Saat Syifa pergi ke ruangan rohis, Rain pergi ke ruangan musik. Di sana masih sepi, hanya ada orang dari kelas lain yang tak ia kenali saja, daripada mendekat nanti dibilang sok kenal, jadi Rain memilih untuk menyendiri saja di bangku yang tersedia.
Dari arah berlainan para perempuan dan laki-laki dari kelas lain menoleh ke arah Rain, salah satu dari mereka mungkin tidak kenal dengan Rain, tapi sisanya tahu semua, dan rata-rata dari mereka tidak menyukai Rain, menurutnya Rain terlalu sombong dalam segala hal. Padahal mereka hanya belum mengenali Rain dari sisi berbeda saja.
"Eh Rain ikut ekskul musik?" ucap laki-laki dari arah pintu, itu suara Devan, dia beserta para laki-laki yang tadi sedang main di lapangan--termasuk Reza--ikut dalam ekskul musik.
Rain menoleh, tapi saat melihat wajah Reza ia langsung memutar wajah ke depan kembali, masih kesal karena tadi Reza menimpuknya dengan bola.
Tanpa merasa berdosa tiba-tiba Reza duduk di samping Rain, hal itu membuat orang-orang yang tidak menyukai Rain langsung berbisik tidak suka. Mereka mengatakan kalau Rain itu cuma menang di wajah saja, tanpa mau tahu kalau anak seperti Rain pun punya kelebihan tak terduga.
"Sorry, tadi gua cuma mau tau reaksi lu aja," ucap Reza.
Devan langsung berdehem saat mendengar Reza mengatakan hal itu, sejak kecil berteman dengan Reza, baru kali ini melihatnya mendekati perempuan, biasanya perempuan yang mendekatinya. Anehnya sekali mendekati perempuan malah yang memiliki karakter keras seperti Rain. Terlebih perempuan itu dingin, tak beda jauh dengan Reza, bedanya Reza masih punya perasaan kasihan, tahu kata terima kasih, maaf dan lain sebagainya, tapi kalau Rain, dia benar-benar dingin luar-dalam.
Rain hanya mendesis tanpa mau menatap Reza sedikit pun. Ternyata perempuan yang ikut ekskul musik dari kelasnya hanya ia saja, sisanya laki-laki semua.
Rain kira Reza akan pindah dari sampingnya, nyatanya anak itu sungguhan duduk di sampingnya sampai pelatih datang.
"Pertama-tama kita buat unit terlebih dahulu, satu unit berisi vokal, rapper, pemain gitar dua orang, pemain drum satu orang. Jadi satu unit berisi lima orang, kalau dari kalian ada yang salah masuk ruangan bisa pindah, ini ekskul khusus musik unit, di samping ruangan ini ada musik khusus panduan suara. Kalau enggak ada yang salah masuk, bisa langsung pilih unit masing-masing setelah itu tentukan leader, leader catat nama member beserta nama unitnya."
Rain memijit kening, bagaimana mungkin, kenapa harus pakai unit, ia saja tak pandai mempromosikan diri apalagi mencari teman untuk satu unit dengan ia.
"Mau bareng?" tanya Reza.
Rain menoleh lalu memutar bola mata malas, masih kesal dengan Reza.
"Enggak mau nih? Nanti kalau lu dicampur sama mereka yang enggak kebagian unit emang mau?" ucap Reza.
Rain mendesis. "Yaudah." Sebenarnya ia malu mengatakan itu, tapi daripada harus masuk unit orang-orang yang tidak kebagian unit, lebih baik bersama Reza dan para laki-laki dari kelasnya saja.
Reza tersenyum miring, ia rasa Rain tidak sedingin yang orang lain kira. Mungkin alasan para perempuan mendekatinya karena rasa penasaran, begitu pun ia terhadap Rain, ia penasaran kenapa Rain bisa seperti itu. Ia cuek dan sering dipanggil balok es karena memang kurang suka banyak bicara, ia pun punya selera humor yang lumayan tinggi, mau dipaksa pun akan sulit untuk tertawa, terlebih ia mudah risih dengan sikap orang yang berlebihan terhadapnya, kalau orang itu laki-laki ia tak segan-segan memukulnya, tapi kalau orang itu perempuan ia akan keluarkan kata-kata pedas agar orang itu menjauh.
Namun Rain, nampaknya dia memiliki sikap seperti itu bukan dari karakternya sejak lahir, ada alasan tersendiri. Karena Rain, Reza bisa merasakan apa yang dirasakan para perempuan yang selalu berusaha mendekatinya, kata penasaran dan tertarik yang entah akan berkembang biak menjadi kata lain atau hilang begitu saja saat sudah tak penasaran lagi, Reza pun tak tahu.
"Siapa yang mau jadi leader, gua enggak mau," ucap Devan, "lu aja, ya, Za?"
Reza malah menatap Devan dengan ekspresi datar. "Kenapa harus gua? Lu bisa tanya yang lain dulu. Bisa jadi ada yang diam-diam mau jadi leader tapi lu putusin semangatnya gitu aja."
Devan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Oke-oke, ada yang mau? Intinya gua enggak mau, kalian bisa ajuin diri, enggak usah malu," ucap Devan sambil bangkit, ia mau minta kertas dan pulpen dengan para perempuan. Tanpa harus mengeluarkan otot, Devan langsung mendapatkan apa yang ia mau, dia memang pandai menebar pesona sampai membuat para perempuan terhipnotis.
"Gimana, udah ada yang mau? Gua udah mintain kertas sama pulpen nih," ucap Devan.
"Udah Reza aja," ucap Rangga dan Tio--teman kelas yang satu unit dengannya.
"Dia cocok, badan dia lebih besar dari kita, Devan yang petakilan aja nurut sama dia, udah Reza aja," sambar Rangga sambil tertawa kecil.
Devan langsung menjitak kepala Rangga tak terima. "Gua bukan nurut, lebih tepatnya mengalah demi kebaikan, si Reza tangannya enteng, kalau enggak ngalah enggak baik buat fisik gua."
Reza tersenyum kecil, ia tidak suka memukul orang kalau orang itu tidak mencari masalah dengannya, Devan hanya bercanda.
"Yaudah lu aja, Za," ucap Devan.
Reza mengangguk.
"Tulis semua membernya sekaligus nama unit kita," ucap Devan sambil memberikan kertas dan pulpen ke Reza.
"Tulisan gua kurang bagus kalau enggak ada tatakan, lu aja yang tulis, Rain," ucap Reza, ia berikan kertas yang baru diambil dari tangan Devan kepada Rain.
Lagi-lagi Rain hanya mendesis tidak suka, tapi tetap dikerjakan. "Apa nama unitnya?" tanya Rain tanpa menoleh ke arah teman-teman satu unitnya.
"Angkasa," ucap Reza.
"Dari masih bocah lu suka banget sama hal-hal yang berbau angkasa," ucap Devan.
Reza tersenyum. "Ayah gua pun suka angkasa, karena itu dia bercita-cita jadi pilot, setiap lihat angkasa, gua kayak lihat ayah hidup lagi."
Devan mengatup-ngatupkan bibirnya. Reza sudah ditinggal meninggal oleh ayahnya sejak ia masih berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal karena kecelakaan saat mengendarai pesawat, bahkan sampai detik ini, jasad ayahnya belum bisa ditemukan. Selama ini ia kira Reza suka angkasa karena anak itu memang sekedar menyukai keindahannya saja. Ternyata bukan.
"Nih," ucap Rain, memecah keheningan yang sempat tercipta, ia berikan kertas itu kepada Reza.
Setelah semuanya menemukan unit masing-masing, Reza dan para leader lainnya maju ke depan.
"Si Reza kenapa bening amat, ya, muka perempuan aja kalah mulus sama dia," ucap Devan.
"Dia kayaknya emang keturunan deh, soalnya mau main panasan pun mukanya cuma merah, nantinya mah putih lagi," sambar Tio.
"Iya, gua pernah lihat ayahnya dulu, waktu gua masih SD, kayak model, tinggi, badannya bagus, mukanya kinclong, apalagi bundanya waktu masih muda, cantik banget gila, sekarang aja masih cantik," ucap Devan.
"Susah sih serbuk berlian mah, emang dari zigot udah cakep," sambar Rangga.
Rain hanya mendengarkan sambil menahan mual, ternyata para laki-laki pun bisa membicarakan kelebihan teman laki-lakinya.
"Apa alasan kamu memberikan nama Angkasa?" tanya pelatih, semua leader ditanyakan hal serupa.
"Angkasa itu indah, angkasa itu luas, angkasa itu tinggi, angkasa itu ciptaan dari pencipta yang luar biasa, meski saya enggak bisa membuat unit sesempurna angkasa, tapi dari kata angkasa saya bisa menemukan motivasi dalam menjalankan unit ini selama beberapa tahun ke depan."
Dari tahun ke tahun, sekolah tempat mereka menuntut ilmu memang membuat unit untuk tiga tahun ke depan, setiap unit akan tampil saat mengadakan pentas seni di hari sabtu, hari di mana pelajaran tidak akan dibahas, hanya menyaksikan pentas seni saja. Tidak hanya dari ekskul musik, ada dari ekskul lainnya juga.
Ucapan Reza mendapatkan tepukan tangan, awalnya bermula dari Devan, akhirnya semuanya ikut tepuk tangan. Padahal sebelumnya leader unit lain tidak mendapatkan tepukan tangan.
Hari ini hanya pembagian unit dan tugas masing-masing, pelatih langsung pergi setelah mendapatkan data-data per-unit, sisanya menjadi tugas masing-masing unit untuk membagi tugas.
"Di cafe depan aja gimana, sumpek weh di sini, Rain enggak apa-apa, kan, ikut? Nanti sama Babang Reza naik motor kesayangannya," ucap Devan.
"Gua enggak ikut," ucap Rain.
"Yah ... ikutlah, Rain, kalau lu enggak ikut nanti malah lu yang kena marah pelatih, lho, karena enggak kompak. Unit lain aja pada pergi bareng, entah mau kumpul di mana, unit Jingga katanya mau ke rumah leader."
"Gua perempuan sendiri, sedangkan yang lain, kan, enggak," ucap Rain.
"Kita enggak nakal," ucap Rangga.
"Nah," sambar Devan.
"Selama ini, belum ada perempuan yang pernah naik motor gua selain bunda, apa gua kelihatan kayak laki-laki nakal?" tanya Reza sambil menatap manik mata Rain. "Atau, kalau lu enggak percaya, lu bisa milih mau naik motor sama siapa, mau naik ojek online pun terserah lu."
"Jarang-jarang dia nawarin perempuan naik motornya," bisik Devan.
"Apa urusannya sama gua," ucap Rain.
"Tandanya ehem ehem," bisik Devan lagi.
Reza langsung bangun lebih dulu. "Ayo!" Tanpa mau kompromi lagi dia langsung pergi begitu saja.
Devan tidak mau bangun kalau Rain tidak bangun, hal itu membuat Rain tidak nyaman sampai akhirnya ia pun bangun dan ikut melangkah ke parkiran.
"Jangan terlalu nutup diri buat orang lain, semua orang pasti punya masalah hidup, tapi jangan jadikan masalah hidup kita patokan bahagia atau enggaknya hidup kita," ucap Devan tiba-tiba saat Rain berjalan di belakangnya, di lorong menuju parkiran sekarang hanya ada dia dan Rain saja sekarang.
Rain menatap punggung Devan, dia tidak menoleh ke arah Rain, Rain masih ragu kalau Devan sedang bicara dengannya, terlebih membicarakan hal serius seperti itu.
Devan menoleh ke arah Rain saat sudah sampai di parkiran, tatapannya berbeda dengan tatapan yang sering ia lihat. Rain memicingkan mata, Devan agak aneh.
"Ayo naik," ucap Reza.
Rain yang masih berpikir keras tentang Devan langsung naik begitu saja ke atas motor Reza tanpa banyak protes lagi.
***
Sepanjang perjalanan Rain dan Reza sama-sama diam, perlahan-lahan Rain mulai tahu bagaimana karakter Reza, dan Reza pun mulai tahu bagaimana karakter Rain. Rain merasa kalau Reza memang memiliki karakter seperti ini sejak lahir, berbeda dengannya. Ia hanya sedang bertopeng menutupi luka. Kalau dilihat-lihat, Reza anak dari keluarga bahagia, sudah jelas kalau dia seperti itu memang karena karakternya.
"Mau minum apa nih? Gua udah milih," ucap Devan, dia kembali heboh seperti semula.
Cafe tempatnya berkumpul lumayan sepi, yang datang hanya segelintir orang saja, ada yang sambil bekerja menggunakan laptopnya, ada pula yang datang bersama kekasihnya. Hanya di tempat Rain saja yang ramai dan heboh, dan semua kehebohan yang terjadi diketuai oleh Devan.
"Lu suka kopi pahit?" tanya Rangga kepada Rain.
Selama ini Rain memang kurang suka manis, ia lebih sering mengonsumsi makanan pedas gurih dan minuman hambar, pahit, kadang yang manis pun ia minta ditambahkan air supaya tidak terlalu manis.
Rain mengangguk, di mana yang lain membeli kopi atau apapun yang manis-manis, hanya Rain yang mesan kopi pahit.
"Buset, enggak cuma omongannya aja, ya, yang pahit, ternyata emang suka minum yang pahit-pahit," sambar Devan.
Mata Rain melotot. "Ngomong sekali lagi gua timpuk pakai tusukan gigi, nih!" ancam Rain sambil menggenggam tusukan gigi yang tersedia di atas meja.
Devan tertawa. "Baru kali ini gua dinistain perempuan, galak banget, sih, lu!" ucap Devan.
Rain hanya mendesis sambil membuang muka ke arah berlainan. Ia tidak suka digoda menggunakan metode apapun, terlebih yang menggodanya laki-laki. Saat ia mengatakan ingin menimpuk, akan ia timpuk kalau orang itu tak berhenti bicara, ia sungguh-sungguh kalau sudah mengatakan sesuatu.
Saat Devan, Rangga dan Tio tertawa, tidak dengan Reza. Dia diam saja sambil menatap layar handphone, setelah membaca sesuatu dari handphone-nya, dia langsung bangun sambil membawa kertas menu yang sudah terisi menu-menu pilihan ke tempat pemesanan makanan. Reza memang berbeda dengan laki-laki lainnya.