"Menikah?"
Ya, saat itu.
Barat duduk tegak bin tegang di hadapan majikan, eh, atau apa, ya? Soalnya ... hari itu Barat berkunjung ke kediaman Semesta, tetapi bukan untuk melaporkan secara langsung hasil pengawasannya terhadap Nirwana, melainkan ....
"Iya, apa saya boleh menikahi putri Anda, Pak?" Amat serius rautnya.
Alam Semesta terdiam di beberapa detik selepas mendengar pengutaraan Barat yang ... apa tadi?
Barat menginginkan Nirwana.
Oh, dikisahkan pada masa setengah tahun lebih sedikit Alam Semesta mempekerjakan Barat untuk mengawal putrinya, yang hari itu Alam melihat ada seseorang berjalan di pekarangan, Barat, tampak gagah sebagaimana perawakannya walau barusan turun dari boncengan ojek online.
Kiranya, ada apa gerangan?
Apakah terjadi sesuatu hal yang tidak mengenakkan terkait Nirwana di sana hingga Barat sampai harus datang sekadar untuk memberi laporan? Biasanya lewat telepon? Kalaupun ke sini, biasanya naik mobil dan tentu bersama Nirwana. Jadi, ....
"Apa ini?"
Kening Papi Alam bahkan sampai berkerut, bingung, mendapati Barat yang ternyata membawa buah tangan. Hari itu. Bahkan Barat menciun tangan Alam Semesta yang biasanya tidak seperti itu, lho!
Wajar kalau Alam terheran-heran, lalu melirik Mami Rana yang juga kebingungan. Mulanya, Rana ikut duduk di sana adalah karena ingin mendengar hal apa yang hendak Barat sampaikan, siapa tahu ada urgensi terkait Nirwana dan itu amat important, atau mungkin perihal kabar buruk. Namun, kayaknya bukan, ya?
"Itu ... semoga Anda berdua menyukainya."
Memang betul, sekaku itu seorang Barat. Seformal itu. Apalagi sama orang tua Nirwana yang notabene adalah majikannya, kan?
Ehm.
Namun, hari itu Barat sudah bertekad, sudah memberanikan diri, juga sudah memikirkan secara matang--nyaris busuk malah isi pikirannya itu--perihal ajakan menikah dari Nirwana. Yang mana hari ini, di sanalah Barat berada. Tanpa dia bicarakan dulu dengan gadis itu, Barat pun belum memberi jawaban pasti kepada putri Alam Semesta ini, tetapi dia memilih untuk mendatangi orang tua Nirwana lebih dulu alih-alih memberi tanggapan.
Kelima jarinya Barat tautkan, tatapannya menyorot tepat di bola mata pria yang Nirwana sebut Papi Alam, detik di sebelum dia katakan, "Maaf sebelumnya, ada yang ingin saya sampaikan perihal Nirwana dan ini harus saya ucapkan secara langsung kepada Bapak dan Ibu ...."
Oh?
Raut papi dan mami Nirwana kompak menunjukkan sebuah tanda tanya besar, juga dengan gerak tubuh yang kelihatan gusar.
"Apa dia berulah?" Sangat kentara, Mami Rana auto cemas di sana. "Apa Wana nemuin Topan lagi? Atau ...."
Henti di sana, lengan Mami Rana digenggam oleh pawangnya. Alam Semesta. Langsung mingkem walau masih terlihat jelas ketidaktenangan itu di wajah ibunda Nirwana.
Barat berdeham. "Bukan, Bu. Justru dalam beberapa waktu saya perhatikan, sepertinya delapan puluh lima persen Nirwana sudah membaik. Pernah saya membahas tentang Topan dan Nirwana tidak semenggebu dulu."
"Ya Allah ... syukur kalau gitu." Mami Rana langsung elus d**a.
"Terus? Apa yang kata kamu harus diucapkan secara langsung kepada kami, soal Nirwana?" Alam Semesta mengembalikan topik semula.
Ah, iya ....
Barat kembalikan sorotan matanya kepada pria menuju sepuh itu. Alam Semesta. Yang Barat kata, "Maaf. Saya menyukai putri Anda."
Ranasya Zhagat Raya, alias maminya Nirwana, dialah yang merespons paling cepat dengan terbukanya mulut sambil ditutup oleh telapak tangan dua-duanya seolah bilang: A-APA?!
Tak hanya itu, keterkejutan tampak sangat terpampang dari raut Mami Rana yang duduk di sebelah papinya Nirwana. Bola matanya pun sampai membeliak. Well, bukannya melebih-lebihkan, tetapi memang saat itu Mami Rana bereaksi demikian.
"Suka?"
Alam Semesta juga kelihatan terkejut, tetapi beliau tampak dapat mengontrol dengan baik reaksi kagetnya.
Tanpa ragu, Barat katakan, "Ya. Apa saya boleh menginginkannya? Akan saya pinta dengan baik jika Anda berdua mengizinkan ... saya akan datang lagi nanti dengan lebih terencana."
Agak lain memang bahasa Barat Dhanandjaya, pilihan Langit putra Alam Semesta, yang entah karena apa Langit menjatuhkan minatnya di Barat untuk menjadi pengawal pribadi Nirwana. Selama ini Alam hanya manut saja, pun manutnya dia kepada Langit karena sepanjang hidup bersama putra jeniusnya itu, pilihan Langit tidak pernah salah. Sejauh ini ... terbukti, sih, dengan sangat bisa dipercayanya seorang Barat Dhanandjaya, Nirwana aman di dia. Tiap hari Alam mendapat laporan apa-apa saja yang putrinya lakukan dari Barat, jujur dan terperinci. Pun, ada perkembangan dari diri Nirwana yang tak lagi kentara begitu mencintai Topan.
Oh, dulu saat tercetusnya ide ini, perihal perekrutan pengawal pribadi, Alam memang sempat membayangkan Nirwana jatuh cinta saja kepada pengawalnya itu, rasanya demikian lebih baik. Namun, saat semua menjadi seperti sekarang ... entah Nirwananya jatuh cinta atau tidak, tetapi pengawalnya sampai datang kepada Alam Semesta dan menyatakan rasa suka untuk Nirwana. Agaknya, Alam terkesiap juga.
"Maksud kamu ...."
"Apa saya boleh menikahi putri Anda, Pak, Bu?" Langsung saja.
Itulah mengapa satu kata: "Menikah?" Tersemat di awal kisah dalam epissode hidup Barat ini.
Ah ... iya, menikah.
Yang Barat pikirkan matang-matang, meski belum melontarkan jawaban kepada Nirwana yang memang bukan Barat pencetus utamanya, tetapi jika Barat melakukan suatu hal sampai sejauh ini ....
"Nirwana sudah tau?"
Barat tak lantas menjawab.
"Wana tau kalau kamu suka sama dia?"
"Saya baru berani bilang sama Bapak dan ...." Melirik Mami Rana. Barat pun menyebut beliau di sana.
Tak ada raut ragu di wajah Barat, tak ada getar sangsi dalam tutur pun intonasinya, yang terlihat hanya sorotan mata tegas bin serius, juga ucapan tanpa keraguan. Oh, Alam Semesta dengan menilai dalam diamnya. Sorotan mata Papi Alam pun lurus kepada Barat di depannya, lain dengan Mami Rana yang kelihatan gusar sendiri.
Pasti. Antara bingung dan terkejut, gembira dan apakah boleh sesenang itu mendengarnya?
Demikian kira-kira.
Bapak Alam YTH lantas berkata, "Ya sudah, besok ke sini lagi sama Wana. Soal saya dan istri ... kita lihat nanti bagaimana respons putri kami."
"Baik," sahut Barat. "Terima kasih, Pak, Bu. Kalau begitu saya pamit kembali ke--"
"Eh, iya!" Mami Rana menyela. "Kamu tadi ke sini naik ojol?"
Barat kaku seketika.
"Mobil Wana ke mana? Bukannya dia pulang-pergi kerjanya diantar-jemput sama kamu, ya?" Harusnya dengan begitu, mobil Nirwana ada pada Barat. Paham, kan, maksudnya?
Barat berdeham. "Ada di rumah."
"Lho, kenapa nggak kamu bawa aja?" Mami Rana sangat ekspresif rupanya.
Barat tersenyum simpul. "Maaf, Bu. Saya lebih percaya diri naik ojek daripada bawa mobil anak gadis Ibu untuk tujuan ini kemari."
Mami Rana tersipu-sipu. Amsyong! Dia senggol-senggol lengan suami, Barat senyumi kelakuan orang tua Nirwana yang terlihat olehnya saat ini.
Kalau boleh bercerita sedikit, tadinya Barat mau sewa mobil atau minimal naik ojek berbasis mobil. Namun, sudahlah, apa adanya saja. Toh, Alam Semesta tahu keadaannya. Lagi pula bukan karena Barat tidak punya kendaraan, ada sebetulnya, hanya saja Barat tinggalkan di Bantung untuk keperluan ibu.
Toh, jenis pekerjaan Barat di sini, kan, memang tidak begitu memerlukan kendaraan, jadi dia pikir tidak efektif bila dibawa. Mana tahu akan ada agenda macam ini dalam epissode hidupnya.
"Oh, ya, silakan diminun lemon tea-nya, Barat. Mami yang bikin sendiri, lho, tadi."
Tahu-tahu sudah sebut mami.
Hari itu.
Kini sudah berlalu. Yang mana sedang Barat pandangi seraut wajah Nirwana, damai terpejam dalam lelapnya tidur malam, sementara Barat malah begadang.
Yeah ... kepala Barat rasanya penuh, membuat kantuk tak kunjung datang, atau memang terusir tanpa ada aba-aba pemberitahuan?
Tepat pukul satu dini hari.
Barat pun memilih beranjak, dia sudahi memandang wajah cantik putri satu-satunya Alam Semesta ini, yang lalu Barat tinggalkan ke luar. Malah lapar. Mungkin dengan mengisi perutnya dulu nanti Barat baru bisa tidur.
Namun, baru saja Barat buka pintu, suara Nirwana tiba-tiba terdengar.
"Mau ke mana?"
Eh?
"Kamu belum tidur?"
Nirwana berbalik, mengucek mata. "Kebangun, denger suara langkah kaki." Lalu menguap.
Apa itu masuk akal?
"Saya lapar, mau ke dapur masak mi." Dan tidak begitu Barat indahkan ucapan Nirwana tadi.
Yang tahu-tahu, di dapur, Nirwana minta dimasakkan juga satu, sementara dia duduk menelungkup di meja makan itu. Membiarkan Barat berkutat dengan mi instan dan panci.
Oh, oke.
"Kalau mau tidur, di kamar." Barat menegur, rendah nadanya. Barangkali terdengar oleh orang rumah selain dirinya dan Nirwana.
"Ini lagi nunggu mi mateng," gumam Wana, menyahut.
Barat melirik. 7 bulan tinggal bersama Nirwana, dia tahu kalau perempuan itu tidak ada masalah soal jam makan, jenis apa yang dia santap, dan yang penting dia suka. Jadi, mi instan di jam satu dini hari bukan hal asing bagi Nirwana, meski sangat jarang juga.
So, demikianlah mereka. Selesai Barat masak mi dua mangkuk, lalu duduk di sisi Nirwana yang mengangkat kepalanya, menghirup aroma mi, kemudian menerima juluran air minum dari Barat untuk langsung diteguknya.
"Bagus. Sekadar masak mi aja suami yang masakin."
Eh ... kuah mi yang ada dalam mulut Nirwana auto membuatnya terbatuk-batuk di sana. Bukannya apa, Wana terkejut dan dia belum siap dengan hal tersebut.
"Ibu!"
"Oh, sekarang kamu jadi bentak-bentak Ibu? Bagus, bagus!" Sambil berlalu selepas ambil air hangat dari dispenser di dekat dapur sana, menuju kamarnya. Menggerutu, "Kalo nikah sama Yumi, pasti nggak bakal berani bentak kayak tadi. Ck, ck, ck ... pengaruh buruk ini, sih."
Pintu kamar itu pun ditutup, seiring Nirwana reda batuknya, yang Barat usap-usap punggung perempuan di sisinya itu.
"Maaf, maaf. Nanti saya tegur ibu dan--"
Bibir Barat ditekan, jari telunjuk Nirwana melesat cepat ke sana, menempel lama hingga saat ini. Dan ... tatapan mereka berjumpa.
Ah, entah ....
Siapa yang mulai, siapa yang bergerak lebih dulu, sampai-sampai dua mangkuk mi menjadi saksi bisu malu-malu bibir Barat dan Nirwana bersatu di ruang makan itu.
Tahu?
Ada pintu kamar yang kembali di tutup detik itu.
Pun, satu hal yang pasti.
Mi instannya mengembang sampai pagi. Sementara, ke mana perginya sang empu dua mangkui mi instan di meja makan itu?