William tersenyum lebar seraya membuka pintu mobil, Novia segera berlari keluar sesaat setelah pintu tersebut terbuka lebar. William menggelengkan kepala seraya melakukan hal yang sama seperti anak itu.
"Astaga, Novia. Jangan lari, kaki kamu masih sa--" Pria itu seketika menahan ucapannya saat seorang wanita yang dipanggil ibu oleh Novia membuka masker berikut topi yang ia kenakan hingga rambut panjangnya yang semula tersembunyi terurai juga tertiup angin.
Jantungnya seakan berhenti berdetak, begitu pun dengan kedua kakinya yang seketika tertahan dengan tubuh gemetar. Kedua matanya menatap lekat wajah ibu dan anak yang tengah berpelukan di depan sana. Waktu seakan berhenti. Bibirnya nampak bergetar seraya menggumamkan satu nama yang sudah lama tidak ia sebutkan, tapi tidak pernah sedetikpun ia lupakan.
"Nova?" Jiwa seorang Willian seakan terenyuh setelah menemukan kembali belahan jiwanya yang hilang. "Ja-jadi, Novia anak kamu?"
Bukan hanya William saja yang terkejut, Tommy yang berdiri tepat disampingnya pun seketika membulatkan bola matanya. "Pak Bos, itu 'kan?" pria itu tidak mampu berkata-kata, akhirnya Tuhan mempertemukan mereka kembali setelah sekian lama.
William tidak menanggapi ucapan sang asisten, pria itu perlahan mulai melangkah mendekati Nova dan putrinya dengan kedua mata berkaca-kaca. Penampilan wanita itu terlihat sangat berbeda, seragam orange yang ia kenakan pun menggambarkan seperti apa kehidupan yang dijalani olehnya selama lima tahun ini. Namun, hal tersebut tidak mengurangi kecantikan alami yang terpancar dari wajahnya meskipun Nova terlihat lebih matang dan dewasa.
Nova nampak berjongkok tengah meriksa luka di kedua lutut putrinya. "Kenapa kamu bisa terluka kayak gini, Via? Kamu pasti lari-lari, 'kan? Ibu 'kan udah bilang, jangan suka lari-lari di jalan, astaga! Pasti rasanya sakit banget."
"Tadi sih sakit, Bu, tapi sekarang udah nggak sakit. Tadi aku hampir ketabrak mobil, tapi untung Ayah langsung bawa aku ke Rumah Sakit," jawab Novia dengan wajah polosnya.
"Ayah?" Nova seketika mengerutkan kening, ia sama sekali belum menyadari kehadiran William yang tengah berjalan menghampiri mereka. "Ibu 'kan udah pernah bilang sama kamu, jangan panggil Ayah kesembarangan orang! Harus berapa kali Ibu ngomong kayak gini, hah?"
Novia mengerucutkan bibirnya sedemikan rupa lalu menoleh dan menatap ke arah belakang di mana William baru saja menghentikan langkahnya. Nova sontak menatap ke arah yang sama seperti sang putri. Wanita itu perlahan mulai berdiri tegak seraya menatap wajah William.
"Mas Will?" gumamnya sontak memundurkan langkahnya, tapi tidak dengan kedua matanya.
Apakah ia sedang bermimpi? Bertemu kembali dengan pria itu adalah hal yang paling ingin ia hindari dan dirinya berhasil melakukan hal tersebut selama lima tahun ini. Namun, William kini berada dihadapannya dengan penampilan yang sudah sedikit berbeda. Pria itu nampak berkumis juga berjambang tipis dan terlihat lebih dewasa.
"Jadi, Novia beneran anak kamu, Nov?" lemah William dengan kedua mata berkaca-kaca.
Nova menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Wanita itu pun memalingkan wajahnya ke arah lain seraya menggigit bibir bawahnya keras bahkan sangat keras hingga permukaan bibirnya yang tanpa polesan lipstik seketika memerah. Jantungnya seakan berdetak kencang, ia tidak tahu apakah dirinya harus bahagia atau malah sebaliknya setelah Tuhan kembali mempertemukannya dengan pria dari masa lalunya itu.
"Jawab pertanyaan saya, Nov. Novia ini anak kamu? Anak kandung kamu?" William mengulangi pertanyaannya dengan nada suara bergetar.
Novia seketika mendongak menatap wajah William. "Ayah kenal sama Ibuku?"
"Novia!" bentak Nova seraya menarik telapak tangan anak itu hingga ia berdiri tepat di depannya. "Ibu udah pernah bilang sama kamu, jangan panggil Ayah ke sembarang orang. Dia bukan Ayah kamu, Via. Kamu gak punya Ayah!"
Novia seketika menangis histeris. "Huaaa! Ibu jahat, kenapa Ibu bentak aku? Salah aku apa?"
William segera meraih tubuh anak itu lalu menggendongnya. "Astaga, Nova. Jangan bentak Novia dong, kasihan dia," ujarnya seraya mengusap kedua sisi wajah Novia yang membanjir. "Cup! Cup! Cup! Udah, jangan nangis lagi, ya. Ada Ayah di sini."
Nova mendengus kesal dengan kedua mata terpejam lalu kembali menatap wajah William. "Kembalikan anakku, Tuan William!"
"Gak mau, aku maunya sama Ayah. Ibu jahat, Ibu bentak aku!" teriak Novia seraya melingkarkan kedua tangannya di leher William.
"Dia bukan Ayah kamu, Via. Dia bukan Ayah kamu!" bentak Nova dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Cukup, Nov. Jangan bentak Novia kayak gitu, kasihan dia," pinta William. "Jangan bawa-bawa anak kecil dalam urusan kita, Nov. Novia masih kecil, dia gak tau apa-apa."
Nova menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. "Ya Tuhan, kenapa Engkau mempertemukan aku sama Mas William lagi? Apa yang harus aku lakuin sekarang?" batin Nova seraya mengusap wajahnya kasar.
"Ayah, aku mau pulang," rengek Novia seraya mengusap kedua matanya sendiri.
"Emangnya rumah kamu di mana, Sayang?"
"Gak jauh dari sini ko." Novia masih dengan wajah polosnya.
"Oke, Ayah anterin kamu pulang, ya."
"Nggak, kamu di sini aja temenin Ibu, Via," pinta Nova, ia tidak ingin William sampai mengetahui di mana ia tinggal.
"Gak mau, aku maunya sama Ayah," rengek Novia.
"Gak apa-apa, Nov. Biar saya anterin Novia pulang, ya. Eu ... tapi saya gak tau rumah kalian di mana, bisa kamu tunjukkin jalannya?" pinta William, ia bisa saja meminta Novia yang menunjukan jalan, tapi dirinya ingin Nova pergi bersamanya, ada banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita itu.
Nova meraih kembali sapu lidi yang ia gunakan untuk menyapu jalan. Masker berikut topi berwarna hitam pun kembali ia kenakan. Wanita itu tidak menanggapi permintaan William, tapi kedua kakinya mulai melangkah menuju kediamannya dengan diikuti oleh William bersama putrinya.
"Apa Anda tahu seberapa keras usahaku untuk bisa melupakan Anda, Mas Will? Kenapa sekarang Anda tiba-tiba datang lagi?" batin Nova, buliran bening diam-diam bergulir hingga membasahi masker berwarna hitam yang menutup separuh wajahnya.
***
Setelah berjalan sekitar 10 menit menyusuri gang sempit, akhirnya mereka tiba di area kontrakan di mana pintu-pintu yang tertutup rapat nampak berjejer. Nova membuka salah satu pintu lalu masuk ke dalam sana, sementara William hanya bergeming seraya menatap sekeliling tidak jauh dari tempat tinggal Nova dan putrinya, hatinya bagai teriris pisau tajam. Jadi, Nova dan putrinya tinggal di kontrakan sempit seperti ini? Batin William merasa iba.
"Ya Tuhan, sebenarnya kehidupan seperti apa yang kamu jalani, Nov? Kamu meninggalkan saya hanya untuk hidup susah kayak gini?" jerit William di hatinya.
"Kenapa Ayah diem aja? Masuk yu," pinta Novia, menatap lekat wajah William. "Aku ngantuk, Yah. Aku pengen tidur siang."
William mengusap ujung matanya yang basah karena air mata. Kedua kakinya mulai melangkah mendekati pintu kontrakan yang sudah terbuka bersama Novia di dalam gendongannya.
"Terima kasih karena Engkau telah mempertemukan saya sama wanita ini lagi, Tuhan. Sekarang, saya gak akan pernah melepaskan dia lagi," batin William seraya melangkah memasuki kontrakan.
Bersambung