22. Agras dan Cerita Tentang Lumiren

2050 Kata
Sesuai janji, Laika mengajak Agras untuk berkeliling bukan hanya di kastil itu tapi juga menikmati indahnya kota Lumiren. Agras menyetujuinya dan terus mengikuti kemana langkah Laika berjalan. Kota Lumiren atau biasa disebut kota seribu penyihir, cukup terkenal bukan hanya di Valgava tapi juga seluruh Earthonius. Semua orang tahu bahwa Lumiren adalah tempat di mana para penyihir berkumpul, bukan hanya belajar tentang apa itu sihir tapi juga bagaimana caranya menjadi seorang penyihir. Dari sudut kesudut kota semua orang menggunakan sihir, menjual peralatan mantra dan juga rapalan. Jadi tak heran jika banyak orang yang terbang di udara seolah mereka adalah kawanan burung yang tak memiliki tulang. Dari pekerjaan paling sulit sampai hanya sekedar memotong roti mereka menggunakan sihir, suatu pemandangan yang mungkin saja hampir tak dimiliki oleh kota lain khususnya di kerajaan Valgava itu sendiri. Setelah satu minggu terus berada di kastil, Agras takjub melihat keindahan kota itu, meskipun sebenarnya kota itu sedikit gelap dan tertutup dengan banyaknya pepohonan rindang dan rimbun. Laika mengatakan bahwa pepohonan itu sengaja ditanam dan dipelihara dengan baik agar udara menjadi segar layaknya pedesaan, Agras paham maksud dari Laika, karena dulu di tempat ibunya pun begitu. Laika juga mengatakan bahwa pepohonan ada yang berusia hampir seribu tahun, yakni bisa sampai lebih dari sepuluh generasi, salah satunya ada di pusat kota. Berkeliling dengan Laika di kota yang memanjakan mata, seolah ia sedang berlibur bersama tour guide yang menjelaskan sejarah peradaban kota yang ia tinggali. Sering sekali dulu saat ia dan rombongan kantornya ia juga berlibur, melihat Eifel di Prancis, jam Big Ben di Ingris, hingga bahkan ke asia tenggara melihat patung Budha tidur di Thailand. Ia yang terbiasa sejak kecil hidup menggunakan bahasa aksen amerika, cukup menikmati ketika para guide menggunakan inggris aksen setiap negara mereka. “Laika, aku tidak melihat mereka terbang menggunakan alat sihir, semisal sapu,” ujar Agras seolah bertanya tapi juga meyakinkan dirinya. saat itu mereka masih berkeliling meskipun belum sampai di pusat kota. “Sapu? Untuk apa?” tanya Laika atas pertanyaan Agras yang menurutnya aneh itu. “Agar kau bisa melayang di udara begitu.” Saat membayangkan terbang dengan sihir, Agras mengingat film-film fantasi semilah Harry Potter atau pun yang lainnya yang terbang menggunakan sihir juga alat yang memungkinan mereka bisa terbang, sayap juga semisalnya seperti superhero-superhero yang ada. “Kami tak pernah menggunakan yang seperti itu, konsep terbang yang kami lakukan seperti burung, melayang menggunakan tubuhhnya sendiri,” kata Laika menjelaskan bagaimana mereka terbang. “Mula-mulai kami menyimpan sihir peringan tubuh yang lebih besar di bagian bawah dan mengurangi tenakan di bagian atas.” Setelah mendengarkan Laika, Agras malah membayangkan apa yang pernah ia pelajari dulu ketika di sekolah menengah tentang konsep terbang seekor burung. Saat burung terbang burung membutuhkan tekanan udara yang ada di atas dan di bawah sayapnya. Tekanan udara di bawah sayap burung jauh lebih tinggi dibanding udara di atasnya. Burung dapat terbang karena adanya perbedaan tekanan udara tersebut dan sayap hanya tempat bagaimana burung itu bisa melayang. “Apa itu juga termasuk konsep ular?” tanya Agras. “Tidak, ular terlihat terbang karena sebelumnya ia melompat dari satu tempat ketempat lain. Kami menggunakan konsep ular saat sebagian dari kami tak bisa terbang, menekankan tubuh ketanah dan meringankannya untuk membuatnya seperti pegas,” papar Laika. Dalam pembicaraan dan perjalanan keliling kota itu, kemudian mereka pun sampai di pusat kota. Ada air mancur di sana, kerumuanan orang-orang banyak dan ada juga sebuah pohon besar yang Laika katakan tadi. Entah berada ratus kaki yang pasti begitu besar dan panjang, dedaunannya seperti menyentuh awan-awan di atas, bahkan dahannya juga lebih besar dari tubuhnya. Di samping pohon itu ada sebuah pagar yang sengaja dibuat kemungkinan untuk menjaga agar pohon itu tetap terawat dan tak rusak akibat ulah manusia. Keduanya duduk di sana sambil menikmati udara segar perkotaan, aneh sekali bukan. Biasanya udara perkotaan itu kotor penuh dengan debu dan polusi, efek rumah kaca yang berkepanjangan serta panas yang menyengat, tapi di tempat ini berbeda dan tak seperti yang Agras rasakan. Wajar saja karena di sini saja belum ada kendaraan bermotor baik roda dua ataupun empat, jalanan pun masih berbentuk paving-paving bersusun yang hanya dilewati roda kereta  dan kuda. Agras berharap dunia ini tak mengenal apa itu mesin-mesin seperti itu, karena jika sampai mengenalnya maka kemungkinan dunia itu tak lagi indah bisa saja hancur dan bahkan sihir dan tatatan dunianya akan sangat jauh berbeda dari yang sekarang ia tinggali itu. “Jika aku memanggilmu Laika, apa itu terdengar tak sopan?” tanya Agras kemudian saat mereka masih berada di sana. “Aku hanya seorang pelayan, memanggil dengan nama saja itu sudah suatu pujian dan penghormatan untukku,” ujar Laika. “Mengapa begitu?” tanya Agras lagi penasaran dengan apa yang Laika katakan. Kemudian Laika sedikit bercerita tentang dirinya, beberapa tahun lalu. Saat itu ia masih teramat kecil saat tak lagi memiliki orangtua dan keluarga, seorang bangsawan mengadopsinya, ia awalnya bersyukur dan bahagia tapi ternyata mereka mengadopsinya bukan sebagai anak melainkan sebagai b***k. Sejak saat itu hingga usianya menginjak 12 belas tahun, bisa dikatakan ia tak dianggap seperti manusia. Setiap pergi keluar bersama dengan orang yang ia sebut majikan, ia pun di ikat layaknya hewan peliharaan, ia kotor dan kucel, ia tak bisa melakukan apapun selain menerima keadaan itu, karena dari itu juga ia masih bertahan dan bisa makan. Pada suatu waktu, majikannya bertemu dengan Destron saat itu ia juga berada di sana, Destron kemudian membelinya dengan harga yang tinggi, membawanya ke kastil dan kemudian memberikannya nama Laika. Sejak saat itu ia menjadi pelayan Destron hingga kini usianya sudah menginjak 25 tahun. Laika sangat bersyukur karena telah mengenal Destron, meskipun begitu Laika kehilangan senyum sejak menjadi b***k hingga ia kini tak bisa lagi tersenyum. Meskipn tak bisa tersenyum Laika tetap saja cantik dan menawan hingga semua orang menyukainya, bahkan termasuk Agras jika saja ia masih menjadi Richard. “Jadi sudah 13 tahun kau bersama dengan laki-laki tua berambut ikal itu?” tanya Agras mengakhiri cerita Laika. “Panggil saja Tuan Destron. Iya, 13 tahun aku menjadi pelayannya,” kata Laika. “Tuan Destron begitu galak, aku baru saja bertemu dengannya ia sudah mencaci-makiku, padahal aku kan tak tahu apa-apa,” rungut Agras. “Sifatnya memang begitu, tapi biasanya ia tak seperti itu pada seorang anak kecil.” “Ia mungkin tak menganggap diriku anak kecil, atau mungkin karena aku reinkarnasi dari orang yang kalian sebut sebagai pahlawan.” Agras merungut lagi. “Orang yang kalian sebut pahlawan? Kau mengatakan seperti itu seolah kau memang bukan anak kecil,” kata Agras. Agras baru saja ingin mengatakan bahwa dirinya memang bukan anak kecil, tapi ia tahan karena ia tak ingin mengatakannya. Meskipun ia yakin tak ada larangan dari si dewa jika saja ia mengatakan siapa dirinya sebenarnya, tapi yang tak ia inginkan hanya orang-orang bingung dengan apa yang terjadi padanya. Jadi untuk sekarang ia hanya diam saja. Agras hanya tersenyum mendengar pernyataan itu sebagai tanda bahwa dirinya tak ingin melanjutkan pembicaraan itu. Lagi pula tadi sejak Laika bercerita tentang dirinya ia merasakan bahwa keadaan menjadi begitu penuh drama meskipun Laika sendiri tak menangis ataupun terlihat matanya berkaca-kaca dengan semua itu. “Mari kita berkeliling lagi, kita masih banyak rute sampai ujung kota ini,” ujar Laika bangkit di susul Agras. Agras ikut berdiri dan kemudian mereka pun berjalan bersama menikmati indahnya kota itu. Agras sadar bahwa dirinya harus sudah terbiasa dengan keadaan itu, ia tak mungkin lagi hidup dengan tenang seperti dulu, selama dua tahun itu. lagi lupa si dewa juga mengatakan bahwa kemungkinan setelah pertemuan dengannya hidupnya akan jauh berbeda, berbeda menjadi seperti apa si dewa tak mengatakan, yang pasti akan ada perubahan besar yang terjadi. Bagaimana pun ia sekarang diminta untuk terus menikmati semuanya, segala hal yang terjadi dan ia berharap ia tak mati konyol di dunia itu. Laika menceritakan banyak hal tentang kota itu, ia juga memperlihatkan bagaimana penduduk yang ada di sana menggunakan sihirnya untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Tapi kemudian Laika mengatakan bahwa sebenarnya sihir dan para penyihir hal yang cukup asing di luar Lumiren, beberapa orang mempelajari sihir secara diam-diam, karena sebagian orang menganggap bahwa penyihir adalah sesuatu yang berbahaya yang membuat masalah. Agras mulai sadar saat dua tahun mereka berada di Tron, bahwa ia sama sekalia belum melihat bahwa siapapun menggunakan sihirnya, termasuk para orang yang berada di gereja, tapi ketika mereka berada di luar Tron mereka menggunakan sihir begitu hebat termasuk uskup Olsho. Sesuatu yang saat itu membuatnya bingung dengan yang terjadi, ia benar-benar seperti masuk di dunia fantasi yang penuh sihir dan monster-monster jahat. Agras harus terbiasa dengan semua itu, karena memang bagaimana pun kedepannya mungkin akan jauh lebih banyak lagi hal yang tak masuk akal. “Jadi apa itu berarti reinkarnasi pahlawan juga sesuatu hal yang aneh bagi sebagia orang?” tanya Agras lagi. “Sebagian orang menganggap bahwa reinkarnasi pahlawan itu sebuah dongeng turun-temurun yang diceritakan untuk pengantar tidur anak-anak,” ujar Laika menjawab pertanyaan Agras. “Begitu,” kata Agras. Sampai saat ini Agras pun masih berpikir begitu, mana mungkin ada orang yang bereinkarnasi setiap beberapa puluh tahun sekali untuk menenangkan keadaan, apalagi itu terkesan aneh dan seperti bualan yang dikarang seseorang untuk membuat cerita dongeng itu hidup. Ia sudah sering membaca buku dongeng setiap hari dulu, apalagi buku-buku yang ia baca memanglah buku fiksi-fantasi yang memang sangat ngawur. *** Dari siang hingga menjelang sore Laika dan Agras berkeliling kota Lumiren, mereka pun kemudian kembali pulang ke kastil. Agras udah puas berkeliling melihat pemandangan yang ada di sana, indah sekali memang kota itu bahkan lebih indah dari kota Tron yang tak lain ibukota kerajaan Valgava, semua keindahan itu tak lain campur tangan dari Destron, laki-laki tua yang Agras anggap sangat menyebalkan, karena memang begitu adanya. Meskipun Laika mengatakan bahwa sebenarnya Destron pada anak kecil begitu ramah dan baik, tapi mengapa padanya Agras berbeda tak ada yang tahu. Kemudian Laika bercerita ketika mereka melewati pasar di Lumiren tentang masa lalu Destron. Dulu sekali Destron sebenarnya memiliki seorang istri dan calon anak yang belum lahir, karena satu hal istri dan calon anaknya itu pun meninggal bersamaan, Destron merasa sangat kehilangan sekali itu alasan mengapa ia sangat menyayangi seorang anak kecil. Seharusnya Agras iba dengan keadaan itu tapi ia tetap saja merasa jengkel dengan Destron. Kini ia sudah kembali ke kastil, ia lelah karena berjalan maka dari itu ia langsung masuk kedalam kamarnya lagi. Ia merebahkan tubuhnya, tapi kemudian seseorang mengetuk daun pintu dan Agras melihat bahwa ada Destron di sana, ia tak ingin menyambut dengan ramah karena ia tak ingin terlihat percakapan lagi. “Orangtua dan kakekmu menitipkan salah padamu,” ujar Destron lagi, kali ini begitu ramah tak seperti tadi pagi, mungkin ia tak ingin beradu mulut lagi dengannya. “Boleh aku masuk?” Agras mengangguk tanda mempersilahkan Destron masuk kedalam. Tak ada tempat duduk lain selain ranjang, maka dari itu mereka pun duduk di sana, saling ujung-mengujung. Agras sesekali menatap Destron sementara Destron terus menatap dirinya sambil memperhatikan dari ujung keujung tubuhnya, seolah ingin menelanjangi. Agras menggidik jijik, seperti seorang lelaki belakang yang mendapatkan perempuan molek di sebuah bar setelah mereka mabuk bersama. “Boleh aku bertanya sesuatu tentang dirimu?” sambung Destron sambil bertanya. “Aku sedang tak ingin beradu mulut dengan siapapun, apalagi dengan orang tua, kata Ibuku itu tak sopan,” ucap Agras. “Tidak. Aku hanya ingin bertanya dan aku meminta maaf atas perlakuanku padamu tadi pagi, itu memang kesalahanku,” ujar Destron begitu mengiba, Agras merasa aneh, seolah keadaan berubah menjadi begitu penuh haru. “Siapa sebenarnya dirimu?” Pertanyaan Destron membuat Agras mengerutkan keningnya tanda terkejut, apa maksud pertanyaan itu? Apa Destron sudah tahu apa yang terjadi padanya dan siapa dirinya? pertanyaan itu mengudara di kepalanya dan ia masih bingung untuk menjawab, dari mana ia harus menceritakan semua itu tak mungkin dari dirinya masih menjadi Richard. “Apa maksud kakek? Aku Agras,” kata Agras. “Kau bisa mengatakan padaku tentang siapa sebenarnya dirimu, kau tak perlu berbohong,” ujar Destron lagi mendesak Agras untuk bercerita. Agras masih bingung untuk menjawab pertanyaan itu. memang tak ada larangan dari semua itu untuk ia bercerita, tapi mengapa ia sulit mengatakannya, karena semua itu keadaan berubah dengan sangat cepat hingga ia menjadi pusing sendiri. Destron yang awalnya sangat keras padanya lalu menjadi baik, kemudian menanyakan siapa dirinya sebenarnya. Seolah Destron tahu bahwa dirinya bukan Agras sebenarnya dan juga bukan dari dunia yang Destron tinggali, kemungkinan ada yang memberitahu hal itu tentang dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN