“Hai,” ujar si dewa singkat. Agras, bukan maksudnya Richard membuka matanya lagi, silau. Ia belum beradaptasi dengan cahaya putih terang di sana, entah berapa watt listrik yang digunakan untuk menyalakan lampu itu yang jelas putih sekali seputih warna putih, sulit mendefinisikan. Padahal itu bukan pertama kali baginya berada di sana.
“Sudah dua tahun ya?” tanya Richard kemudian.
“Apa, dua tahun? Baru saja tadi malam aku tinggalkan kau,” kata si dewa.
“Bisakah kau mendefiniskan waktuku jangan membuat waktumu sendiri, aku sudah hampir setengah tahun kau tinggalkan di sana ya wahai dewa yang aneh,” rungut Richard.
“Tidak sopan, tapi tak masalah aku memang aku,” ucap si dewa lagi. “Bagaimana hidup barumu setelah dua tahun begitu tenang?”
“Kau menjebakku. Kukira hidup baru yang kau katakan itu akan jauh lebih menyenangkan, tapi aku hampir mati, kau tau.” Richard berucap sedikit kesal.
“Pasti tau dong, aku kan ikut campur dalam masalah hidupmu, tapi...” ucap si dewa terpotong.
“Apa?” tanya Richard ingin tahu potongan kalimat si dewa.
“Kau tau ada entitas lain yang masuk dalam kehidupanmu?” Kini si dewa yang bertanya pada Richard setelah mengetahui apa yang terjadi padanya dan mungkin itu juga alasan mengapa si dewa kembali menemui Richard padahal baru saja bertemu.
“Entitas aneh yang kata orang sebagai penjaga alam semesta itu?” Richard balik bertanya pada si dewa.
“Sepertinya saat aku menurunkanmu di dunia itu ada benturan dimensi yang membuat dunia lain saling terkait, jadi dalam tubuhnya ada ada dua jiwa yang menyatu,” kata si dewa.
“Apa maksudnya? Aku merasa di tubuh ini hanya ada satu jiwa milikku, jiwa anak ini juga sudah tidak ada lagi. Kalau pun ada apa aku harus di sembuhkan?”
“Kau tidak sedang kesurupan. Tapi mungkin suatu saat jiwa itu akan bertemu dengan jiwamu untuk saling berkontribusi tentang siapa yang ingin memiliki tubuh Agras, kecuali kalian bersatu,” ujar si dewa.
“Apa? Aku tak mengerti,” ucap Richard bingung. Apa lagi ini, menjadi reinkarnasi saja sudah menyulitkannya kini ditambah lagi ucapan si dewa yang membuatnya pusing kepala. Rasanya ia ingin melepaskan kepala lalu mengocok isi otaknya sekaligus mencucinya dengan sabun cuci piring, menghilangkan lemak membandel juga pikiran kotor.
“Intinya, dalam tubuhmu ada dua jiwa. Satu jiwa dari entitas alam semesta yang baru, satu lagi jiwamu itu, aku tak bisa ikut campur karena aku dan entitas itu bisa menjadi sesuatu yang berbahaya jika saling bertemu,” papar si dewa.
“Apa entitas itu empat roh yang dikatakan orang-orang itu?” tanya Richard lagi.
“Bukan, entitas itu adalah sesuatu di atas para roh itu, kemungkinan Tuhan,” kata si dewa.
“Kau Tuhan apa dewa?”
“Aku dewa, bawahan Tuhan, tapi ... Kau akan pusing saat aku jelaskan, konsepku berbeda dalam setiap agama begitu juga agamamu,” ujar dewa itu lagi.
“Berhentilah membicarakan tentang konsep ketuhanan, sekarang katakan padaku apa yang akan terjadi padaku setelah ini?”
“Kau akan menjadi kodok mungkin,” Si dewa tergelak setelah mengatakan guyonan aneh dan tak jelas bagi Richard. “Ehmm, mari kita serius, aku akan berpikir sesaat.”
Richard dan si dewa sama-sama diam, si dewa memikirkan sesuatu sedangkan Richard memikirkan apa yang si dewa pikirkan. Rumit sekali kehidupann dua makhluk itu, anggap saja satunya entitas yang aneh. Tak perlu memikirkan apa entitas apa sebenarnya si dewa, Richard saja sampai bingung dengan siapa sebenarnya ia terus terhubung selama hampir tiga tahun ini di dunia baru yang ia tinggali sekarang.
“Aku harus menunggu berapa lagi?” tanya Richard kemudian.
“Aku kan belum selesai berpikir, tunggulah sekitar 30 menit,” kata si dewa.
“Tiga puluh menitmu itu bisa menjadi satu bulan di tempatku, aku bisa dianggap mati bukan lagi tidur,” ujar Richard.
“Berlebihan sekali, di dunia ini tak ada konsep ruang dan waktu, teori relativitas tak berpengaruh di sini. Kecuali aku pindah kedunia asalku begitu juga dirimu,” ucap si dewa.
“Kau bisa mengatakan apa yang harus aku lakukan sekarang, sebelum kepalaku pusing mendengar ocehamu.” Richard kembali merungut pada si dewa karena sejak tadi tak langsung membicarakan apa yang harus ia lakukan setelah ini.
“Tidak ada,” kata si dewa singkat. “Aku tak bisa mengatakan apa yang harus kau lakukan setelah ini, kau ikuti saja apa yang akan terjadi nanti, tenang saja aku bisa membantumu jika kau dalam masalah dan ingat bahwa setelah ini hidupmu akan jauh berbeda. Tapi aku tak menjamin jika hidupmu akan selalu bahagia.”
Si dewa mengatakan apa yang harus Richard lakukan saat ini adalah menerima keadaan bahwa ia akan mengalami sesuatu hal yang berbeda setelah ini, sebenarnya ucapan itu sudah pernah si dewa ucapkan beberapa waktu lalu sebelum Richard mengalami mimpi aneh bertemu dengan seorang perempuan yang mengaku sebagai roh penjaga alam semesta timur. Setelah itu hidupnya memang seolah tak masuk akal.
Ia tiba-tiba dibawa para uskup untuk pergi ke Lumiren, bertemu dengan penyihir hitam lalu kemudian mendapat perlakuan tidak baik dari ketua penyihir kota Lumiren, tapi sang ketua dalam waktu singkat berubah menjadi sesuatu hal yang berbeda yang tetap aneh baginya Richard.
Pada hari setelah ia berjalan-jalan mengenal kota Lumiren, Destron datang kepadanya dan mengatakan semuanya serta meminta maaf karena sudah menyakiti perasaannya, jika ia Agras kecil mungkin akan sakit hati tapi ia bukan anak kecil yang perasaan, ia anggap semua itu hanyalah bualan orang tua yang kolot dan tiba-tiba mengomel tanpa tahu benar ataupun salah.
Destron sempat menyinggung tentang siapa dirinya sebenarnya, tapi saat itu ia tak menjawab sampai Destron lelah menunggu dan bertanya, akhrinya Destron keluar dengan wajah yang tak bersahabat karena tak mendapatkan apa yang ia inginkan, pastinya Richard saat itu tak peduli karena ia memang tak ingin menjawabnya.
“Jika aku mengatakan siapa diriku sebenarnya pada orang di dunia baruku apa itu menjadi masalah?” tanya Richard kemudian.
“Masalah apa maksudmu?” tanya balik si dewa.
“Sesuatu yang mungkin saja terjadi jika kau jujur,” ucap Richard.
“Tidak masalah, jika kau berkata jujur siapa dirimu itu tak mengubah apapun, ini bukan konsep mesin waktu, kau bisa mengatakan apapun yang menjadi masalah mereka percaya atau tidak dengan yang kau katakan,” kata si dewa lagi.
Richard mengangguk paham dengan apa yang dikatakan si dewa, karena bukan konsep waktu maka tak ada salahnya ia mengatakan yang sebenarnya jika ada yang bertanya, tapi ia akan diam jika tak ada satupun yang bertanya.
Nanti jika Destron bertanya kembali, mungkin ia akan mengatakan siapa dirinya karena lelaki tua berambul ikal putih itu sudah merasakan sesuatu hal yang berbeda pada dirinya. destron juga sempat menyinggung bahwa dirinya bukan lagi Agras kecil, karena menurutnya Agras kecil sudah tidak ada lagi. Ia sempat bingung mengatakan apa, tapi saat itu diam lebih baik daripada membual dan berbohong.
“Aku akan membantumu dari jauh, roh-roh dan entitas itu juga akan membantumu, setelah ini hidupmu akan jauh lebih sulit, bisa saja kau mati,” sambung si dewa.
“Apa gunanya kau dan mereka membantu jika aku bisa mati sewaktu-waktu?” tanya Agras.
“Kau pernah dengar, maut, rezeki dan jodoh itu sudah takdir yang tak bisa dirubah? Begitulah yang terjadi, mati ataupun tidak itu sudah ditentukan di suatu tempat yang hanya Tuhan yang tahu,” papar si dewa lagi.
“Baiklah aku mengerti, lama-lama kau terdengar begitu seperti dengan mengkhotbahiku,” ucap Richard.
“Betul sekali,” kata si dewa. “Mari kita kembali.”
Setelah mengatakan hal itu si dewa menghilang, Richard kembali menjadi Agras kecil yang juga ikut bangun tidur. Hari sudah pagi lagi, hari kesekian setelah ia dan Laika berjalan mengelilingi kota Lumiren, tapi sejak saat itu ia tak melakukan apapun. Destron juga tak mengatakan apapun padanya juga tidak kembali lagi setelah ia tak menjawab pertanyaannya karena tak mendapatkan apa yang ia mau.
Agras membangunkan tubuhnya, ia berjalan keluar mencari kamar mandi untuk membersihkan dirinya kemungkinan juga mandi, tapi saat itu hari begitu dingin sepertinya musim gugur akan kembali terulang. Dan tak lama setelah itu musim dingin. Rasanya baru saja ia merasakan musim dingin di Tron ternyata sudah cukup lama, ia padahal ingin menikmati musim dingin bersama dengan ibu dan ayahnya, mengingat itu ia merindukan mereka, entah bagaimana kabar mereka sekarang meskipun Destron mengatakan bahwa mereka menitip salam padanya, berarti mereka baik-baik saja.
Namun, ada yang sedikit mengusik pikiran Agras tentang seorang kakek yang menitip salam, apa ia memiliki kakek? Vina dan Luis tak pernah membahas tentang si kakek itu.