya. Tentu saja aku menatap panik. Dia manja ternyata. Karena saat aku sudah berdiri dan ingin menyentuh lukanya dia tersenyum lagi. "Jangan manja." Akhirnya aku memberengut dan kini duduk lagi. "Kenapa lari dariku?" Irgi kini menatapku lekat. Dan aku mengerutkan kening ku. "Aku tidak lari. Hanya saja kamu begitu dingin denganku. Kemarin saat aku telepon kamu juga sepertinya marah. Aku minta maaf kamu juga tak mau menerima. Jadi aku harus bicara apalagi? " Aku hampir menangis menyadari Irgi masih menatapku lekat. Dengan perban di kepalanya kenapa Irgi masih tampak begitu tampan? "Aku tak marah sama kamu. Tidak dan tidak akan." Irgi mengulurkan tangan untuk menyentuh jemariku. Memainkannya dan menggenggamnya erat. "Hanya saja, aku memang merasa aku sudah menjadi bekas. Aku tak sanggup untuk memilikimu." Irgi memalingkan mukanya. Dan aku tahu dia terluka atas ucapanku kemarin. "Tapi kita tetap menikah kan? Keluargaku akan menanggung malu kalau kamu tak mau menikahi ku." Air mata sudah menetes. Dan biarlah aku terlalu takut. Tapi Irgi langsung mengulurkan tangannya dan mengusap air mata yang membasahi ku. "Siapa yang mengatakan tak mau menikah?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN