"Ibu kangen Ayumi?"
Eh, tiba-tiba. Di detik pintu kamar itu terbuka, Barat masuk dan ibu menatapnya. Tampak semringah saat barusan mendengar Barat menyebut nama mantu idamannya.
"Kangen. Kamu juga, hm?"
Bahkan ibu terlihat seperti sebelumnya tidak sudah melakukan hal yang membuat istri Barat terluka. Di sini, Barat duduk tepat di sebelah ibunya.
"Oke. Besok Barat antar Ibu pulang."
Mendengarnya, kening ibu mengernyit. Sangsi. Maksud dari Barat jangan-jangan ....
"Kalau Ibu memang masih terus mau memusuhi Nirwana, Ibu di Bandung dulu aja. Barat antar. Sebelumnya, bukan maksud mengusir, Barat cuma merasa begitu lebih baik. Sementara Ibu kalau masih nakalin Nirwana. Gimanapun, dia itu istri Barat, Bu. Dan Barat sayang sama Ibu." Digenggamnya tangan itu.
Yang ibu Barat tarik dan lepaskan, lalu melengos.
"Bu ...." Lembut sekali. Barat bilang, "Jangan karena Nirwana adalah orang berada, ditambah kerja di Jaya Group, terus Ibu jadi benci sama dia."
Seketika raut ibu kecut di situ.
"Nirwana bahkan nggak tahu apa-apa soal keluarga kita, Bu. Dia juga bukan bagian mereka terlepas dari jabatannya sebagai pegawai Jaya Group."
Eh, ibu berdiri. Menatap Barat. "Susah emang kalau udah dibutakan sama cinta!" gerutunya. "Terserah kamu aja! Awas, Ibu mau rapi-rapi biar besok bisa langsung pulang ke Bandung pagi-pagi."
Oh, marah ibunya.
Barat menghela napas samar. Bagaimana jika dia mengutarakan agar ibu meminta maaf kepada Nirwana? Wah ... bisa-bisa lebih dari ini kemarahan ibu. Pun, bukannya Barat tidak tegas, dia hanya sedang memerangi tingkah ibu dengan strateginya sendiri. Pelan saja, lembut juga, yang penting dia harus jadi orang paling depan yang ada untuk Nirwana.
Ibarat obat, bila Barat tidak bisa menjadi penyembuh atau vaksin untuk virus or penyakit--katakanlah ibu Barat--maka dia akan jadi bahan baku ketahanan imun untuk Nirwana. Dia tidak bisa mematikan orang tua, tetapi dia bisa menjadi daya tahan tubuh eksternal untuk istrinya. Ya, prinsip Barat. Setidaknya, untuk saat ini.
"Ya udah, selamat istirahat, Bu. Besok sarapan bareng, katanya Nirwana yang mau masakin sarapannya." Sambil beranjak dan menutup pintu, detik di mana ibu Barat menoleh.
Namun, sudah ditutup rapat pintu itu. Barat pun sudah berlalu menuju kamar Nirwana yang serba pink, tepat di hadapan pintu yang barusan dia keluar dari sana.
Terlihat sosok Nirwana yang sedang duduk di depan laptop, sibuk dia, tadi Barat sudah izin mau menemui ibu dan Nirwana tidak berkomentar apa-apa. Setelah mengganti piama basah hasil siram ibu, Nirwana menolak tawaran Barat untuk membantu, dengan pipi merah jambu. Namun, tidak Barat goda saat itu. Meski dalam benak, gemas ingin bilang: "Terngiang-ngiang mabar kita sore tadi, hm?"
"Besok nggak usah antar aku, biar aku bawa mobil sendiri. Kamu kalo ada perlu, pakai motor aja. Nggak masalah warnanya pink, kan?"
Motor Nirwana.
Barat tepat berdiri di belakang wanita itu. "Iya."
Nirwana tampaknya tidak mau membahas persoalan ibu, apalagi soal siraman di meja makan tadi. Namun, Barat merasa harus mengatakan, "Besok saya mau ke Bandung."
Gerakan jari Nirwana di keyboard auto menjeda.
"Antar ibu. Pulang."
Dan ... Nirwana menoleh, agaknya dia mendongak menatap Barat.
"Nanti saya balik lagi. Maaf mendadak. Soal ini, saya rasa sebaiknya begitu. Anggaplah gertakan saya buat ibu karena ...." Barat tak lanjutkan ucapannya, tetapi sorot mata itu lekat tertuju kepada Nirwana.
Yeah ....
"Oke. Hati-hati." Begitu saja, Nirwana tak mendebatnya. Dia pun kembali menghadap laptop, sibuk melihat toko online-nya, tiap malam Nirwana memang selalu menyempatkan untuk hal ini.
Mengecek, juga komunikasi intens dengan Ratih membahas perihal bisnis mereka.
Barat sudah biasa melihat kesibukan Nirwana. Sekarang saja wanita itu mulai berteleponan dengan Ratih, mencatat, lalu menghubungi kontak lain, dan bilang besok sore akan meluncur ke sana.
Pantas saja mau bawa mobil sendiri.
"Besok kamu mau pulang telat juga?" tanya Barat, saat Nirwana selesai dengan segala jenis komunikasi nirkabelnya. Pun, laptop itu sudah Nirwana kemas dan simpan.
"Iya." Nirwana beranjak menuju ranjang, dia lelah.
Barat melihat itu. Dia pun mengikuti, bertempat di sebelah Nirwana. Yang demikian itu, Barat rebah menghadapnya. Nirwana tidur telentang.
"Sudah mau tidur?" Lembut suara Barat, dia menatap tepat di mata Nirwana, yang saat itu terbuka dari sebelumnya yang sudah menutup.
Oh, Nirwana alih menghadap suami. Dia balas menatap Barat. Lekat. "Mau ngomong apa?"
Betul, inilah putrinya Alam Semesta. Di saat Barat merupakan orang yang penuh perhitungan, perencanaan, bahkan mau bicara saja mesti mikir mempertimbangkan, tetapi Nirwana tidak demikian. Dia bisa langsung menembak apa yang ingin diucapkan.
Tahu saja bila Barat ingin bicara.
"Soal ibu ... yang saya bilang di meja makan, Jaya Group. Tapi kalo kamu ngantuk--"
"Oh, iya. Ayo kasih tau!" Seraya mendekat, mempersiapkan diri untuk menyimak.
Dua lensa sebening telaga mereka bersua.
***
Katanya, Batara Dhanandjaya adalah anak tunggal yang mewarisi Jaya Group, di mana perusahaan itu sudah dibangun sejak zaman kakek Barat masih hidup.
"Ayah menikah sama ibu." Barat menerawang. Berdasarkan cerita ibunya. "Karena ibu bukan dari orang berada seperti ayah, ibu diperlakukan nggak baik sama mereka."
"Termasuk Pak Batara?"
Barat senyum. "Ya ... karena ayah nggak bisa membela ibu, secinta apa pun ayah sama ibu, ayah kalah sama keluarganya, Nirwana. Alhasil, ibu cuma bertahan hidup di keluarga itu sampai saya SD."
"Oh ... mereka cerai, terus hak asuh kamu jatuh ke ibu?"
"Lebih tepatnya, ibu maksa pergi dengan membawa saya dan melepaskan dua anaknya yang lain buat tinggal sama ayah."
Nirwana tidak merespons kali ini, dia hanya menatap Barat dengan khidmat.
"Saat itu ayah menolak gagasan ibu, ayah nggak mau cerai, ayah juga sampai mengancam kalau ibu maksa pergi, di situ ayah juga menahan saya. Semua anaknya. Nggak ada yang boleh sama ibu."
"Tapi nyatanya sekarang ada kamu yang sama ibu," ujar Nirwana, pelan.
"Iya, makanya itu. Satu dari sekian hal yang udah bikin ibu benci sama orang berada, ibu juga jadi semakin membenci ayah dan segala hal menyangkut beliau. Ibu selalu mewanti-wanti agar saya nggak terlibat, apalagi berurusan sama orang-orang yang punya wewenang lebih dari saya. Itu satu, ibu nggak suka kamu karena latar belakang kamu dan finansial diri kamu yang lebih tinggi dari saya, Nirwana."
Hell ....
Kening Nirwana mengernyit. "Nggak salahkah?" Ayolah ... Nirwana letakkan telapak tangannya di d**a Barat, bilang, "Kamu ini anak bungsunya pemilik Jaya Group periode kemarin dan merupakan adik dari penerus Jaya Group epissode sekarang, Barat. Jaya Group, kamu adalah bagiannya."
Jadi ... paham, kan, maksud Nirwana?
Barat tertawa. "Sejak saya ikut ibu, sejak ibu membawa saya, dan sejak saat itu saya meninggalkan ayah bersama segala hartanya, Nirwana. Saya bukan bagian mereka lagi."
"Nggak, ya. Darah lebih kental daripada air!" tukas Nirwana. "Eh, betewe ... selama kalian pisah itu, apa bener-bener udah putus, bahkan silaturahmi anak ke ibu juga nggak ada? Maksud aku, kakak kamu. Dan kamu ke Bapak Batara atau ke Mas Arsen, nggak pernah?"
Eh?
Tunggu.
Alis Barat bertaut. "Mas Arsen?"
Oh, iya ....
"Kakak kamu. Mas Arsen, kan?"
***
Satu hal yang pasti, hari ketika Nirwana mengenakan gaun pengantin, pun pria yang telah duduk di bangku akad, adalah mereka yang satu sama lain bahkan belum jauh mengenal.
Hari itu.
Nirwana duduk tepat di sebelah Barat, yang lalu menjabat tangan papinya, bertatapan tajam, padahal hendak melangsungkan prosesi janji suci pernikahan. Namun, yang sekilas Wana lihat ... begitulah sorotan mata papi dengan Barat, mereka seperti sedang ada komunikasi lain di tengah berlangsungnya ucapan ijab. Hingga akhirnya ....
"Saya terima nikah dan kawinnya Nirwana Lintang Semesta binti Alam Semesta dengan maskawin ...."
Oh, perut Nirwana seolah digelitik. Dia menahan senyum. Berdebar hebat dadanya, jantung yang pesta pora detakannya, beserta darah yang tidak biasa rasa desirannya. Pipi Nirwana merah jambu di balik make up pengantinnya hari itu.
Tahu, kan?
Dia menyukai Barat.
Entah bagaimana dengan laki-laki itu.
Namun, terucapnya kata sah dari para saksi, hingga Nirwana merasa tak ada sisa perasaannya lagi kepada sosok Topan yang juga hadir di sana. Nirwana lantas meraih tangan Barat di selepas doa selesai ijab, lalu dia diminta untuk mencium tangan laki-laki ini, menundukkan kepala, yang setelahnya dibalas ciuman di kening. Namun, di hari pernikahan itu ... Nirwana rasa Barat tidak benar-benar mencium keningnya. Hingga first kiss yang Nirwana nobatkan antara dia dengan Barat adalah saat pagi pertama mereka di setelah menikah pada hari itu.
"Selamat, ya, Wana ...."
Dan, itu Topan. Tampak kacau datang ke pernikahan Nirwana, yang pasti sebab istri Topan masih entah di mana. Wana yakin itu.
Dia suguhkan senyum terbaiknya, senyum paling tulus dari Nirwana sebagai tante di sana.
"Makasih udah datang, Mpan."
Yang mana mereka berjabat tangan. Oh, betul. Satu hal yang pasti, Nirwana tidak melihat bagaimana raut Barat saat itu.
Persis, seperti saat ini.
"Maksud aku, Pak Arsen. Aku kalo sebut dia emang bapak, sih. Cuma kalo di depan adeknya ...." Tak berlanjut, tetapi senyum Nirwana tersungging berupa seringai. "Cemburu?"
Barat.
Dia balas dengan berkata, "Memangnya bisa cemburu walau belum cinta?"
Oh, oke. Fix. Nirwana mau tidur saja!
Bye.
***
Esok hari, ibu Barat sudah bangun ternyata di saat semua orang dalam rumah Nirwana belum ada yang terjaga, bahkan Barat baru terlelap di detik-detik menjelang subuh. Nirwana tidak peduli.
Dia kini ada di dapur dan memang berencana untuk masak hari itu. Ya, Nirwana mau masak setelah semalam dia disiram oleh ibu Barat yang terhormat.
"Wana denger, Ibu mau pulang hari ini? Kebetulan, Wana niat mau masakin sarapan buat sekarang." Sambil mengikat rambut panjangnya, menggelung lebih tepatnya. Cepol.
"Bagus, deh. Mari kita lihat, bisa menggusur cita rasa masakannya--"
Berhenti, Barat keluar kamar. Ibu langsung mingkem. Duduk dalam diam.
Padahal tadi mau bilang Ayumi, kan? Nirwana senyum segaris.
"Kok, udah bangun, Mas?" Teruntuk Barat.
Yang di-notice agaknya terkesiap, apalagi semalam itu, kan--
"Sengaja nggak aku bangunin ... Masnya, kan, abis begadang." Sambil mulai melihat isi kulkas. Masak apa, ya?
Barat berdeham. Apa Nirwana tahu bila dia tidak bisa tidur sepanjang malam?
Ibu Barat melengos. "Rajin, ya, kalian? Tapi mana hasilnya, kok, nggak positif-positif?"
Eh?
Paham?
Nirwana tersentak.
Barat bilang, "Kan, nikahnya juga baru, Bu." Sambil menghampiri Nirwana. "Mau masak apa?" Mengambil botol air dari kulkas yang mana ada Nirwana di sana.
"Omlete."
"Lha ... telur dadar?"
Itu ibu Barat.
Nirwana sudah beranjak dengan beberapa telur dan sayuran di tangan. Menjauh dari Barat yang sejatinya sedang minum di dekat kulkas.
Well ... teringat obrolan semalam, apa cuma Barat yang terngiang-ngiang? Harusnya dia nggak bilang gitu, ya? Atau itu sudah tepat? Berhubung Barat belum ingin Nirwana tahu bagaimana perasaannya yang sudah muncul untuk gadis itu, bahkan di sebelum Barat yakin bila dia boleh setertarik ini kepada putrinya Alam Semesta--majikan Barat.
Dia menatap Nirwana.
"Suka, kan, Bu? Lagi pula, masih pagi masaknya yang simpel-simpel aja. Betul, Bi Sum?"
Kali ini melibatkan ART-nya yang memang sedari tadi ada di sekitar mereka, sedang menyapu. "Iya, Mbak. Betul."
"Astagfirullah!"
Kaget, Ya Allah! Nirwana terlonjak, tetapi itu tadi bukan suaranya, melainkan ibu Barat di detik Nirwana mulai mencoba memecahkan telurnya.
Barat lantas mendekat.
Oh, pecah telur itu. Namun, tepat di lantai. Nirwana kelepasan. Mulanya karena terkesiap oleh celetukan ibu mertua yang agak mengagetkan, saat dia sedang memecahkan telur dengan super slay. Ngerti? Nirwana khawatir kukunya terkena telur mentah itu, agak jijik dia--jujurly, bau amis nanti. Makanya, metode memecahkan telur pun membuat ibu Barat geram di tempat.
"Mecahin telur aja nggak becus, ya? Becusnya apa? Nguleni telur Barat, hm?"
Nirwana auto mangap, Barat menoleh kepada ibunya, lalu Nirwana mingkem lagi dan bergeser saat ibu membersihkan pecahan telur perbuatan Nirwana di lantai dapur.
A-aduh ....
"Masa kayak gini aja mesti diajarin dulu?"
Bi Sum tergopoh mendekat. "Anu, Bu ...." Sebetulnya sudah kenal dengan ibu Barat. Kan, saudara jauh. Hanya tidak begitu dekat saja, jadi sungkan juga, terlebih di kediaman Nirwana--bu bosnya. Awal ibu Barat datang ke sini pun tak perlu adegan perkenalan, tetapi tampaknya itu adalah formalitas, yang memang Nirwana tidak tahu hubungan kekerabatan mereka. Mas Barat belum cerita, pikir Bi Sum. "Biar saya aja yang bersihkan."
Perihal pecahan telur di lantai.
Heboh pagi itu.
Nirwana melipir ke sudut lain dapur. "Itu karena grogi diliatin Ibu," alibinya kemudian, saat ibu Barat kembali menatapnya.
Eh, sinis betul delikan mata ibu-ibu itu.
Hari ini, yang Nirwana putuskan semalam, dia akan melawan ibu mertuanya dengan elegan, yakni masak sarapan, tetap tersenyum walau semalam habis disiram, siapa tahu tecermin rasa bersalah di seraut wajah ibu Barat. Namun, sepertinya Nirwana salah strategi, ya?
"Nirwana, sini." Barat mengambil alih atensi seluruh mata memandang. "Udah Mas pecahin telurnya, itu tinggal kamu tadi mau diapain? Ayo, lanjutin yang tadi."
Masak.
Barat sodorkan mangkuk berisi telur yang sudah dia pecahkan. Nirwana melirik ibu Barat sejenak, lalu berdeham, kemudian meraih mangkuk itu.
"Ibu duduk manis aja, ya, di sana? Biar Barat sama Nirwana nggak gugup masaknya diperhatiin Ibu. Ya?"
Begitulah ....
Berat nimbrung di sana.
Yang mana obrolan semalam ... okelah kalau tidak cemburu, tetapi sikap Barat yang Nirwana rasakan pagi ini ... apa, ya?
"Maafin ibu," bisik Barat, tepat di dekat telinga Nirwana sampai orangnya terkesiap. "Nanti saya tegur lagi."
Nirwana auto usap-usap telinga. Geli, tahu!
Yang tidak lepas dari sorotan mata ibunda Barat tercinta, dia menatap Barat dan Nirwana di dapur sana ... serupa dirinya dengan Batara Dhanandjaya.
Dulu.
Ah, nggak!
Dirinya tidak begitu.
Tidak seperti Nirwana yang mana di sana berjinjit dan lalu mengecup pipi Barat.
Eh?
Barat terkesiap.
Saat di mana Nirwana pelan berucap, "Memangnya bisa belum cinta walau udah bersikap sedemikian ini sama istrinya?"
Ya, satu hal yang pasti. Ibu Barat tidak mendengarnya, tetapi melengos di sana. Ada semu tak kasatmata di seraut wajah Barat Dhanandjaya.