6. Editor Tampan.

1488 Kata
Aku datang ke kantor Impian app. Di mana selama ini aku mengirimkan semua tulisanku. Lebih tepatnya semua cerita tentang curhatan kehidupanku yang memang cukup menyesakan. Aku tidak punya teman untuk mengadu. Aku tidak percaya pada seorang teman yang akhirnya mungkin malah akan menyebarkan semua apa yang pernah aku ceritakan. Jadinya, aku curhat pada tulisanku sendiri. Dan aku memang berhasil. Selain pikiranku jadi plong. Aku pun mendapatkan pundi pundi yang lumayan untuk kehidupanku bersama kedua putraku. "Ayo masuk! semua sudah menunggu!" Pak Ahimsa, atau Editorku yanh menyambutku di depan pintu. Beliau melirik pada Katar yang aku gendong. Aku tidak bisa meninggalkannya, karena dia masih tiga bulan. Sedangkan Andi aku titipkan pada Mamahmu. "Wah, namanya siapa?" tanya nya. "Katar, Pak." jawabku. Beliau memegang tangannya lembut sekali. "Hay Katar, duh, tampannya. Berapa bulan usianya?" "Tiga bulan, Pak." "Duh, masih kecil sekali. Harusnya di rumah aja nih." "Iya, tapi baru kali ini ko, aku bawa keluar, Pak." "Iya, maaf, ya. Kamu jadi harus bawa Katar ke sini. Padahal masih bayi banget. Eh, dia kena AC enggak apa apa kan?" "Enggak apa apa ko, Pak. Diakan pake selimut juga." "Baiklah. Kalau ada apa apa, segera kabarin saya. Acara akan dimulai. Kamu temui gih penulis yang lain. Sudah kenalan belum sama mereka?" "Kenalan cuma lewat online aja, Pak. Belum sempet bertemu kaya gini." "Iya, ya. Sama saya pun baru dua kali ini aja ya?" "Iya." Aku terkekeh. Aku lebih banyak menghindari tatapannya, karena merasa minder. Pak Ahimsa ini ternyata masih muda dan sangat tampan. Seumuran dengan ku. Hanya saja, karena aku perempuan. Aku sudah memiliki dua anak. Sedangkan beliau masih saja lajang, dan yang aku dengar. Beliau ini sudah bertunangan dengan seorang penulis cantik juga bintangnya di Impian App. Mengingat semua karyanya di atas 7 Juta viewers. Mereka serasi! Karena setahuku penulis itu juga seorang gadis yang sangat cantik. "Pak, boleh enggak saya nunggu di sini aja?" Pak Ahimsa menautkan kedua alisnya. "Loh kenapa?" Aku nyengir kuda. "Saya malu, Katar juga enggak suka berada di tempat yang terlalu banyak orang. Saya boleh ya duduk di sini aja?" tanyaku lagi, sangat hati hati. Pak Ahimsa terlihat meneliti diriku untuk beberapa saat. "Ok, tapi nanti akan photo bersama semua penulis App. Nanti Katar boleh di titipin ke saya sebentar, apa kamu enggak keberatan?" tanya nya lagi. "Justru saya yang balik tanya, apa Bapak enggak repot, kalau Katar Bapak asuh sebentar?" Pak Ahimsa malah terkekeh. "Kamu ini, saya tanya. Kamu malah balik tanya. Saya enggak keberatan ko. Tapi dia kayanya tidur deh. Gimana kalau acara potonya sekarang aja. Mumpung Katarnya lagi tidur?" Dia punya ide yang tepat sekali. Aku pun mengangguk setuju. Pak Ahimsa bersiap menerima Katar oleh kedua lengannya. "Bapak pernah gendong bayi kan?" tanyaku ragu. Dia tersenyum saja. "Iya, kamu jangan khawatir. Katar aman sama saya, ko. Enggak akan saya jual!" Aku merenggut, kemudian terkekeh. Lantas setelah itu, aku diajak Pak Ahimsa ke tempat di mana para penulis berkumpul. Dia yang sedang menggendong Katar, menjadi pusat perhatian karena malah terlihat semakin tampan menurutku. "Anaknya Pak?" tanya salah satu penulis. Pak Ahimsa hanya tersenyum saja. "Ini Anjani. Penulis Dilema, ajak ngobrol ya. Dan sebentar lagi, kalian akan berpoto bersama." ujarnya, kemudian setelah itu membawa Katar keluar dari ruangan itu. Aku menoleh lagi, dan melihat punggung Pak Ahimsa tengah membawa Katar dengan sesekali terlihat mencium keningnya. Bayanganku malah merambah bagaimana jika ia adalah Mas Fajar. Pasti hati ini akan bahagia. Setetes air mata malah turun tanpa bisa aku cegah. Segera ku usap, karena seorang mengejutkanku, dan mengajaku ke posisi untuk berpoto bersama. Hanya dua kali pose. Karena setelahnya kami berkenalan satu sama lain, lalu mengobrol dan saling bercerita, dan saling membagi pengalaman. Sebenarnya editor Impian App ini bukan hanya Pak Ahimsa aja. masih banyak yang lainnya. Hanya saja, yang aku kenal memang Pak Ahimsa, karena beliau adalah editorku. Aku tidak terlalu banyak bicara. Setelah acara berpoto bersama, dan sebentar berkenalan. Aku memutuskan untuk pamit, karena aku takut Katar menangis. Padahal acara ulang tahunnya masih belum dimulai Tapi aku keluar dari ruangan itu, setelah meminta ijin. Sampai di ruangan di mana Pak Ahimsa bersama Katar. Aku melihat lelaki itu tengah menimang pelan dan hati hati. Sepertinya Katar memang agak rewel. Segera ku hampiri saja mereka. "Wah, dia bangun ya?" tanyaku. Pak Ahimsa menoleh. "Wah, pasti kamu enggak ikutan ngerayain ulang tahunnya ya?" "Aku khawatir sama Katar." "Dia kayanya haus." "Iya, apa saya boleh menumpang ngasih ASI di sini." "Tentu saja." Beliau memberikan Katar padaku dengan lembut. "Kalau gitu, saya ke sana ya? kamu jangan dulu pulang, sebelum saya ke sini lagi. Nanti kita bakal bahas naskah kamu yang baru itu. Sekalian aja ada kamu di sini." "Baik, Pak." "Ok, saya pergi dulu ya." Dia pun pergi. Sementara aku mulai memberikan ASI pada putraku itu. Hampir satu jam, Pak Ahimsa belum juga datang. Aku sangat lapar, padahal dari rumah aku sudah makan. Mungkin karena aku sedang menyusui. Jadi sangat cepat lapar. Kalau aja, Pak Ahimsa tidak melarangku untuk pulang. Aku pasti saat ini sudah di kontrakan dan makan. Ah, rasanya kepalaku jadi pening. Aku lapar sekali. "Kamu nunggu lama ya?" Baru saja aku pikirkan. Beliau sudah datang dengan membawa kotak makanan. "Saya tahu kamu pasti lapar kaan? saya bawa ini, semua penulis kebagian. Tapi karena kamu di sini, jadinya saya bawa ke sini." dia meletakan kotak itu di atas meja. "Wah, terima kasih sekali Pak." Ya ampun perutku sudah tidak tahan meminta untuk di isi. Pak Ahimsa tersenyum ramah. Beliau mengintip Katar. "Dia tidur lagi?" dia terlihat bengong. Aku terkekeh. "Iya, dia sudah kenyang, dan tidur lagi." jawabku. "Bayi seperti itu ya. Bangunnya kalau lapar saja. Itu kalau malam dia suka bergadang?" "Banget, Pak." "Terus kamu istirahatnya gimana dong? nulisnya gimana?" "Sambil nungguin dia, saya sambil nulis." "Oh," dia menatapku beberapa saat. Membuatku tidak mengerti. "Ya udah, dia di letakan di sopa aja. Kamu makan aja dulu. Nanti setelah makan, kamu boleh pulang ya. Dan ini bingkisan dari kami, kamu bawa." "Wah, apa lagi itu Pak?" "Semacam kenangan gitu. Nanti kamu buka lah. Kalau penasaran mah." dia melataka paper bag di atas meja. "Terima kasih, Pak." "Eh, nanti pulang naik apa?" "Saya pesan taksi kayanya." "Iya, jangan ojol ya? kasihan Katarnya." "Siap, Pak." lalu ia pun pergi meninggalkanku. Eh, katanya mau bahas naksah. Tapi mungkin dia lupa. Nanti saja lah, via online juga bisa kayanya. *** Seperti janjiku, kalau hari ini aku aka bertemu Mas Fajar di pengadilan. Hari ini aku datang bersama Mamah dan Ayah tiriku. Katar Mamah yang pegang. Sidang pertama di dalam hidupku. Dan semoga menjadi yang terakhir. Aku melihat Mas Fajar datang bersama mertuaku. Mereka terlihat dingin juga ketus. Mas Fajar sama sekali tidak menyapa Katar. Membuat hatiku sakit seolah ditusuk sesuatu. Ini darah dagingnya, dia yang mendatangkannya. Kedua mata ini terasa memanas. Demi semesta, aku rela kalau dia hanya menjauhiku saja. Tapi Katar, dia tidak boleh melakukannya. Dia akan merasa diabaikan dan kekurang kasih sayang. Dia -- "Ayo masuk!" ajak Mamah mertua, tanpa menyapa kami. "Dasar manusia laknat!" Mamah berkata dengan sebal, kala mereka sudah masuk ke dalam. "Hush jangan gitu." Papah sambungku berkata. "Enggak apa apa, kalau mereka bersikap seperti itu. Itu hak mereka. Tapi kita harus tetap tenang. Kita tidak boleh sama kaya mereka." "Papah lupa ya? bagaimana dulu Fajar menangis meminta Anjani sama kita, untuk dijadikan istrinya. Sekarang dia malah begitu. Dasar lelaki g****k! emak sama anak sama saja!" "Udah ah. Kasihan Katar, neneknya marah marah terus." Ah, Papah sambungku yang sangat baik hati. Aku sungguh bersyukur mamah dipertemukan dengan beliau. Aku sepertinya harus ke toilet dulu. Aku harus mencuci muka ku yang lucuh ini. Jadi ku putuskan untuk ke sana. "Jangan lama lama. Kita udah mau mulai sidang tuh!" Mamah berkata. "Iya, Mah." aku berlari ke arah toilet. Lebih tepatnya aku ingin segera menangis melepaskan semua rasa sesak ini. Mamih! Kenapa Nenek enggak nerima salimnya Andi? Mamih, nenek enggak sayang ya sama Andi? Nenek enggak sayang ya sama Andi? Mengingat semua yang pernah Andi katakan padaku. Membuat tangis ini semakin menjadi. Apa salahku? kenapa mamahnya Mas Fajar tidak menyukai Andi? bukankah dia cucunya? Mamih! ko Papah sekarang enggak peluk Andi ya? Papah ngusir Andi, pas lagi telponan. Papah telponan sama siapa ya? Tuhan ..., kenapa sesakit ini. Sudah lama berada di toilet. Tapi aku masih saja belum bisa mengakhiri tangisan ini. Mamah sudah mengirim pesan, kalau sidang akan segera dimulai. Segera ku basuh muka ku. Lalu menatap diri dalam cermin. Melihat wajahku yang menyedihkan ini. Aku harus kuat. Demi Andi dan Katar. Pintu toilet terbuka, aku segera berbelok ke arah luar. Kala menabrak seseorang yang sepertinya akan masuk ke dalam toilet. "Maaf!" aku menengadah, melihat pemilik tubuh tinggi dan wangi itu. "Loh, kamu!" Pak Ahimsa pemilik tubuh itu. Aku segera memundurkan diriku. Mungkin beliau mau ke toilet. Karena kebetulan toilet laki laki dan perempuan pintunya berdekatan. "Eh, Bapak." aku segera mengalihkan kedua tatapan pada arah lain, mengingat mataku pasti merah dan bengkak. "Kamu ngapain di sini?" dia menatapku penuh selidik. "Eh, aku--" "Kamu enggak sedang mau jadi janda kan?" Deg!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN