Part 9 - Tuduhan yang Menyudutkan

1018 Kata
Persediaan garam, minyak dan gula sudah menipis di rumah, menjadikan Sasmita berinisiatif untuk berbelanja di warung. Namun sayangnya warung yang berada paling dekat dari rumah Sasmita sudah tutup. Menunggu bapak pulang dari kebun sangat lama, bisa - bisa mereka terlambat makan malam. Jika pergi ke warung satunya Sasmita harus naik sepeda motor karena memang jaraknya cukup jauh. Tapi-dia tidak bisa menaiki motor. Meminta ibu yang berangkat? Sama saja. Ibu juga tidak bisa. Saskia apa lagi? Dia masih kelas 1 SMP. "Minta tolong Nak Pras aja Nduk." "Haduh. Ndak ah bu." Tolak Sasmita. "Mita naik sepeda aja." "Jangan lah. Kamu memang nanti kuat kalau lewat tanjakan?" Benar juga. Sasmita menimang - timang antara meminta tolong Pras atau tidak-"Kalau kamu ndak berani bilang. Biar Ibu yang bilang ke Nak Pras." "Biar Mita aja yang bicara sama Pak Pras, Bu." Sasmita beranjak dari amben yang didudukinya, lalu melangkah keluar rumah menuju tempat tinggal Pras. Dia mengetuk pintu bercat cokelat itu. Cukup lama Pras tak kunjung membukakan pintunya. Sampai saat pintu itu terbuka, jantung Sasmita dibuat jumpalitan lantaran Pras tengah telanjang d**a dengan handuk putih yang melingkari pinggangnya. "Ada apa?" Sasmita membalikkan wajah, tak berani menatap Pras, "Saya minta tolong antarkan ke warung di desa sebelah, Pak." "Berangkat sendiri memang kamu nggak bisa apa?" "Saya tidak bisa naik motor. Sedangkan jarak warungnya cukup jauh." Pras memutar bola matanya. "Memang nggak bisa besok?" "Bisa - bisa lauk makan malam kita rasanya hambar, Pak." Hambar? Membayangkan makan masakan yang tanpa rasa membuat perut Pras bergejolak. "Saya ganti baju sebentar. Keluarkan motormu." "Iya-" Selang beberapa detik, suara pintu tertutup terdengar cukup nyaring di telinga Sasmita. Sungguh. Jika tidak karena urgent, Sasmita benar - benar malas meminta tolong Pras. ** "Bapak sebenarnya bisa naik motor tidak?" "Salahkan jalanannya dan motor butut Bapak kamu!" Gerutu Pras, masih bertarung dengan aspal yang bebatuan juga motor Suwandi yang menjengkelkan. Sasmita yang berada di boncengan beberapa kali terus beristigfar, dan memegangi stang belakang motor karena tidak mungkin ia berpegangan pada Pras. "Ini sampai kapan jalannya bebatuan kayak gini?" "Setelah ini bertemu pertigaan belok kiri jalannya sudah aspal mulus kok, Pak." Beberapa kali Pras salah memasukkan gigi, membuat d**a Sasmita tidak sengaja beberapa kali menabrak punggung Pras. Sampai di jalan beraspal, barulah Sasmita bisa bernapas lega. Pras mengendarai motornya tidak serampangan. "Belok ke mana lagi?" "Kanan. Lurus aja, sebelah kiri setelah pos kamling ada warung." Motor yang dikendarai Pras berhenti di depan warung kecil. Sasmita turun dari boncengan Pras, lalu melangkah memasuki warung itu-"Loh Mbak Mita." Sapa Si Ibu pemilik warung, sembari matanya melirik Pras yang baru memasuki warungnya dan tengah mengamati beberapa jajanan yang tergantung rapi, "Mau beli minyak dua kilo, gulanya satu kilo, garamnya dua bungkus, sama beras yang dua puluh kilo." Ibu pemilik warung dengan cekatan mengambil barang sembako yang mau Sasmita beli. "Saya mau beli ini-" Ujar Pras sembari menunjuk jajanan kripik singkong pada Sasmita. "Mau berapa?" "Beberapa aja." Mata Pras berkeliling, menatap beberapa jajan yang cukup menarik minatnya, "Sama yang bungkus merah-kuning itu, itu, itu." "Kalau ada fanta atau kola juga boleh." "Mau yang besar apa yang kecil?" "Yang kecil," Si penjual mulai menghitung belanjaan Sasmita, masih mencuri lihat Pras dengan tatapan penasaran. Tak lama, datanglah seorang wanita paruh baya, dia cukup terkejut melihat Sasmita ada di sana, "Loh Sasmita. Katanya balik lagi ke Jakarta?" Tanya wanita itu bernama Tuti. "Saya mau menetap di sini, Bu." "Ya mending tinggal di sini ajalah. Bantuin bapak kamu di kebun. Ngapain juga kerja jauh - jauh ke Jakarta." Sasmita hanya tersenyum menanggapi. "Saya mau beli ini juga." Ujar Pras menyerahkan sekitar empat kaleng s**u beruang yang langsung Sasmita terima. "Apa ndak sesekalian satu karton gitu, Mas. Isi 30 kaleng." Jelas Si Ibu penjual. "Saya ambil dua karton." "Kita nggak mungkin bisa bawa. Belanjaan kita sudah terlalu banyak." "Kamu punya dua tangan untuk membawa dua karton kaleng s**u saya, Sasmita." "Tapi-" "Wah wah.. siapa ini Mita? Cowok barunya ya?" "Bukan, Bu." Sergah Sasmita cepat sembari menatap tidak suka pada Tuti. "Cowok barunya juga nggak apa - apa. Toh kamu sekarang kan sudah janda. Sudah nggak terikat lagi sama suami." Sasmita mengeraskan wajahnya. Sejak kehadiran Tuti di sini, Sasmita tahu apapun jika berhubungan dengan wanita itu tidak terlalu mengenakkan. "Tapi kasihan loh suamimu, Ta. Baru juga beberapa bulan dia meninggal. Masa kamu sudah ada yang baru-" "Maksudnya bagaimana ya?" Kali ini Pras bersuara, lantaran mulutnya terlalu gatal ingin menghujat wanita yang tiba - tiba mengatakan Pras kekasih Sasmita? Gila. "Loh bukannya kamu pacarnya Mita? Wow sekali loh, dalam beberapa bulan saja, Mita sudah dapat pengganti, lagipula kamu juga kok mau sama Mita? Dia kan janda. Ups-" "Ah atau jangan - jangan kalian sudah berbuat cukup jauh ya? Kan janda - janda zaman sekarang butuh belai-PLAK," Tak tahan mendengar cercaan dari Tuti-Sasmita menampar Tuti sekuat tenaga. Dia tidak peduli akan adab sopan santun yang Bapaknya junjung tinggi. Dia terlalu marah! Marah akan hinaan yang Tuti katakan seolah Sasmita adalah janda murahan! "Kamu-" "Berani - beraninya kamu-" "Ibu tidak tahu apa - apa tentang saya. Bagaimana bisa Ibu menjudge saya sebagai janda murahan yang haus akan sentuhan?" "Kamu-" Melihat Sasmita yang seperti bukan Sasmita, Pras memilih menarik Sasmita dan menyembunyikan Sasmita di belakang tubuhnya. "Perlu saya tegaskan pada Ibu jika saya bukan kekasih Sasmita!" "Lihat saja. Suami saya orang berpengaruh di perkebunan. Cukup mudah untuk suami saya mendepak bapak kamu Sasmita." Desis Tuti sembari mengentakkan kedua kakinya dan berlalu pergi keluar dari warung itu. Pras mengalihkan pandangan pada ibu pemilik warung, lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Berapa totalnya?" "Tiga ratus delapan puluh lima ribu." Pras menyerahkan lima lembar uang seratus ribu dan menyerahkannya pada ibu itu, "Tolong antarkan ke rumah Mita. Kembaliannya buat ibu." Setelah itu, Pras menarik lengan Sasmita dan mereka keluar dari sana. Saat Pras melihat Sasmita, wajah wanita itu tampak datar tidak menunjukkan ekspresi apa - apa, harusnya dia menunjukkan ekspresi sedih ataupun marah. Ekspresi datarnya itu, tentu membuat Pras khawatir. "Kamu nggak apa - apa?" Sasmita tersenyum kecut, lalu membalas tatapan mata Pras, "Tidak apa - apa. Sudah biasa." Pras mengernyit bingung karena tidak terlalu paham akan dua kata terakhir yang terlontar dari bibir Sasmita. Sudah biasa? Maksudnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN