7. Kebaikan Ahimsa

1083 Kata
"Eh, kamu enggak sedang mau jadi janda kan?" Aku mematung dengan mencoba tersenyum sekuat mungkin. "Eh, Pak Himsa ada di sini?" tanyaku padanya. Dia terdiam untuk beberapa saat. Seolah sedang meneliti wajahku. "Saya minta maaf, kalau kalimat saya barusan enggak sopan." ucapnya terdengar begitu menyesal. "Ah, tidak apa apa, Pak. Apa yang Pak Himsa katakan emang bener. Saya sedang menuju ke sana." "Maaf, nih. Tapi kenapa ya? Katar masih sangat kecil." "Ada lah, Pak. Kalau gitu, saya permisi ya Pak. Saya akan segera melakukan sidang." "Kalian langsung sidang. Enggak mediasi dulu?" "Kayanya enggak Pak. Saya sudah enggak bisa." Terlihat Pak Himsa mengangguk pelan. "Saya mendoakan yang terbaik untuk kamu. Maaf kalau saya malah bicara asal barusan. Saya hanya berpikir kalau kita ini sudah kenal dekat. Jadi saya hanya bercanda barusan." Lelaki yang baik, memang akan berbicara dengan hati hati berusaha sebaik mungkin agar tidak menyakiti hati orang lain. Aku yakin sekali, perempuan mana pun akan sangat beruntung mendapatkan Pak Himsa. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." "Iya, hati hati." Aku pun tersenyum seraya pergi menuju ke ruangan sidang. Yang ternyata di sana ada perempuan cantik yang duduk di samping mamah mertua. "Fajar akan sangat berundung menikah sama perempuan cantik dan mandiri seperti kamu, Nak Indira." Jadi itu perempuan yang bernama Indira itu. Pantas aja Mas Fajar tergila gila padanya. Selain cantik, dia juga pinter cari uang. Ah, lelaki mana yang tidak tergoda olehnya. Mas Fajar bahkan lupa pada kedua anaknya. Kulihat Katar menatap padaku, dia sepertinya haus. Beruntung aku sudah memompa banyak ASI untuknya. Sehingga aku tidak perlu menyusuinya di sini. Kasihan sekali kamu Nak, diusia baru tiga bulan. Masih lucu lucunya, kamu harus ditinggalkan Ayahmu. Ku kecup keningnya dengan penuh sayang. "Mamah ada di sini untukmu." bisiku. Setelah persidangan selesai. Aku dan Mamah juga Ayah tiriku berada di luar, menunggu pesanan taksi kami datang. Lalu tiba tiba mertua, mas Fajar dan perempuan itu datang mendekat. "Kamu jangan cari anak saya lagi! karena kalian sudah tidak memiliki hubungan apa apa lagi!" Ujar mertua tanpa adanya basa basi perpisahan. Fajar hanya diam, menatapku datar. Dan perempuan itu tersenyum kecil bergelayut manja pada lengannya Mas Fajar. Seolah ingin memperlihatkan kalau lelaki itu kini sudah menjadi miliknya. "Kalau lelaki yang tahu diri! dia tidak perlu dicari pun akan datang untuk memenuhi tanggung jawab pada kedua anaknya!" sindir Mamahku. "Bukannya perceraian ini yang mau adalah anak situ! ya karena anak situ yang mau cerai. Ya semuanya tanggung sendiri lah!" Aku sungguh heran dengan kalimat mamah mertuaku ini. "Anak saya tentu saja bisa menanggung kedua anaknya. Secara saya tahu anak saya itu pekerja keras. Hanya saja! anak anda kalau tidak mau terlibat sama sekali dengan kedua anaknya. Berarti dia bukan seorang laki laki!" ujar Mamah pedas. "Oh, anda salah. Anak saya seorang lelaki yang sangat pintar. Makanya dia mau meninggalkan anak situ yang enggak ada gunanya! dan memilih gadis cantik ini, karena dia lebih sukses, anak kuliahan dan cantik tentunya. Sedangkan anak anda ini, hanya anak tamatan SMA yang bahkan ijazahnya hanya bisa digunakan untuk menjadi seorang buruh pabrik saja!" Iya, aku hanya tamat SMA karena Mas Fajar ingin menikahi aku. Aku bahkan melupakan cita citaku, demi agar bisa menikah dengannya. "Sudah, Mah. Ayo!" Mas Fajar mengajak Mamah nya untuk pergi. Namun mereka tidak jadi pergi, kalau Pak Ahimsa datang dengan dua paper bag yang entah apa isinya. "Jani, saya beliin keperluan Katar dan Andi. Maaf, saya enggak ngikutin sidang kamu tadi." Aku termenung. Kenapa Pak Himsa datang lagi. Dan kenapa ia berkata seolah ..., ah entahlah. "Wah! ini siapa? selingkuhannya?" kata mamah mertua menatap dengan senyuman remeh pada Himsa. Pak Himsa tersenyum ramah. "Ah, bukan, Bu. Saya Editornya Jani. Kami sudah bekerja sama selama dua tahun ini. Dia adalah penulis terhebat yang ada di perusahaan kami. Dan saya hanya sedikit ingin memberikan sesuatu pada kedua anaknya." jawab Pak Himsa. "Oh, begitu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kamu jangan sampai tergoda oleh wanita ini. Dia bukan wanita baik baik!" Aku ternganga. Apa maksud dari mertuaku itu coba. Mamah berjalan mendekat ke arah mamah mertuaku. "Heh! badut! sudah gendut jelek lagi! Kamu tahu tidak! yang tidak baik itu siapa? ya anak situ lah! sudah tidak menafkahi! Malah selingkuh! memang anak sama ibu sama sama tidak bermoral. Buah memang tidak akan jatuh jauh dari pohonnya!" "Apa!--" "Mah ayo!" Mas Fajar menarik lengan mamahnya, seraya menatap padaku. Entahlah apa arti dari tatapannya itu. Aku hanya merasa kalau ia tidak suka ada Pak Himsa di sini. "Maaf, saya malah bikin kegaduhan." ujar Pak Himsa padaku, setelah Mas Fajar dan kedua perempuan itu pergi. "Tidak apa apa, Nak. Saya berterima kasih kamu datang ke sini. Kalau boleh tahu dengan Nak siapa ini?" Mamah bertanya. "Saya Ahimsa, Bu. Saya Editornya Anjani." dia menyalami mamah dan ayahku. "Oh, jadi Nak Himsa mau ke mana? maksud saya. Nak Himsa sedang apa di sini?" "Saya ada seminar di sekitar sini. Dan tadi saya tidak sengaja bertemu Anjani di toilet. Jadi saya pikir akan memberikan sesuatu pada kedua anaknya Jani. Selagi masih berada di sini." Mamah menoleh padaku dengan senyuman. "Ah, terima kasih sekali, Nak Himsa. Kapan kapan boleh lah main kerumah?" Pak Himsa menoleh padaku. "Insaallah Ibu. Kalau Jani mengijinkan." katanya. Aku hanya tersenyum tipis saja. Mamah menyenggol pinggangku. "Ah, pasti boleh ko, Nak Himsa jangan sungkan." Mamah ini benar benar. Aku hanya menanggapi itu biasa saja. Aku ini perempuan beranak dua yang baru saja mendapatkan gelar seorang janda. Mana bisa aku main main sama anak bujangan tampan seperti Pak Ahimsa ini. Lagian, dia ini sebentar lagi akan menikah dengan Bianka, penulis hebat itu. Dia salah satu penulis dibawah naungan Pak Himsa yang sebentar lagi ceritanya akan dijadikan sebuah film. "Oh, kalau gitu, saya pamit, Bu. " "Eh, rumah Nak Himsa memang nya di mana?" Duh, Mamah ini. "Oh, rumah saya ada tidak jauh dari sini Bu. Dan sebenarnya dari rumah Ibu juga tidak terlalu jauh." "Nak Himsa tahu rumah kami juga?" "Setiap penulis data nya ada di saya Bu. Jadi saya tahu alamat mereka satu persatu. Apalagi kita ini masih satu kota." "Oh," "Ya udah, Bu. Saya pamit dulu." "Oh, iya. Nak. Hati hati." Pak Himsa pun pergi setelah pamit padaku dan Ibu. "Dia sepertinya suka sama kamu!" ujar Ibu, beliau masih menatap punggungnya Pak Himsa. "Enggak mungkin Bu. Dia ini hanya Editorku saja. Dia mungkin hanya simpatik dan merasa perlu menghibur aku saja. Dia takut kalau aku banyak pikiran dan ujung ujungnya aku enggak bisa nulis!" Ah, siapa kamu Jani. Mana mungkin Himsa menyukai seorang janda beranak dua seperti kamu. Itu adalah hal yang sangat mustahil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN