30. Human World II

1018 Kata
"Pukul berapa sekarang?" Randra dari arah belakang bertanya pada kedua kawannya. "Ini jam 8 malam, Rand. Aku tidak tahu jika jaraknya semengerikan ini. Baterai kita juga hampir habis 'kan?" Sanka menjawab dengan nada pelan. "Ini tidak akan memakan waktu lama, jika kita tidak bermain-main tadi." Saki berujar menyadarkan kedua kawannya. "Saki, c'mon. Pemandangan tadi itu tidak bisa dilewatkan begitu saja, kau tahu." ucap Randra dengan tidak percaya. "Hmm, aku tahu. Aku juga terpana tadi. Tapi, akibatnya terlalu fatal. Perjalanan kita mungkin sebentar lagi, tapi tenaga kita sudah habis terkuras sebab berlarian tadi." Saki berdecak kesal. Andaikan dirinya tidak terpengaruh ajakan kedua kawannya itu, dia yakin pasti tenaganya masih tersisa banyak. Tadi itu, mereka bertiga menemukan padang bunga. Bunga-bunga yang bermekaran juga berwarna-warni muncul di hadapan mereka. Siapa yang berani menolak keindahan itu. Mereka belum pernah melihat bunga sebelumnya. Di dunianya, tidak ada bunga sama sekali. Mereka hanya bisa mendengar, betapa indah dan harumnya bunga-bunga yang bermekaran. Atau sedikitnya, mereka bisa melihat sesekali di taman kota. Itu pun hanya menggunakan layar monitor. Jadi tadi, mereka tak segan-segan untuk memotret sana-sini. Mereka juga berlarian ke sana-ke mari hanya untuk mereka jadikan kenangan. "Uugh, harusnya aku tidak berlarian tadi ..." Saki bergumam menyesal. "Saki, kita masih punya baterai cadangan 'kan?" Sanka berucap sambil menunjuk bagian perutnya. "Tapi itu baterai darurat San. Kita hanya menggunakan itu jika kita benar-benar sedang sekarat." Bukan Saki yang menjawab, melainkan Randra. Masing-masing robot memang mempunyai baterai cadangan mereka. Tetapi, baterai itu dibuat untuk situasi darurat. Saki juga masih ingat, ayahnya pernah bilang, jangan sembarangan menggunakan baterai cadangan mereka. Jika mereka tidak terdesak. "Lalu, kita harus bagaimana? Baterai kita akan terisi jika kabel pengisi baterai sudah terpasang dengan stop kontak. Tapi di sini, di mana kita harus mengisi baterai?!" Kali ini Sanka tidak tahan dengan keluhan Saki. Dia mengucapkan perkataan tadi dengan nada tinggi. "Kita cari tempat yang punya listrik. Di sana pasti tersedia stop kontak juga." Randra memberi usulan. "Memangnya, dari tadi kita sedang melakukan apa Rand?! Kita akan keburu kehabisan baterai jika terus melanjutkan perjalanan. Menunggu sampai esok pun sama saja. Baterai kita tak akan terisi dengan otomatis 'kan ..." Sanka membalas dengan nada geram. "Aku akan menggunakan SWG. Barangkali saja, nanti aku bertemu manusia. Lalu aku akan meminta manusia itu untuk kemari dan membawa kita ke rumahnya." Saki dengan bodohnya berujar tanpa berpikir panjang. "Itu ide yang buruk. Aku jamin, bukannya kita akan ditolong, mungkin kita akan mendapat kesialan yang lain." Sanka mengangguk tegas, sangat setuju dengan perkataan Randra tadi. "Randra benar. Kita jangan gegabah. Kita harus menemukan cara yang sangat tepat." Sanka menatap kedua kawannya. Saki berdecak, dia lalu melirik kiri atas. "Harus bagaimana kita ..." gumamnya. "Harus menunggu. Aku yakin, pasti ada manusia yang akan berjalan melewati jalanan ini. Kita bisa meminta bantuan kepada manusia itu nanti. Hanya itu cara yang melintas di pikiranku." Ucap Sanka menatap lurus ke depan. "Kali ini aku setuju dengan Sanka. Itu satu-satunya cara untuk bertahan. Baterai kita tak akan berkurang jika kita tidak melakukan pergerakan yang terasa jelas, kan ..." Randra bergumam. "Hmm, itu benar. Tapi, seberapa lama kita akan menunggu?" Saki menatap kedua kawannya. "Entah. Kita tunggu saja Saki." Sanka menjawab dengan pelan. Randra yang berada di samping Sanka pun menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Kita akan menunggu, lebih baik kita menunggu di tempat yang terbuka. Juga sambil beristirahat." Saki memberi saran yang diikuti oleh kedua kawannya. Mereka bertiga berjalan menuju sebuah batu yang besar. Saki dengan lemas menaiki batu besar itu, dia kemudian mendudukkan dirinya di sana. Sanka dan Randra menyusul. Mereka dengan pelan juga mendudukkan badannya di atas batu itu. "Jika tidak ada satu manusia pun yang melewati jalan ini, maka kita akan mati. Maksudku, kita akan mati kehabisan baterai. Benar bukan?" Sanka bergumam, kedua kawannya mengiyakan perkataan itu dengan anggukan kepala. "Teruslah berharap kawan. Manusia, oh manusia, semoga kalian berbaik hati hingga melewati jalan gelap ini ..." Randra yang berada di sebelah Sanka bersenandung pelan dengan kepala yang ia geleng-kan dengan pelan juga. "Terus bernyanyi Rand. Jujur, aku rindu dengan suara nyanyianmu itu." Saki yang berada di sebelah Sanka berujar pada Randra. Di antara mereka bertiga, memang Randra yang paling bagus suaranya jika bernyanyi. Jadi seperti ini, di dunia robot, para robot juga diperbolehkan bernyanyi. Bahkan ada sekolah vokal untuk memperindah suara nyanyian mereka. Tetapi sayangnya, suara indah itu hanya akan dibagikan secara acak pada robot yang baru dibuat. Dan bagaimana dengan ketiga kawan itu? Jangan tanya. Saki sampai sekarang masih merasa tidak terima dengan dirinya yang tidak termasuk ke dalam para robot beruntung itu. Dia sama sekali tidak memiliki suara indah, suaranya bahkan cenderung terdengar dalam dan serak. Sanka pun, dia pernah menjadi salah satu dari mereka. Namun, karena Sanka yang dulu tidak mau mengeluarkan suaranya indahnya, dengan terpaksa suara itu diambil kembali oleh para kelas atas. Dan sekarang, Sanka memiliki suara yang sedikit cempreng. Beruntungnya, Sanka tidak merasa menyesal telah kehilangan suara indahnya tersebut. Lalu Randra, dia adalah salah satu dari mereka yang beruntung pula. Dia mendapatkan suara indah. Tetapi berbeda dengan Sanka, Randra dengan senang hati akan mengeluarkan suara indahnya itu––bernyanyi–– untuk siapa pun. Sedari kecil juga, Randra telah mengikuti sekolah vokal yang ada di dunianya. Biasanya, setiap pekan pagi, mereka bertiga akan tampil di cafe Baiwin. "Kurasa, jika kita tidak tahu apa pun tentang semua ini, kita akan tetap membuat pertunjukan di tempat biasa." Saki bergumam dengan tangan yang menyangga kepalanya dan kaki yang ia tekuk. "Hmm, itu benar." Sahut Sanka mengikuti posisi Saki. "Oh! Ayolah Rand, keluarkan suara indahmu itu seperti biasanya!" lanjut Sanka mengubah posisinya dengan menghadap Randra dan kedua lengannya yang mencengkeram bahu Randra. "Sanka ..." Randra menggeram. "Kau juga tahu! Baterai kita hampir habis! Dan kau malah memintaku untuk bernyanyi. Sanka," Di perkataan terakhir Randra kembali menggeram. "Berpikirlah sedikit kawan. Sepertinya, kau yang akan kehabisan baterai lebih dulu sebelum aku dan Saki." Randra melanjutkan perkataannya dengan mata yang tidak sengaja ia sipitkan. Sanka merotasikan matanya, dia kemudian menatap malas ke arah Randra. "Rand ..." gumam Sanka. Randra berdehem, dia melirik sekilas ke arah Sanka. "Ah, sudahlah." Lanjut Sanka. Kali ini Randra yang merotasikan kedua matanya malas. Dia juga mengedikkan bahunya acuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN