"Nggak usah bohongin Ibu," katanya. "Bilang suka sama Nirwana biar Ibu buang apa yang selalu Ibu pikirkan tentang kamu, kan? Barat, memangnya kamu pikir Ibu semudah itu diakalin, hm? Dengan kamu menikah sama Nirwana maka kamu akan jadi lebih mungkin untuk mencapai tujuan itu, kan?"
Ah ... demikian?
"Ibu ngerti, kok. Nirwana adalah batu loncatan buat kita ... tapi Ibu udah nggak pengin hal itu lagi, Barat. Ibu udah ikhlas."
Mereka bertatapan.
"Sekarang Ibu cuma mau kebahagiaan kamu. Kebahagiaan Ibu juga."
Dan itu adalah pengantar dari kalimat terakhir yang Nirwana dengar amat jelas bahwa ....
"Selesaikan sama Nirwana, terus ayo kita pulang, di sini bukan tempat kita. Mumpung belum jauh ... ya? Ayumi juga masih nunggu kamu, kok."
Oh, berapa lama Nirwana harus berdiri di sana? Bagaimana bila teh hangat di nampan ini berubah dingin terembus detik waktu? Nirwana menatap air dalam cangkir itu.
Terpikir suatu hal. Sebenarnya ... di sini siapa yang memanipulasi siapa?
Sekian menit berlalu, di kamar itu kini Barat sudah alihkan pandangan ke arah pintu di mana sosok Nirwana datang bersama senyuman plus nampan.
"Ini, Bu. Spesial didedikasikan buat Ibu teh dan camilannya."
Ibu Barat berdeham. Melirik apa yang lalu Nirwana letakkan di meja. "Ibu udah tua, nggak terlalu suka makanan manis, dan gula darah juga harus mulai dijaga. Next time camilannya ganti, ya. Dan ... itu teh manis atau tawar?"
Satu hal yang lantas membuat Barat menarik lembut tangan Nirwana, pamitan sama ibu, lalu mempersilakan beliau istirahat dulu, tanpa membiarkan perbincangan tadi terus berlangsung. Well, ibunya keterlaluan.
"Maaf."
Di kamar yang serba pink itu.
"Nanti saya tegur ibu." Cekalannya dilepas.
Yang Nirwana tatap hingga kepalanya mau tak mau mendongak, Barat cukup tinggi dan itu mendadak jadi terasa menyebalkan saat ini.
Tahu, kan?
Isi kepala Nirwana penuh dengan ucapan-ucapan yang didengarnya tadi. Lagi pula, kenapa ibu Barat membicarakan soal itu di sini? Sengajakah? Memang ingin didengar olehnyakah? Jika iya, lalu apa? Namun, bagaimana jika tidak? Memangnya ibu Barat mau apa coba?
Melihat sorot mata Nirwana yang tidak biasa, Barat pun menjulurkan tangan, ibu jarinya menyentuh kernyitan tajam di kening hingga alis Nirwana.
Ah, iya ....
"Aku fine, kok." Nirwana ukirkan senyum di dua sudut bibirnya seiring kernyitan itu memudar. "Bebas ibu kamu mau bilang apa, yang penting itu kamunya." Gantian, tangan Nirwana yang menjulur, dia tekan d**a Barat dengan telunjuk seraya berucap, "Ada di pihak mana .... Aku, sih, harusnya."
Itu saja.
Yang tidak ada tanda-tanda kejahatan dari seraut wajah itu, tampak seperti Barat yang selama 7 bulan lebih ini Nirwana kenali, Barat yang pendiam, kaku, datar, tetapi hangat ... hal yang membuat Nirwana jatuh hati.
Namun, ibu mertua Wana jauh lebih lama mengenal Barat, bahkan sejak lelaki ini dalam kandungan, jadi ... bagaimana, ya?
Nirwana mendudukkan pantatnya di sofa pink yang ada, kaki telanjangnya menapaki karpet bulu berwarna senada, lembut membelai kakinya. Oh, Barat ikut duduk di sana.
"Nirwana."
Terdengar sangat serius, tentu Nirwana menoleh. Pun, ternyata Barat sedang menatapnya.
Ya, mereka bertukar tatap detik itu. Seakan hanya dengan begini, segala tanya dalam otak dan segala ucap dalam benak dapat tersampaikan tanpa harus ada yang buka mulut.
Kalau mau tahu, Barat ingin memeluk. Mengingat bagaimana tutur kata ibu terhadap Nirwana di depannya, mungkin saja sebagai istri harga diri Nirwana terluka. Kalau memang belum ada cinta seperti yang Nirwana katakan sebelumnya, ini pernikahan tanpa cinta, tetapi tidak layak juga ibu bertutur seburuk itu kepada wanita yang menjadi istrinya. Barat rasa ... dia harus apa, ya?
Semata agar dapat memastikan bahwa betul ... Nirwana fine-fine saja. Sosok yang ibu bilang adalah batu loncatannya.
"Apa?"
***
Banyak hal yang terjadi hanya dalam satu waktu, hari itu saja, hari pertama Barat melihat sosok putri semata wayang Alam Semesta. Ya, anak perempuan satu-satunya dari sekian bersaudara.
Perjumpaan pertama bola mata mereka, tampak membenci kehadiran Barat si sana, kentara ketidaksukaan Nirwana terhadapnya yang Alam Semesta perkenalkan sebagai pengawal pribadi. Namun, esok, di sekitar gadis itu ... Barat akan selalu menyertai.
Namanya Nirwana Lintang Semesta, dia gandis berusia lima tahun di bawahnya, tatapan itu laksana macan yang melihat musuh, tetapi di mata Barat lebih terlihat seperti sorotan mata anak kucing yang tidak ada garang-garangnya.
"Dibayar berapa sama papi?"
Bahkan tutur katanya pun setajam pisau, tetapi menembus gendang telinga Barat tanpa ada efek apa pun seolah ucapan Nirwana itu peluru karet dari hasil tembak pistol mainan. Barat tidak terpengaruh.
Dia diam sambil terus menilai sosok di depannya.
Sangat cantik.
Namun, bagaimana bisa perempuan secantik ini menyukai satu pria saja dan itu sampai segila yang diceritakan Alam Semesta padanya? Wajah seelok ini, rasanya tidak cocok kalau kisah asmaranya ternyata semengerikan apa yang Barat dengar. Konon, sampai nyaris merusak rumah tangga orang, eh?
"Papi!"
Ya, hari itu.
Dulu.
Awal-awal Barat bekerja di rumah Semesta.
Sampai waktu membawanya pada satu kesimpulan, Nirwana adalah ... bocah?
Namun, yang Barat sebut bocah itu, rupanya dia adalah gadis mandiri, penuh ambisi, dan punya sesuatu hal yang tidak Barat miliki ....
Sering, Barat ingin sekali tahu apa yang ada di dalam otak cantik Nirwana. Di tengah pengasingannya, dia bahkan bisa memiliki kerajaan bisnis walau berskala kecil, tanpa bantuan orang tua. Oh, itu ... kematangan dalam berpikir, bahkan sampai melebarkan sayapnya di Jaya Group, lalu mampu membuat Barat buka mulut perihal siapa Batara Dhanandjaya sebab merasa tersudut oleh semua praduga laksana bukti dari tutur kata Nirwana. Rasanya Barat masih jauh tertinggal dari kemampuan daya pikir Nirwana.
Contohnya, saat ini. Detik di mana Barat berkata, "Apa kamu yakin nggak keberatan sama ibu saya yang ikut tinggal di sini? Seperti yang kamu tau, ternyata ibu nggak suka sama kamu ... maksud saya, didengar dari ucapan ibu tadi rasanya saya salah kalau kamu harus mau nerima saya sepaket dengan ibu juga. Jadi kamu bisa menolak keberadaan ibu saya di sini dan besok saya akan bujuk ibu buat balik ke Bandung."
Nirwana menjawab, "Ya ... dibilang keberatan, tentu keberatan. Di sisi lain, aku juga nggak akan berusaha biar ibu kamu berbalik jadi suka sama aku. Tapi buat nolak keberadaan ibu kamu ... ngapain? Udah bener, kok, aku mau kamu, ya, berarti mau nggak mau harus mau sama ibu kamu juga. Jadi, yakin-yakin aja."
Biarlah ibu-ibu julid bin nyinyir itu tinggal dengannya.
Apalagi setelah tadi mendengar bahwa ....
Batu loncatan?
Tujuan apa pula tadi?
Dan, sejauh mana diri ini salah mengambil keputusan?
Tiba-tiba d**a Nirwana bergemuruh kencang. Cintanya memberontak di dalam sana dan itu agak menyakitkan. Kenapa sekalinya cinta ini jatuh kepada orang yang bisa dihalalkan untuknya, tetapi malah jatuh di--
"Terima kasih ...."
Narasi dalam benak Nirwana entah kabur ke mana, hanyut dalam sebuah dekap yang tiba-tiba tercipta, Barat pelakunya, sambil mengecup pucuk kepala Nirwana.
Eh, tunggu!
Bukannya kalau begini, Barat terlalu 'berbahaya'?
Nirwana maunya waspada, tetapi perlakuan Barat dan bisikan lembutnya malah membuat dia merasa ... sudah betul. Ini keputusan terbaiknya, menjadikan Barat Dhanandjaya sebagai suami dan membuat diri ini bisa menapaki pelaminan dengan hati ringan saat melihat Topan datang dalam kondisi kacau--mungkin istrinya belum ditemukan--Nirwana tidak sepeduli dulu dan rasanya ... iya, begini baru benar.
Sangat benar.
Berpelukan dengan Barat di kamar.
Well ....
"Jantung kamu berisik," gumamnya.
Barat bergeming.
Yang kian Nirwana tempelkan daun telinga pada d**a Barat di sana. Alot. Dag-dig-dugnya terasa tidak asing. Nirwana seperti familier dengan detakan jantung macam ini.
"Barat."
Tak lantas menjawab. Nirwana lalu mendongak, tetapi masih bertempat di d**a Barat. Di sofa pink itu.
"Iya?" Akhirnya, Barat buka mulut.
Kapan mulainya ... Barat punya detak jantung yang sama seperti Nirwana?
Ya, harusnya itu yang ditanya. Namun, Nirwana malah bilang, "Lebih enak peluk aku apa Ayumi?"
Eh ....
Mata Barat auto tajam menatap, apalagi saat telapak tangan Nirwana naik-naik mengelus rahangnya, lalu bilang, "Akulah, ya? Karena selain dipeluk, aku juga bisa dijadiin batu loncatan."
Ada napas yang ditahan, napas siapa?
Ada pula tubuh yang menegang, tubuh siapa?
Saat Nirwana bisikkan, "Am I right?" Tepat di depan daun telinga Barat yang Nirwana tiup kemudian di sebelum bangkit dan melenggang.
Itu ....
Maksudnya ....
Nirwana dengar?