Masuk, nggak. Masuk, jangan. Masuk?
Oke, fine!
Pertama-tama, Nirwana ambil handuk dulu yang demikian itu mewujud kimono, katakanlah bathrobe, lalu dia letakkan di kasur bersamaan dengan handuk Barat. Kalau punya Barat, handuk biasa. Well, dua handuk itu salah satunya berwarna pink, tentu paham milik siapa.
Nirwana.
Dia melepas kancing kemejanya satu per satu sambil merasakan debar di d**a. Serius masuk? Wana melirik pintu kamar mandi, di dalam Barat sedang apa, ya? Sudah mulai mandi atau jangan-jangan sedang menunggunya? Saliva itu lagi-lagi Nirwana telan dengan gugup.
Ah, nggak boleh gini!
Masa cemen, sih? Dia yang mememulai, mengajak walau sebetulnya omong kosong belaka di depan ibunda Barat tercinta, tetapi mana tahu laki-laki itu mengamini? Namun, Nirwana tentu tidak akan kabur, mentalnya bukan mental pengecut, kok. Meski jantung sejatinya dari tadi sudah asyik berdisko.
Lagi ... Wana telan kelat ludahnya. Telah dia loloskan kemeja, sisa bra hitam berikut rok yang mulai Nirwana tanggalkan. Pakaian dalam satu set itu tersisa di tubuhnya kini, yang kemudian Wana balut dengan bathrobe. Dia memakai itu sambil berjalan menuju pintu kamar mandi, di satu tangan yang lain terdapat handuk Barat, sedang tangan satu laginya dia fungsikan untuk menempatkan pakaian kotor tadi ke dalam bak cuci di sudut kamar ini.
Uh ....
Berisik sekali, debar di d**a semakin meresahkannya. Yang demikian itu, Nirwana putar kenopnya, membuka pintu, makin menjadi kehebohan dalam d**a ini.
Fix, masuk.
Kaki Nirwana melangkah melewati ambang pintu, ini bukan ambang kematian, tetapi rasanya sungguh mendebarkan. Mengerikan. Nirwana sangsi untuk terus maju, tetapi pantang buat ambil langkah mundur. So, dia masuki dan ditutupnya pintu kamar mandi itu.
Tahu?
Suara pintu ditutup terdengar menggema, padahal sebetulnya tidak begitu.
Sementara itu, Barat yang sudah di sana ... dia menatap kehadiran Nirwana. Berani juga ternyata, ya? Barat pikir Nirwana anak yang nggak ada takutnya, itu dipatahkan dengan sosok Nirwana yang memekik panik kala piamanya Barat buka dengan paksa, malam itu. Nirwana masih punya rasa takut. Namun, saat ini, dia--
"Nunggu lama?"
Sudah berdiri tepat di dalam kamar mandi, Wana menggantungkan handuk Barat dan lalu dia berbalik, menatap sosok Barat yang rupanya sudah anteng di dalam bathub. Menatapnya lekat.
Yang mana saat itu, tali bathrobe-nya Wana loloskan, dengan gerakan pasti ... tanpa tersorot rasa malunya, Wana menggantungkan juga jubah mandinya di sisi handuk Barat. Ya, semi polosan. Nirwana pun melangkah menuju Barat di dalam bak mandi elite.
Sungguh, tatapan Barat tidak beranjak dari raut Nirwana. Agaknya, Barat terkejut. Namun, pandai dia tutupi dengan minim ekspresi. Dan ... perlahan tatapan Barat turun pada bagian tubuh Nirwana paling bawah, kaki, di mana Wana mulai masuk ke dalam bathub yang sama dengan Barat di dalamnya.
Tadi, Barat yakin Nirwana tidak akan menyusulnya. Pun, Barat sengaja berendam menikmati hangatnya air di bathub, maksud hati agar bisa berlama-lama di sini seolah memang menunggu Nirwana sebab jika Barat langsung mandi guyuran di shower, nanti waktunya di sini begitu singkat. Toh, sekaligus merileksasikan tubuh dalam balutan air hangat ini.
Ah ... sejatinya, Nirwana memang bukan anak-anak. Yang Barat lihat lekukan indah tubuh itu, jelas bukan lekuk yang dimiliki oleh anak-anak.
Dan, benar kata ibu. Tonjolan tubuh bagian depan Nirwana terlalu indah hingga seyogyanya jangan memakai baju ketat. Barat baru memperhatikan itu detik ini.
Kini, Nirwana sudah berendam. Mengusir gugup dan degup grogi demi mempertahankan harga diri, padahal itu karena gengsi. Dia duduk di depan Barat, alias berseberangan, saling berhadapan. Kaki Nirwana ditekuk, jujur dia takut bila kakinya selonjoran nanti ... oke, cukup!
Yang Barat pandangi. "Kita beneran mandi bareng," katanya.
Wana senyum sebelah bibir. Sok cool, sok kalem. Aslinya, jantung amat ketar-ketir! Well, Wana raih sabun yang kelak dapat membuat air dalam bak ini penuh busa. Lagi pula, tanpa busa ini terlalu transparan. Hei! Mata Wana gemas ingin jelalatan ke area--
Barat senyum juga, sama sebelah bibir. "Kamu lihat apa?"
Langsung melengos detik itu. "Nggak tahu, nggak jelas."
Ada sesuatu di dalam air yang ... lirikan mata Nirwana ke arah lain membuat tatapannya berjumpa dengan sehelai kain intim kepunyaan lelaki teronggok di gantungan lain, ada dua kastok di sini. Oh my God! Jadi yang tadi dia lihat di dalam air itu adalah--ah, yang benar saja?!
Cepat-cepat Wana buat air dalam bak tertutup busa. Jantungnya semakin berulah, lebih parah. Gi-gila! Dia bisa gila. Ahshsjajakshskak!
Barat pun pejamkan matanya, menikmati rasa hangat dari air, juga ketenangan yang ada.
Well, area bahu dan aurora Barat terpampang nyata! Tepat di depan mata Nirwana pula, mau tak mau di setiap dia menatap Barat, ya, larinya ke arah sana. Tahu? Sisi lengan Barat mantap betul ototnya, alot, Wana jadi membayangkan apa kabar yang di area bawah tadi dia lihat samar di atas air ini.
ASTAGFIRULLAH!
Pipi Nirwana merah padam di sana.
"Kenapa nggak dibuka?"
Tiba-tiba, suara Barat keluar di saat Nirwana belum siap mendengar. Aduh, otaknya dekil in the kumal saat ini. Entah kenapa suara Barat terkesan seperti sedang mengajaknya berumah tangga. Eh, bukan. Lebih tepatnya mengajak ... you know what I mean?
"Apanya yang dibuka?" Nirwana akting sesantai mungkin, sebisa-bisa.
Mereka bertatapan.
"Pakaian kamu."
"Udah."
"Itu yang hitam-hitam?"
Wana kontan menyentuh tali branya. Ehm. Dia menyeringai. "Oh, kamu pengin lihat isinya?"
By the way ... ini obrolan macam apa?
Barat cipratkan air ke arah Nirwana. "Mandi, kan, memang harus dibuka semua. Soal yang kamu bilang, itu bonus saya. Coba saja perlihatkan."
A-anjir?
Wana membeku.
Sebentar.
Alisnya menukik detik itu.
"Kalau nggak juga, ya, nggak pa-pa." Seraya berdiri.
Kyaaa!
Tentu saja, suara siapa itu kalau bukan lengkingannya Nirwana Lintang Semesta? Dia auto tutup muka, tutup mata, tetapi mulut terbuka. Sekali lagi ....
Gi-gila!
Jantung Wana kebat-kebit tak elok.
A-apa itu tadi?
Sedangkan, Barat menoleh. Begitu santainya dia berdiri, tak peduli bila tubuh tak ditutupi, di depan istri. Yang lalu melenggang menuju shower di sana seraya bilang, "Jangan nengok kalau nggak siap." Seiring dengan suara gemercik air dari shower yang memeriahkan suasana dalam kamar mandi itu, Barat menatap Nirwana dari arah sini, dari belakang.
Wana turunkan tangan, syok dia, kaku terdiam. Oh, Wana bergeming bukan karena mendengarkan ucapan Barat barusan, bukan karena tidak siap atau siap, tetapi masih syok berat. Perihal apa yang dia lihat, perihal Barat yang tidak ada malu-malunya, juga perihal diri sendiri yang malu sangat!
Di sana hanya terdengar suara air jatuh dari Barat yang sepertinya sedang basuh badan, mandi betulan. Sementara Nirwana, dia apik diam di dalam bathub penuh busa. Menikmati debar dan detakan jantungnya, di sini ... kencang sekali. Di dadanya.
Nirwana selonjorkan kaki, Barat entah sedang apa di belakangnya. Suara air sudah tidak terdengar lagi. Yang mana dari sana, Barat pandangi. Punggung, tengkuk, pundak, dan area tubuh bagian belakang Nirwana yang dapat Barat lihat.
"Saya selesai. Kamu jangan lama-lama berendam."
Fix, bulu kuduk Wana auto meremang.
Padahal, kan, ya, cuma gitu doang!
ARGH!
Barat pun sudah melenggang.
***
"Ada sesuatu di leher Wana, Bu?"
Eh, iya. Ini sudah malam. Sengaja Nirwana skip kejadian setelah MABAR dengan Barat. Eum ... mandi bareng. Catat!
Kini mereka sedang makan malam, ada Bi Sum juga yang selalu diajak gabung. Ketika Nirwana berkata tadi, semua atensi otomatis terarah padanya di sini. Tepatnya, kepada leher Nirwana.
Ibu Barat mencebik. Tak menjawab.
Wana pun usap-usap leher yang sedari tadi memang betul ditatap oleh ibu mertua, terasa tajam menusuk, Wana sampai merinding. Memang ada apa di sana? Di lehernya.
"Nggak ada apa-apa, kan, Bi?" Ganti, Wana alih bertanya kepada Bi Sum yang memang duduk di sebelah ibu, artinya berhadapan dengan Nirwana.
Bi Sum pun geleng-geleng kepala. "Nggak ada, kok, Mbak. Bersih!"
Lantas, Nirwana menoleh kepada Barat.
"Nggak ada apa-apa," celetuk Barat, seakan paham bila Nirwana sebetulnya bertanya walau tanpa kata.
Ya, tapi kenapa ibu Barat memandang lehernya setajam tadi? Nirwana pun mengedikkan bahu, lalu memilih kembali fokus pada makanannya.
Mereka khidmat melahap hidangan di meja. Apik betul, tak ada suara selain denting sendok dan piring beradu.
Well ....
"Gimana hari ini, Bu? Betah di rumah aja atau pengin jalan-jalan?" Nirwana memulai obrolan, teruntuk ibu mertua.
Ditatapnya seraut wajah Nirwana oleh ibu Barat di sana. "Betah nggak betah, Baratnya di sini, eh ... Yuminya di sana." Agak pelan di kalimat terakhir.
Yumi terooos!
Nirwana geram, tetapi tetap dia senyumi.
Yang mana di bawah meja, tangan Barat menggenggamnya. Nirwana auto terkesiap walau samar. Perihal mandi bareng masih membawa efek besar pada dirinya bilamana bersentuh atau bersitatap dengan Barat Dhanandjaya.
"Hari Minggu Wana libur, gimana kalau kita jalan-jalan?"
"Apa nggak lebih baik dipakai buat kamu belajar jadi istri yang baik dan benar aja dulu, ya? Masak, kek," balas ibu.
Wana senyum lagi. Palsu, by the way. "Ibu yang ngajarin? Wana mau kalo gitu."
Nah, tuh ... bagaimana?
"Ya sudah."
Oh, mau ternyata.
Wana meneguk air minumnya di meja. Fuckkk!
Menyebalkan sekali ini ibu-ibu satu. Memangnya, sekrusial apa, sih, bisa masak itu? Toh, yang penting, kan, punya banyak uang, karier mumpuni, mempekerjakan ART, beres!
"Ngomong-ngomong, gimana soal lamaran kamu tadi, Bar? Diterima?"
"Lamaran?" Wana auto nyeletuk. Menatap ibu dan Barat secara bergantian.
Bi Sum pamit undur diri, dia sudah selesai makan.
"Belum Barat cek lagi, toh baru dikirim siang ini CV-nya," jawab Barat, lalu menatap Nirwana. "Mas mulai lamar-lamar kerja."
Ow, ow, ow ....
Nirwana ber-oh ria.
Yeah ... di depan ibu sebutnya kudu mesra. Mas. Bukan saya. Barat senyum kepada Nirwana.
"Ngelamar di mana aja?" Istri Barat itu bertanya.
"Salah satunya di Semesta Media, atas rekomendasi abang kamu. Oh, ya, Mas belum cerita kalau Bang Langit sempat ngehubungin Mas, ya?"
Eh, mereka malah asyik ngobrol berdua.
Betul-betul keki ibu Barat duduk di tempatnya.
"Nanti kalau kamu keterima kerja, coba rekomendasiin Ayumi juga."
What?
Tunggu!
Nirwana menoleh.
Kata ibu, "Dia, kan, udah nggak jagain Ibu lagi. Bisalah, Yumi orangnya apik, kok. Selain pandai merawat orang tua, pinter masak, urus keperluan rumah tangga, dia juga berbakat dan cerdas. Jadi, ...."
Nirwana mengetatkan geraham. Blur selebihnya ucapan ibu Barat perihal Ayumi.
Asli, menyebalkan!
"Nanti Barat usahakan, tapi sekarang aja, kan, Barat masih pengangguran." Tak pernah tidak tersenyum dia kalau bicara dengan ibunya.
Nirwana makin tertekan duduk di sana. Entah, deh. Kesal gitu bawaannya, apalagi saat mendengar jawaban Barat. Usahakan? Buat Ayumi?
Ah, dia mengelus lengan Barat di sebelahnya meminta perhatian, auto semua mata alih memandangnya. Kata Nirwana, "Gimana kalau aku aja yang rekomendasiin Ayumi ke Jaya Group?"
Sontak raut ibu mertua Wana kecut detik itu. Pun, tajam sorotan matanya kepada sang menantu.
"Selagi memang dia mumpuni, berbakat dan cerdas seperti yang Ibu bilang, Jaya Group pasti bisa mempertimbangkan Ayumi. Gimana? Aku bisa konsultasikan ke bagian HRD-nya nanti, ya, walau tetap Ayumi harus melewati serangkaian pelamaran sebagaimana pada umumnya. Jaya Group perusahaan yang--"
Ah ... basah!
Barat bahkan terkejut, tak ada yang menyangka bahwa di seberang meja itu ... ibu akan menyiramkan air kepada Nirwana.
"Ibu!" Menegur, tetapi lembut suaranya. Yang lalu alih kepada Nirwana.
Perempuan itu terhenyak dan diam sebab rasa kagetnya.
Wah ....
"Gelasnya licin," tukas ibu Barat yang sudah tidak lagi muda, lalu melenggang dan meninggalkan mereka.
Barat hendak mengejar ibunya, tetapi urung sebab Nirwana jauh lebih membutuhkannya. Gegas Barat raih wajah itu.
"Maaf."
Yang Nirwana tatap sorotan mata Barat.
"Jangan sebut Jaya Group di depan ibu ... nanti saya cerita." Sambil dia lap percik air dari ibu barusan ke wajah Nirwana. Ini sungguh sudah sangat keterlaluan. Namun, itu ibunya. Pun, ini istrinya. "Akan saya tegur ibu setelah kamu merasa lebih baik, ayo ... ke kamar dulu aja."
Dan ... ya, Nirwana syok sekali hingga dia tak bisa berkata-kata lagi.
Sebenarnya, dosa apa yang telah Jaya Group lakukan kepada ibu Barat sampai-sampai Nirwana pegawainya, sekaligus istri Barat, mendapat perlakuan seperti ini dari mertua?
Oh, di kamar itu ....
"Bajunya ... mau saya bantu gantikan?"