Caleb bahkan tak menjauhkan wajahnya dari wajah Amelia yang baru saja berteriak kencang. Bahkan dia juga mengabaikan kenyataan bahwa percikan ludah Amelia mendarat di wajahnya.
"Kau benar-benar jago berteriak." Caleb berbisik sambil meraup wajah Amelia gemas.
Amelia mengerjap.
"Dan kau...selain mengerikan, kau juga sinting!"
Amelia beranjak dari sofa. Mulai berjalan mondar-mandir di hadapan Caleb sambil menautkan tangan karena gelisah. Bahkan dia juga bersin, hal itu membuat Caleb menahan tawa. Amelia berhenti di samping meja. Tepat di hadapan Caleb yang masih duduk di sofa sambil mengusap dagunya. Amelia merunduk.
"See...dadaku kecil. Tidak montok. Apa kau tidak mau berpikir ulang?"
Caleb tertawa jengah. Menatap belahan d**a Amelia yang terpapar di hadapannya karena gadis itu merunduk. Sebelah alis Caleb naik. Memberi penilaian pada pemandangan di hadapannya.
"Nope." Caleb menggeleng.
Amelia kembali berjalan.
"Aku ceroboh. Bukan gadis kaya. Aku...tidak mencintaimu." Amelia masih berusaha meyakinkan Caleb bahwa dia bukan pilihan yang tepat.
"Aku sangat rapi. Sedikit ceroboh sepertinya menarik. Aku sangat kaya, jadi aku tidak butuh gadis kaya. Dan kau mencintaiku." Caleb berkeras.
"Haaaah...." Amelia mendelik pada Caleb dengan kesal.
Caleb menahan tawanya. Amelia terlihat lucu kalau sedang kesal seperti itu.
"Siapa kau?" Amelia berdiri di hadapan Caleb sambil menyilangkan tangan di dadanya.
"Oh astaga. Apa kau tidak pernah membuka internet? Cari berita tentangku dan namaku ada di daftar teratas mesin pencarian."
Amelia mendelik.
"Kau sombong sekali."
Caleb tertawa.
"Bukan. Aku hanya memberimu sebuah fakta tak terbantah."
"Aaah ya..." Amelia berbicara pelan. Bahunya luruh. Lalu tanpa aba-aba dia berlutut di depan meja. Menatap Caleb dengan pandangan memohon.
Caleb menggeleng.
"Kita akan ke New York seminggu lagi. Jangan membantah."
Hening mencekam...dua pasang mata itu saling bertatapan, dengan dua maksud berbeda. Caleb yang menatap Amelia dengan senyum jahil. Dan Amelia yang menatap Caleb dengan pandangan kesal.
"Aaaaaaaaaaa...Big No! Aku tidak mau menikah denganmu!"
Tawa Caleb meledak dan dia beranjak menghampiri Amelia. Perlahan dia mendekatkan bibirnya ke bibir Amelia.
"Kita ke New York, seminggu lagi." Caleb menggigit cuping telinga kecil milik Amelia dan melangkah keluar setelahnya. Amelia beranjak dan mengitari meja. Duduk di sofa dan menggigit kukunya gelisah. Dia mengusap cuping telinganya sesaat. Dia mulai berpikir untuk kabur dari rumah ini. Tapi ke mana? Dia bahkan tidak berani pulang ke kamar kostnya yang butut itu. Dia tidak ingin bertemu Johan lagi. Dia lelah...
---------------------------------
Tiga hari menjelang keberangkatan. Amelia masih sibuk membujuk Caleb. Mengatakan keburukannya. Membeberkan semua aib dirinya dengan harapan Caleb akan jijik padanya dan membatalkan keinginannya. Namun Amelia harus berulang kali berakhir dengan teriakan nyaringnya di hadapan Caleb. Dan Caleb tak mengindahkannya.
Akhirnya Amelia lelah membujuk. Lelah merajuk. Seperti malam ini ketika Caleb baru saja pulang dari kantornya. Amelia terdiam di kamar. Tak berminat turun untuk sekedar makan malam. Rumah terlihat sunyi saat Caleb menyusuri tangga dan berdiri termangu di depan pintu kamarnya, lalu mendorong pintunya pelan. Kamar terlihat gelap gulita.
Caleb menghela napasnya pelan. Menatap seonggok tubuh...
Amelia terlihat duduk di ranjang dengan memeluk kedua lututnya. Ranjang yang melesak tak membuat Amelia bergeming. Mereka akhirnya hanya berdiam diri.
"Baiklah Amelia. Aku mengerti kau tentu kaget dengan semua ini. Tapi bisakah aku meminta satu hal padamu?"
Amelia mendongak. Menyalakan lampu tidur yang hanya memancarkan cahaya remang.
Untuk 500 juta yang sudah Caleb keluarkan untuk melunasi hutang Ayahnya? Caleb tentu saja boleh meminta apa pun. Kecuali tubuhnya dan...menikah.
"Berikan aku kesempatan untuk menyakinkan hatiku, Amelia. Bahwa apa yang dikatakan hatiku tentangmu itu benar. Dan...kalaupun nanti semua itu salah, kau boleh pergi tanpa harus memikirkan uang itu."
Yang benar saja? Lima ratus juta?
Amelia termangu saat Caleb beranjak.
"Seharusnya kau lebih sering menciumku agar aku tahu kau Alphaku atau bukan. Aku ini gadis bebal yang tidak akan peka hanya dengan sebuah ucapan."
Caleb berhenti melangkah. Tersenyum geli dan berbalik menghampiri Amelia. Gadis itu terlihat menunduk.
"Kenapa tidak kau saja yang mulai menciumku dulu?"
"Aku wanita...kau ini bodoh atau apa?"
Caleb tertawa alih-alih marah Amelia mengatai dirinya bodoh.
"Pola pikir kita juga pasti tidak sama. Memang...Ayahku dari Amerika. Tapi Ibuku orang sini asli. Dan aku tumbuh di sini. Apa yang bisa aku harapkan. Aku tidak berharap aku akan pandai mengekspresikan diri." Suara Amelia terdengar semakin lirih.
Caleb terdiam. Ini adalah pembicaraan terpanjang mereka tanpa Amelia buru-buru berteriak di depan wajahnya. Dan topik kali ini sangat menarik.
"Well...dua tahun cukup untukku. Untuk tahu bagaimana pola pikir gadis Indonesia. Maksudku secara garis besar."
"Dan kau mengetahui juga bagian paling krusial dari semua bentuk pola pikir kami?"
Caleb mengangguk dalam remang cahaya.
"Jadi, apakah...ini seandainya...kita memang Alpha dan Luna...apakah kita...maksudku...kau...tidak akan meniduriku sebelum kita menikah?"
Amelia menutup mulutnya saat Caleb menoleh menatapnya.
"Hmm...karenanya aku mengajakmu menikah. Kau tahu...hal seperti itu...tentang tidak meniduri dalam artian sesungguhnya...adalah hal yang sulit di janjikan oleh kami para pria."
"Haaaah..." Amelia melongo dan menatap Caleb tak percaya. Ini...benar-benar situasi yang mencekam. Dia akan selalu khawatir akan satu hal itu. Tentang...tidur...meniduri...
Amelia bersinggungan dengan dunia malam hampir setiap hari. Tiga puluh hari dalam sebulan. Dan tubuhnya...sudah tidak...begitu bersih dari jamahan para pria b******k.
Amelia menerawang. Bergidik ngeri mengingat jamahan p****************g yang pernah meremas bokongnya. Menciumnya paksa. Bahkan ada yang pernah meremas payudaranya secara brutal. Namun satu hal yang harus digaris bawahi di sini adalah...Amelia tidak menginginkan semua itu.
"Tidurlah. Sudah larut. Kita bicara lagi besok."
Caleb beranjak lagi dan melangkah menuju pintu. Membukanya pelan lalu melangkah keluar. Caleb menuju dapur dan duduk di meja makan setelah menyalakan lampu dapur. Membuka tudung saji, Caleb tak menemukan apa pun di sana.
"Aku tidak bisa memasak. Apakah itu cukup untuk membuatmu mengurungkan niatmu?"
Caleb menoleh. Mendapati Amelia berdiri di sampingnya. Seketika Caleb menggeleng.
"Aku cukup pandai memasak apalagi kalau dalam keadaan terdesak. Jadi itu tak cukup kuat menjadi alasan."
Caleb beranjak.
"Dan aku lapar." Suara Amelia mencicit.
Caleb yang hendak membuka lemari pendingin menoleh dan menatap Amelia tak percaya.
"Kenapa kau tak pesan antar?"
"Aku...tidak punya uang sepeser pun."
"Ya Tuhan..." Caleb melangkah ke arah Amelia dan menarik pinggangnya. Membawanya masuk ke dalam pelukannya.
Amelia terkesiap.
"Tubuhmu ini ada listriknya atau apa? Kenapa aku rasanya seperti tersengat aliran listrik tapi aku tak mati?"
Caleb tertawa. Melepaskan pelukannya dan membawa Amelia duduk di kursi makan.
"Karena aku Alphamu. Duduklah. Aku akan memasak sesuatu untukmu."
Amelia mendengus pelan. Ide tentang Alpha dan Luna itu sangat menggelitik hatinya. n****+ dengan tema warewolf dan vampire memang selalu menjadi favoritnya. Dan sepertinya, takdirnya harus bersinggungan dengan manusia seperti Caleb yang juga mempercayai hal seperti itu.
Mata Amelia memicing. Memperhatikan punggung bidang Caleb yang tengah sibuk di dapur. Caleb sudah menggulung lengan kemeja putihnya. Caleb terlihat sibuk bergerak mengolah bahan makanan yang diambilnya dari lemari pendingin.
Tiga puluh menit kemudian, dua piring nasi goreng ayam lengkap dengan telur mata sapi tersaji di meja makan.
Amelia menelan air liurnya ketika menatap makanan di atas meja makan dan tindakan Amelia membuat Caleb tersenyum. Gadis ini terlihat sekali suka makan dan dia tak percaya bahwa Amelia tak bilang padanya kalau dia tak bisa memasak dan tak mempunyai uang sepeser pun.
"Makanlah." Caleb juga meletakkan segelas air putih ke hadapan Amelia.
Amelia menyuapkan nasi gorengnya pelan. Matanya mengerjap. Tak berlebihan kalau Caleb bilang dia bisa memasak. Nasi goreng ini rasanya enak sekali. Caleb tersenyum. Dalam hati...entah mengapa dia berjanji akan membuat Amelia memakan masakannya seumur hidupnya. Tak peduli sesibuk apa pun dia nantinya.
Makan malam yang sangat larut itu berakhir dengan Amelia yang tersenyum.
"Kau sudah kenyang?"
"Lihatlah. Piringku bersih. Aku kenyang sekali."
Caleb tertawa pelan. Tak di ragukan lagi, Amelia suka makan. Piringnya sangat bersih saat gadis itu mengangkatnya ke dapur.
Terdengar suara air mengucur dan beberapa saat kemudian Amelia terdengar mencuci piring.
Amelia kembali menghempaskan tubuhnya di kursi setelah beberapa menit kemudian.
Caleb mendorong sebuah kartu berwarna gold ke hadapan Amelia.
"Pakailah untuk kebutuhanmu. Kita tetap akan pergi New York akhir pekan nanti. Aku harap kau mengerti."
"Apalagi yang bisa aku lakukan setelah 500 juta itu?"
Caleb menatap Amelia tajam.
"Aku tidak sedang ingin membelimu, Amelia."
Amelia terdiam. Sulit sekali untuk tidak bersikap sinis sekarang ini. Tapi Amelia sadar, dia tidak berniat menunjukkan sinisme itu pada Caleb. Dia hanya meratapi nasibnya yang miris.
"Maaf." Amelia menatap Caleb yang ternyata juga tengah menatapnya.
Tatapan Caleb berubah menjadi redup. Matanya menangkap raut lelah di wajah Amelia.
"Tidak seorang pun menerima kehadiranku, Caleb. Hanya kedua orangtuaku. Dan mereka sudah meninggal. Keluarga Ibuku bahkan menolakku. Dan...aku tidak pernah tahu keluarga Ayahku. Aku anak tunggal, dan aku benar -benar sendiri."
Caleb menghela napasnya pelan.
"Aku...seumur hidup tak pernah melihat uang dalam jumlah besar. Dan nominal 500 juta itu membuatku kaget." Amelia tertawa miris.
"Bagian mana di rumah ini yang paling kau sukai?"
Amelia menatap Caleb tak mengerti.
"Aku menyukai kamarmu. Besar dan bersih."
Caleb berdiri. Meraih tangan Amelia dan menuntunnya pelan menuju kamarnya.
"Tidurlah. Aku akan tidur di sofa."
Amelia merebahkan tubuhnya dengan heran. Melirik ke arah Caleb yang berjalan menuju sofa di dekat jendela kamarnya. Caleb duduk bersandar. Menatap Amelia yang kebingungan.
"Karena kau Lunaku. Bahkan tubuhmu cepat beradaptasi dengan suhu kamarku."
Amelia tersenyum simpul. Entah harus menanggapi semuanya dengan sikap seperti apa. Mata Amelia mengerjap, menatap Caleb yang masih menatapnya.
"Apa kau pernah bercinta sebelumnya?"
Suara Amelia mencicit. Dan Caleb memilih merebahkan tubuhnya dan menutup wajahnya dengan bantal sofa. Masih terdengar Amelia berdeham serak.
Pembicaraan tentang bercinta sepertinya bukan topik yang bagus...
--------------------------------------
P