Part 8 - Kesombongan Pras

1312 Kata
“Itu tamu siapa to, Mbak? Tidak tahu adab. Mana tidak salat subuh. Tau – tau sekarang molor padahal hari sudah siang bolong.” “Itu adik iparnya Bulik Siska.” “Loh berarti adiknya Paklik Cipto? Tapi kok beda banget, Mbak? Nggak mirip.” “Hush! Jangan gitu, Dek.” Sasmita dan Saskia tengah membantu ibu memasak di dapur, “Lalu Kia panggil dia apa, Mbak?” “Paklik? Om? Terserah kamu.” Sasmita tengah mengiris wortel dan Saskia tengah mengiris buncis, menu makan mereka siang ini adalah sayur sop, ayam & tempe goreng, dan sambal kecap. “Nak Pras nggak di bangunin?” Tanya Ibu yang baru masuk pintu belakang rumah sembari membawa seprei kotor. Sepertinya Sarti sudah selesai beres – beres rumah Siska yang berada tepat di samping rumahnya. “Kia aja yang bangunin.” “Nggak mau ah. Mbak aja! Enak aja nyuruh – nyuruh Kia.” Lagi – lagi Sasmita menghela napas dan menyelesaikan memotong wortelnya. “Biar Ibu yang melanjutkan memasak sayur sopnya. Kamu bangunkan Nak Pras, Ta.” “Iya, Bu.” Dengan berat hati Sasmita melangkahkan kaki menuju kamar adiknya. Dia mengetuk pintu kamar itu dan berkata, “Pak Pras.. bangun.. sudah siang, Pak.” Tak ada sahutan dari dalam sana. Kali ini Sasmita mengetuk agak sedikit kencang. “Pak Pras?” “Pak bangun, Pak. Sudah si—“ Sasmita cukup terkejut ketika pintu itu tiba – tiba terbuka, tangannya seperti di tarik paksa dan tubuh Sasmita sudah berbaring di ranjang dengan Pras yang berada di atas tubuhnya. Demi Tuhan! Sasmita lantas mencoba mendorong d**a Pras, namun kekuatannya tak cukup besar dari kekuatan Pras. “Saya masih mengantuk Sasmita!” “Tolong menyingkir dari atas tubuh saya, Pak. Sebelum orang rumah tahu!” Pras menyingkir dan berbaring terlentang di samping Sasmita yang langsung beranjak berdiri. “Tolong jangan bersikap kurang ajar seperti tadi.” “Kurang ajar apa? Saya tidak apa – apakan kamu.” “Tetap saja! Apa yang bapak lakukan beberapa detik lalu sudah cukup kurang ajar! Dan bagaimana kalau ada orang yang melihat? Itu akan menjadi fitnah. Cukup di kantor saja saya di fitnah.” Pras mengernyitkan dahi. Dia mengangkat sedikit kepalanya mau menanyakan maksud perkataan Sasmita, namun Sasmita sudah terlanjur keluar dari kamar . ** “Ayo Nak Pras, di makan. Maaf ya makan seadanya. Tapi ibu jamin rasanya bintang lima.” Pras mengangguk dan tanpa sungkan mengambil nasi serta lauk pauk yang tersedia. “Ibu tidak ikut makan?” “Ya makan, sebentar Ibu panggil Mita sama Kia dulu.” Tak lama, mereka datang dan menduduki kursi masing – masing. “Oh iya, rumah Siska sudah Ibu bersihkan, Nak Pras.” “Hmm.” Saskia melirik pada kakaknya, namun kakaknya seperti tidak menyadari signal dari lirikannya. Saskia tampak benar – benar tidak menyukai Pras. Menurutnya selain sombong, Pras juga tidak bisa mengucap terima kasih pada orang yang telah membantunya. “Apa Om tidak pernah diajarkan orang tua Om berkata maaf, tolong dan terima kasih?” “Saskia.” Tegur Sarti pelan pada bungsunya. “Saskia udah gedek sama Om Pras, Bu. Datang tidak di undang. Kesopanan tidak di junjung. Padahal Om Pras itu bicara sama Ibu yang jauhhh lebih tua dari Om Pras. Nggak pernah diajari etika ya Om?” Demi Tuhan! Pras mau makan tanpa ceramah panjang lebar! Dia sungguh lapar sejak tadi malam. Sekarang gadis kecil ini berani sekali menceramahi, Pras? “Sudahlah Kia. Hidup di perkotaan degan gaya hidup bebas seperti Pak Pras mana tahu adab orang timur.” “Kamu—“ Pras benar – benar menggertakkan gigi geram. “Ya ampun. Maafkan anak – anak Ibu, Nak Pras. Mereka yang seharusnya diajarkan tata krama.” Pras tidak berselera makan. Dia meletakkan sendoknya di piring. Lalu beranjak keluar dari rumah itu menuju rumah Siska. ** “Kamu itu lebih tua, mbok ya mengajari adikmu itu yang benar to Ta.” “Memang Om Prasnya ndak tahu sopan santun. Kami hanya menegurnya supaya dia terbuka pikirannya, Pak.” Suwandi memijat pelipisnya pening mendengar ucapan putri bungsunya, “Apa pantas menegur seorang tamu seperti itu? Meskipun tamu itu sopan atau tidak. Kita harus tetap menyambut dengan baik Nduk.” “Bapak nggak mau tau. Kalian berdua harus minta maaf ke Nak Pras.” “Nggak mau! Aku nggak mau minta maaf ke Om itu!” Saskia sudah berlari menuju kamarnya dan membanting pintunya keras – keras membuat Suwandi mengurut dadanya agar ia bisa lebih sabar menghadapi putri bungsunya. Lalu tatapan matanya tertuju pada Si Sulung; ia pun berkata, “Minta maaflah pada Nak Pras, sekalian ajak Nak Pras makan malam.” “Nggeh, Pak.” Sasmita tidak berani menyangkal lagi. Dia langsung keluar, lalu mengetuk pintu rumah tempat Pras tinggal yang berada tepat di samping rumahnya. Tak lama, pintu itu terbuka menampilkan Pras yang tampak baru selesai mandi. “Bapak saya mengajak Pak Pras makan malam.” “Tidak perlu, saya bisa pesan makanan lewat ojek online.” Kening Sasmita mengerut samar. Mana bisa pesan makanan lewat online? Rumah Sasmita ini di pedesaan, cukup jauh dari pusat kota. “Ya sudah. Kalau bapak lapar, jangan sungkan untuk minta ke rumah saya.” Dalam hati Pras sudah berikrar tidak akan meminta – minta lagi pada keluarga Sasmita. ** Sampai tengah malam, tidak ada driver gojek yang menerima orderannya. Kini perut Pras benar – benar keroncongan. Meminum banyak air juga tak membuatnya kenyang, melainkan membuat perutnya kembung. Apa yang harus Pras lakukan? Tidak ada mie instan atau pun telur untuk mengganjal perutnya. Mana ada warung yang buka malam – malam begini? Satu – satunya cara ya meminta makan ke Sasmita. Itu sama saja menjilat ludah Pras sendiri. Menjengkelkan! Benar – benar menjengkelkan! Pras memutuskan menghubungi Sasmita, dia malas jika harus mengetuk pintu dan mendengar ucapan menohok dari adik Sasmita yang kurang ajar itu. “Kamu ada makan? Saya lapar.” Tak ada sahutan dari seberang sana. Pras memastikan kembali sambungan telepon itu tersambung. Benar memang tersambung. Tapi tidak terdengar suara Sasmita dari seberang sana. “Sasmita.” Desis Pras penuh kejengkelan. “Saya lapar. Bisa kamu ambilkan makan untuk saya?” “Hmm.. sebentar.” Sambungan itu diputus secara sepihak, membuat Pras mengumpat tertahan. ** “Tempe goreng? Kamu yakin kasih saya lauk hanya tempe goreng?” Tanya Pras tak percaya pada wanita yang mengantar sepiring nasi dengan dua iris tempe goreng. Tentu, apa yang dilakukan Sasmita ini cukup melukai harga diri Pras. Apa Sasmita pikir Pras ini kucing? “Memang kamu nggak ada mie instan? Atau telur?” “Nggak ada. Hanya tinggal itu. Salah sendiri tidak mau makan malam bersama.” “Setidaknya kamu sisakan lauk untuk saya makan, Sasmita.” “Loh bukannya tadi Bapak bilang mau pesan makanan lewat ojek online? Jadi ya makanan tadi kami habiskan daripada mubadzir." Pras terdiam. Dia termakan ucapannya sendiri. “Ya sudah. Selamat malam dan selamat makan. Saya mau tidur.” Pras menahan lengan Sasmita yang ingin melangkah memasuki rumah. “Temani saya makan. Saya nggak suka makan sendiri.” Sasmita menghela napas, dia melangkahkan kaki menuju kursi yang ada di teras rumahnya, dan di susul Pras yang duduk di depannya. Pria itu memakan makanannya dalam diam. “Kenyang, Pak?” Tanya Sasmita usai Pras menghabiskan makanan di piringnya. “Belum lah! Porsinya sedikit, mana saya kenyang?” “Ya sudah ayo ke dalam.” “Mau apa memang?” “Ikut saja.” Pras mengekori Sasmita memasuki rumah menuju meja makan. Di atas meja makan sana sudah tersaji makanan dengan lauk pauk yang lengkap. Sialan! Sasmita mempermainkan Pras. “Kamu mempermainkan saya?” “Tolong jangan keras – keras. Semua akan terbangun akibat suara bapak!” “Kamu benar – benar..” Geram Pras. Ingin sekali melumat halus Sasmita yang mempermainkannya seperti barang. “Bapak jadi mau makan tidak? Kalau tidak, makanannya akan saya simpan.” “Saya makan!” Ketus Pras sembari menarik kursi dan mendudukinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN