Ketika waktu terus, saat Vina masih berada di ruang herbalis yang ditemani Luis, dan Zaheer sudah berlalu dari dunia jiwa sesaat setelah dirinya dan uskup besar beradu argumen tentang siapa yang harus menjaga Agras ketika keduanya sudah jauh. Uskup besar mengatakan bahwa dirinya berkeyakinan bahwa Destron yang akan mengurus sang reinkarnasi pahlawan itu.
Kini saat matahari mulai condong menuju arah barat dan udara mulai berhembus tak karuan, Agras bersama dengan uskup Olsho serta juga dua uskup muda lainnya sudah meninggalkan kota Toals, di depan mereka ada hutan tengah yang begitu lebat membatasi kota itu dengan Lumiren, tak ada pilihan lain selain melewatu hutan tengah.
Uskup Olsho yang membawa kereta kuda itu, sedangkan dua uskup muda menjaga Agras di dalam kereta. Agras masih menganggap bahwa itu liburan seperti yang mereka katakan, meskipun ia berangkat sendiri tanpa ada siapapun di sana. saat uskup Olsho ditanya kenapa ia seorang diri, uskup hanya mengatakan bahwa itu liburan khusus yang hanya untuknya.
Agras tak menaruh curiga apapun karena jika benar maka tak ada salahnya juga, ia bisa liburan tanpa diganggu siapapun. Begitu juga yang ia baca dari buku, mengatakan bahwa kota Lumiren yang hendak ia tuju sangat indah dengan pemandangan alami luar biasa. Uskup Olsho juga mengatakan hal itu.
“Aku ingin buang air kecil,” ujar Agras tiba-tiba sambil memegang bagian tengahnya.
Dua uskup muda itu saling pandang kemudian mengetuk bagian dalam kereta memberita tahu uskup Olsho untuk berhenti, uskup Olsho menarik kekang kudanya dan kuda itu pun berhenti. Uskup Olsho turun kemudian membukakan pintu kereta.
“Ada apa?” tanya uskup Olsho pada ketiganya.
“Aku ingin buang air kecil.” Agras mengulang ucapannya tadi.
Uskup Olsho menghembuskan napasnya sesaat. “Jangan lama-lama.”
Agras turun dari kereta kuda, kemudian berlari pelan menuju balik pepohonan. Uskup Olsho mengikuti Agras untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja, karena jika terjadi sesuatu pada Agras maka ia akan terkena masalah.
Lima menit berlalu setelah Agras mengatakan ingin buang air kecil, uskup Olsho gusar menunggu kemudian ia pun menyusul, belum sampai ia di tempat Agras sebuah suara terderngar begitu ribut, lalu...
“Tolong!” Agras berteriak, tubuhnya melayang keudara. Seorang penyihir hitam menarik kerah bajunya sambil terbang.
Uskup Olsho kaget, kedua uskup muda yang ikut mendengar keluar dari kereta kuda dan menghampirinya. Tanpa menunggu lama keduanya langsung terbang menggunakan sihri dan mengejar penyihir itu, uskup Olsho menunggu sambil memperhatikan. Kekuatan sihir para uskup muda itu cukup hebat, jika sampai mereka kewalahan ia nanti yang harus turun tangan.
Kedua uskup muda itu bergantian menyerang penyihir hitam, penyihir hitam itu kemudian menyimpan Agras disebuah kota kubus miliknya yang hanya bisa ia kendalikan. Di dalam sana Agras tak bisa mengeluarkan suara, seolah pita suaranya tertekan.
Pertarungan ketiganya begitu sengit, tak ada yang mau mengalah satupun. Saling serang dengan sihir yang mereka kuasai masing-masing, kemudian penyihir hitam berhasil mengenai salah satu uskup muda dan membuatnya kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Uskup muda lainnya ingin menolong tapi malah ikut terkesan serangan sang penyihir.
Uskup Olsho yang melihat kedua rekannya terdesak, mulai terbang dan berusaha menyerang dengan sekuat tenaga. Agras adalah tanggungjawabnya, ia sudah diamanatkan uskup besar membawa Agras ke Lumiren, jika sampai terjadi sesuatu pada Agras, maka ia akan terkena masalah besar.
Menghadapi para penyihir dan iblis dalam perjalanan memang sudah tugasnya, ia harus melindungi Agras, meskipun harus mempertaruhkan nyawanya. Sedangkan dari dalam kubus sihir itu Agras melihat pertarungan hebat antara kedua orang yang memiliki sihir begitu hebat, ia kini baru sadar bahwa dunia yang ia tinggali bukan dunia sembarangan, bahkan ia terkesan ternyata apa yang pernah ia bayangkan menjadi kenyataan.
Penyihir hitam itu memiliki kekuatan hebat, meskipun seorang diri tapi ia bisa mengalahkan dua orang uskup muda dan kini memojokkan uskup Olsho. Uskup Olsho berusaha terung menyerang dan menghindar, tapi jika ia terus menyerang tanpa mengenai penyihir hitam berarti sama saja ia telah membuang dengan percuma sihir. Jika terus begitu ia akan kehabisan sihir dengan cepat.
Satu serangan penyihir hitam kemudian mengenai pundak depan uskup Olsho yang membuatnya sedikit terpental tapi tak sampai jatuh, Agras kaget melihat uskup Olsho yang terus saja terpojok. Jika sampai kalah maka ia akan diculik penyihir itu dan dibawa pergi entah kemana.
Agras terus berteriak tapi suaranya tak kelaur satupun, ia ingin membantu meskipun tak tahu harus melakukan apa.
“Jika kau menyerah aku akan mengampuni nyawamu,” ujar penyihir hitam itu dengan sombongnya.
“Tidak. Jika aku menyerah kau akan membawa anak itu pergi, anak itu tanggungjawabku,” kata uskup Olsho masih menahan sakit di pundaknya.
Mendengar ucapan uskup Olsho itu memancing amarah penyihir hitam, kemudian ia pun menghimpun sihir di tangannya. Warna sihirnya merah kehitaman seperti bara api dengan cepat membesar dan menggelapkan langit, ia hampir saja melempar kan sihir hitam itu tapi sebuah cahaya putih lebih dulu menghantamnya dari belakang dan membuatnya meledak seketika.
Sihir kubus yang mengurung Agras pecah, Agras melarang terjatuh keatas tanah. Dengan cepat uskup Olsho terjun terbang kebawah untuk menolong Agras. Begitu berhasil menggapi Agras ia pun menarik tubuh Agras di samping dua uskup muda yang sama-sama terkapar. Luka di pundak depannya terasa begitu ngilu hingga membuat uskup Olsho mulai kehilangan kesadaran dan pingsan, begitu juga Agras yang kaget saat terjatuh.
Entah sudah berapa lama, uskup Olsho terbang dengan terkejut. Saat ia membuka mata ia sudah berada di sebuah kamar berwarna putih dan cukup besar, ia langsung bergegas turun dari tempat tidur dan berniat mencari Agras. Tapi seseorang perempuan datang mencegah uskup Olsho.
“Keadaanmu belum pulih, harusnya kau beristirahat dulu,” ucap perempuan itu yang kemudian diketahui bernama Laika. “Tenang saja, kau sekarang berada di Lumiren. Dua rekanmu dan satu anak kecil itu selamat, mereka sedang di ruangan lain untuk diobat.”
Mendengar ucapan Laika membuat uskup Olsho sedikit bisa bernapas lega. Ia kemudian kembali ketempat tidurnya dan berusaha menenangkan dirinya.
“Apa kalian yang menolong kami?” tanay uskup Olsho.
“Beberapa pengawal yang menolong kalian saat mereka patroli di hutan tengah, apa yang kalian lakukan?” ujar Laika sambil bertanya.
Sesaat setelah mereka kalah melawan penyihir hitam itu dan terjatuh tak sadarkan diri, beberapa pengawal kota Lumiren datang. Mereka juga yang sudah menghancurkan tubuh penyihir hitam. Para pengawal itu membawa keempatnya ke kota Lumiren dan meninggalkan kereta kida di hutan tengah
“Kami ingin menemui Tuan Destron, kami membawa sang pahlawan dari Tron,” kata Uskup Olsho.
Mendengar ucapan uskup Olsho itu raut wajah Laika berubah dan kemudian berlalu meninggalkan uskup Olsho seorang diri seperti ada sesuatu yang sengaja disimpannya. Uskup Olsho terdiam bingung karena ia tak tahu harus melakukan apa lagi, bahkan Laika tak memperbolehkannya keluar dari ruangan itu.Setelah Laika pergi, uskup Olsho berpikir keluar dari sana dan mencari sendiri Agras beserta dua orang uskup yang bersamanya pergi mengantar Agras ke Lumiren. Ia kemudian bangkit dari ranjang itu berjalan perlahan menuju pintu dan menarik gagangnya. Terbuka.
Pintu tak terkunci, seolah mengatakan bahwa uskup Olsho tak akan keluar dari sana. Jika di gereja kemungkinan besar ia memang tak akan keluar seandainya diminta untuk bertahan, apalagi mengingat kondisinya yang saat ini belum begitu pulih sepenuhnya.
Uskup Olsho meengeluarkan kepalanya dari ambang pintu, melihatr sekeliling yang ternyata lorong. Kosong saat itu. Ia membuat langkah pertama kali kanannya dan menarik kaki kirinya yang terasa nyeri sedikit ngilu, mungkin efek karena terjadi dari langit yang cukup tinggi, kemungkinan ia saat ini sangat sulit menggunakan sihirnya yang pasti mengurasa banyak sekali tenaga.
Langkah kedua, ketiga dan keempat tak ada halangan apapun, uskup Olsho masih dengan tenang berjalan di dalam lorong itu, meskipun ia tak tahu harus kemana untuk mencari keberadaan Agras dan teman-temannya, yang pasti ia akan berjalan terus setidaknya ia bisa keluar rumah itu.
Uskup Olsho tahu bahwa ia sekarang berada di Lumiren, kota yang dikenal dengan banyaknya penyihir hebat, Laika yang mengatakan itu tadi, karena hal itu lah jika salah sedikit melangkah kemungkinan besar ia akan tertangkap dengan mudah. Ia tak mungkin bisa membayangkan tertangkap di sana apalagi ia seorang uskup muda di kota Tron.
Kemudian ia berpikir sedikit mengapa ia harus takut jika tertangkap keluar, bukankah tujuannya memang membawa Agras ke kota itu agar mereka bisa melindungi kelahiran keturunan dari sang pahlawan.
Hampir setengah dari lorong itu ia lewati, saat telinganya mendengar suara-suara langkah kaki dan orang yang berbicara silih berganti, bukan satu atau dua orang, tapi lebih dari tiga. Mendengar hal itu ia pun mencari tempat sembunyi, di celak-celak dinding yang cukup untuk menyembunyikan dirinya.
Disaat Uskup Olsho sibuk untuk sembunyi, Laika sudah berada di depan pintu sebuah ruangan yang cukup besar beukuran lebih dari tiga meter. Laika mengetuk pintu itu dan kemudian terbuka, sebuah suara memintanya untuk masuk kedalam sana. Ia berjalan masuk kedalam sana, saat ia melihat seorang laki-laki menggunakan baju kebangsawanan tengah menatap keluar jendela seorang diri.
“Tiga laki-laki dewasa dan seorang anak kecil itu datang dari Tron atas utusan Uskup besar, salah satunya mengatakan bahwa mereka membawa reinkarnasi sang pahlawan.” ujar Laika pada laki-laki yang menjadi lawan bicaranya yang lain Destron sendiri.
Destron mengatakan pada Laika untuk menjaga mereka, ia tak tahu apa yang dikatakan laki-laki itu benar ataupun tidak, karena ia belum menemuinya. Anak yang dikatakan sebagai reinkarnasi kesembilan dari Vastoarta.