SCENE 15
DUDA!
Membolos kalau ini. Aku masih bingung dengan semuanya. Saat itu irgi mengandengku untuk masuk ke dalam mobilnya. Dan akhirnya kami berada di sini. Di sebuah rumah yang di akui Irgi sebagai rumahnya. Memangnya dia mau apa mengajakku ke sini?
Mempersilakan aku duduk, dan menghilang lagi ke dalam.
Sungguh aku seperti boneka yang hanya di bawa ke sana ke sini. Enak saja itu.
"Minum." Irgi sudah kembali dengan meletakkan satu kaleng minuman dingin. Dia sendiri sudah duduk didepanku dengan meminum kaleng minuman yang di pegangnya.
"Aku mau kembali ke kampus. Aku kan sedang menunggu pelajarannya..."
Tapi Irgi sudah mengangkat tangannya lagi. Menghentikan aku berbicara.
"Nanti kalau sudah kondusif. Aku membawamu ke sini, karena di kampus sekarang pasti heboh karena Rania kembali."
Aku bisa melihat irgi tidak nyaman saat mengucapkan nama mantan istrinya itu. Sepertinya Irgi juga masih mencintainya kalau begitu. Uh apa urusanku coba? Mau dia cinta mati sama si Rania itu juga gak bakalan ngefek. Eh tapi... dia kan mau jadi suamiku?
"Biar deh mau istrimu itu kembali, terus urusannya sama aku apa coba?"
Aku menatap galak kepada Irgi lagi. Dia sepertinya tak nyaman dengan pertanyaanku. Duduk di sofa berwarna putih, dengan lengan kemeja yang sudah di gulung sampai siku. Dan mengacak rambutnya, Irgi tampak begitu...
Kugelengkan kepalaku lagi. Kenapa aku terpesona dengan Irgi? Toh pria tampan lainnya juga banyak yang lebih dari Irgi. Apalagi yang mengejarku selama ini juga banyak yang lebih tampan. Kan aku Cuma tergila-gila sama guru kakashi. Tahu kan? Gurunya Naruto itu yang bermata satu. Nah itu. Ih aku mulai absurd.
"Dengar. Rania itu wanita yang tak segan-segan menyakiti orang yang di bencinya. Dan sepertinya dengan ucapanku tadi, Rania tahu kalau kamu sasaran berikutnya."
Irgi memutar-mutar kaleng minuman yang kini di letakkan di atas meja. Lalu kembali menatapku.
"Aku tak ingin kamu menjadi sasaran Rania. Aku dan dia sudah selesai. Tapi dia kadang memang seperti itu. Berkeras kalau dia menginginkan sesuatu." Irgi menyugar rambutnya lagi. Tampak muram kali ini.
"Aku dulu bodoh. Masuk ke dalam perangkapnya. Padahal dia sebenarnya sudah berpacaran dengan Andi." Ucapan Irgi itu membuatku membelalak. Andi siapa? Andi yang kemarin...
"Andi yang itu?" Dan saat melihat Irgi mengangguk. Kuhela nafasku. Pantas saja sikap mereka berdua seperti musuh lama.
Kali ini Irgi beranjak dari duduknya, lalu melangkah ke arah jendela besar dengan tirai hijau yang menghiasinya. Rumah Irgi ini terbilang minimalis. Tapi aku merasa nyaman berada di sini.
"Aku ingin melindungimu." Irgi memunggungiku dengan tangan bersandar di depan jendela. Tentu saja aku merasa tersanjung dengan ucapannya.
Akupun akhirnya ikut berdiri dan melangkah mendekatinya. Melewati permadani tebal yang terasa begitu halus di atas kakiku. Lalu sampai di samping Irgi.
"Aku tak perlu kamu lindungi. Bulan kan kuat." Aku berusaha mencairkan suasana. Toh memang tidak ada yang bisa mengintimidasiku. Anaknya papah Langit ini berani dan kuat.
Tapi kemudian Irgi menoleh kepadaku. Tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya lagi.
"Kenapa kamu selalu menolakku? Bukankah kamu yang pertama menawarkan kalau aku harus jadi pacarmu?"
Skak mat.
Mati ini aku. Apa yang harus kujawab sekarang? Masa aku bilang itu karena taruhan tas dengan si Meita? Bisa marah ini Irgi. Aku toh tak mau membuatnya semakin muram saat ini.
Sebelum aku menjawab. Irgi sudah membalikkan tubuhnya. Bersandar di dinding. Dengan tangan bersedekap di depan d**a. Menatapku dengan pandangan malas.
"Jangan bilang kamu Cuma main-main denganku? Setelah apa yang kurasakan kepadamu. Kamu harus bertanggung jawab kepadaku. Karena aku mencintaimu."
Tentu saja mataku melotot lebar. Pasti wajahku kali ini seperti kucing Garfield yang mempunyai bola mata bulat dan gede itu. Irgi mencintaiku?
"Kenapa melotot? Kamu terkejut?" Tuh kan? Aku harus jawab apa. Lidahku kayaknya tak bisa bergerak kali ini.
"Ehemm... Sebenarnya iya sih. Kata si Meita kamu itu terlalu mencintai istrimu, dan akhirnya patah hati dan tidak ingin mengenal seorang wanita lagi. Jadi mana mungkin kamu mencintaiku?"
Kutunjuk diriku sendiri dan kini mulai mengalihkan pandangan lagi ke arah halaman rumah yang rapi dan sederhana itu. Tapi aku sedikit merinding saat merasakan kalau Irgi masih menatapku.
"Aku memang dulu tergila-gila dengan Rania. Dia datang kepadaku dan merayuku. Lalu memastikan mengajak kawin lari karena takut dengan Andi. Tapi yeah..."
Irgi menghentikan ucapannya saat aku menoleh kepadanya.
"Kamu seorang duda. Aku tak mau menikah dengan duda."
Akhirnya kuhentakkan kakiku, dan memang itulah yang aku rasakan. Irgi kan duda. Meski setampan apapun dirinya. Tetap saja aku dapat bekas.
Kali ini Irgi terdiam. Dia masih menatapku tajam. Mata elangnya itu tampak mengintimidasi di bawah alis tebalnya yang membingkai wajahnya itu.
"Apa itu masalah buatmu?" Irgi mengatakannya dengan lirih. Nyaris tak terdengar. Tapi aku bisa mendengarnya. Aku mengangguk lagi.
"Aku Bulan. Dan aku ingin mendapat suami yang seharusnya menjadi yang pertama untukku, dan juga pertama untuknya. Jadi maaf, aku tidak bisa menerimamu." Ada sedikit kesedihan yang menyelusup di relung hatiku saat mengatakan itu. Tapi Irgi paham. Karena dia kemudian menarik dirinya. Dan kini berdiri kaku di depanku.
"Ok. Aku akan menjelaskan semuanya kepada papa Langit kalau aku sudah bohong tentang semuanya. Pernikahan kita batal, kalau kamu ingin suami yang tidak berstatus duda."
"Hah?' Aku menjerit saat mendengar ucapan Irgi. Tapi dia sudah meninggalkanku. Melangkah untuk masuk ke dalam lagi. Harusnya aku senang kan? Tapi kok rasanya pingin nangis kayak gini?