"Ini aku gak salah dengar kan, ya? Mana mungkin pria di depanku ini jadi atasanku sendiri. Sangat tidak mungkin!" Bantah Kalma dalam hatinya.
Kalma terus terdiam di hadapan Arka dan sekretaris pria itu. Ia berdiri layaknya orang bodoh, dengan wajah yang cengo dan pikiran yang sudah berkelana kemana-mana.
"Tidak mungkin si Udin jadi atasan aku!" Bantah Kalma lagi dalam hatinya. Mau berpikir apa lagi, dia tidak bisa percaya.
Tidak lama, pria yang kemarin ditemui oleh Kalma—Nathan, menghampiri mereka. Tangannya langsung diarahkan menuju Kalma.
"Selamat datang, Kalma. Dan selamat bergabung dengan AB PROPERTY. Saya Nathan, yang akan memandu Anda selama ada di sini, sehingga apapun keperluan Anda bisa diberitahukan kepada saya." Ujar Nathan.
Kalma tersenyum menyambut Nathan. Tangannya hendak menjabat tangan Nathan, namun terhenti ketika mendengar suara celetukan dari Arka.
"Tapi bukan keperluan rumah tangga!" Celetuk Arka dengan wajah songongnya.
Kalma berdecak, "ck! Siapa juga yang mau minta keperluan rumah tangga." Gerutu Kalma kecil.
"Kecuali Nathan suami gue!" Lanjutnya, kali ini dengan nada yang agak keras, bahkan sampai maju ke depan Arka.
Agar tidak terlalu dekat dengan Arka, mereka berdua dihalangi oleh tangan dari sekretaris Arka. Tatapan pria itu mengarah tajam ke Kalma, tidak suka sebab terlalu semena-mena dengan atasan.
Kalma menatap Arka dan sekretarisnya bergantian. Bahkan menunjuk mereka, "dih, bos sama sekretaris sama aja. Sama-sama suka ngancem dari mata! Beraninya sama perempuan aja." Ujar Kalma.
"Miko, jangan natap dia dengan tatapan seperti itu. Lebih baik kamu masuk lebih dulu ke ruangan ku, baru setelahnya aku masuk menyusul. Kita bahas semuanya nanti di sana." Ujar Arka pada Miko, sekretarisnya.
"Tapi dia sudah kurang ajar di hari pertamanya, pak. Masa iya dia panggil lo-gue, padahal bapak kan atasannya. Saya tidak terima ya bapak diperlakukan seperti itu!" Riko membantah dan tetap menatap tajam kepada Kalma.
Kalma yang mendengarnya sedikit tertawa. "Idih! Drama banget. Panggilan lo-gue mah udah sering keluar dari kita. Aku juga gak tahu kalau pria nyebelin ini atasan aku. Kalau aku tahu, mungkin aku tidak akan menerima pekerjaan ini."
"Jangan berlebihan, Ndut. Di kantor juga ada aturannya." Arka menyela.
"Nah, kan! Lo yang duluan manggil gue Ndut. Emangnya gue pernah manggil lo dengan panggilan apa, Udin?!" Kalma sedikit melunjak.
Arka hendak menjawab, namun langsung dihentikan oleh tangan Kalma. "Jangan ngomong. Gue tahu lo pasti belum sikat gigi kayak di Gili kemarin. Aromanya melebihi aroma neraka j*****m!" Ujarnya, sontak membuat Arka, Riko ataupun Nathan tidak menyangka kata itu akan keluar dari mulut Kalma.
"Lucu." Batin Arka.
Kalma lanjut menghadap Nathan, menjabat tangan Nathan. "Halo, pak Nathan. Senang bertemu dengan Anda. Terimakasih sudah mau menjadi mentor saya selama ada di sini, dan kalau boleh tahu ruangan saya ada di mana?" Tanya Kalma.
Nathan yang mendengar itu sedikit menggerutu pelan, bahkan tidak sampai terdengar suaranya. "Kayaknya perempuan ini saingannya pak Arka." Gerutunya.
"Oh iya. Mari saya tunjukkan!" Lanjutnya, jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Kali ini dia memasang wajah ramah dan manis pada Kalma.
"Jangan tersenyum manis." Celetuk Kalma. Dia sedikit kesemsem.
"Kenapa?" Tanya Nathan
"Saya belum siap diabetes." Jawab Kalma tanpa sadar.
Nathan yang mendengarnya menjadi salah tingkah. "Bisa gombal juga ni cewek gendut." Celetuk Nathan
"Eh!"
"Kalau begitu silakan ikuti saya. Saya akan tunjukkan ruangan Anda dan yang lainnya."
Ketika Kalma hendak pergi, dia sempat melambaikan tangan pada Arka yang juga membalas lambaian tangannya tanpa sadar.
"Dadah, Udin!"
"Dadah, Ndut!"
***
Kalma sudah berada di sebuah ruangan yang akan menjadi tempatnya berjimbaku di setiap hari kerja. Ia sudah diperkenalkan oleh Nathan sebagai staff baru, pun juga ia sudah duduk di meja kerjanya.
Akan tetapi, ia tidak tahu mau melakukan apa. Pasalnya, setelah Nathan memperkenalkannya, ia tidak diberitahu mau melakukan apa. Alhasil, Kalma sudah seperti orang kehilangan arah yang hanya memperhatikan yang lainnya.
"Lebih baik aku tulis blog liburan yang kemarin aja." Kata Kalma.
Menghidupkan komputer dan melihat foto Arka yang ada di layar komputer itu. Sontak Kalma terkejut, bahkan sampai spontan mematikan komputer itu lagi.
"Hantu." Ujarnya tanpa sadar.
"Eh, maksudnya si Udin." Koreksinya.
Ia kembali menghidupkan komputer itu dan mulai membuka laman blognya. Mulai menulis tentang apa saja yang ia temui dan rasakan saat berada di Gili.
Saking fokusnya nulis dengan tangan yang bergerak lincah, ia tidak menyadari kalau ada seseorang di sampingnya.
"Eh, ada aku juga disana!"
Suara itu sontak membuat Kalma terkejut dan sedikit latah. "Si Udin!"
Tanpa sadar ia juga langsung mendorong Arka hingga jatuh dari kursi. Naas, pria itu berakhir di lantai dengan kondisi yang sedikit mengenaskan.
Ia seorang atasan, tapi sekarang ia berada di bawah karena tingkah bar-bar perempuan yang satu ini.
"Awww!"
"Pak!"
Semua karyawan yang ada di ruangan itu berhambur membantu Arka untuk bangun. Kalma juga hendak membantu, namun ada sedikit insiden dimana kakinya tersandung dan berakibat jatuh ke tempat yang salah.
Kalma jatuh di tubuh Arka.
"Eh, si Udin cakep juga ya." Batin Kalma.
"Cantik. Gendut. Unik." Kata Arka dalam hatinya.
Keduanya saling tatap satu sama lain, mengabaikan tatapan dari karyawan dan karyawati yang lainnya, menatap mereka dengan penuh keheranan. Ada pula yang iri hati dengan Kalma.
"Pak, apa perlu kami bantu?" Tanya seseorang.
"Tidak perlu." Jawab Arka.
Kalma langsung bangun, tanpa membantu Arka. Dia membersihkan bajunya yang sedikit kotor. Ketika ia hendak duduk lagi, ia menyadari kalau tangan Arka sedang ada di belakang tubuhnya. Tepatnya di bokongnya.
Langsung saja, tanpa aba-aba, tangan Kalma langsung mendarat di kepala Arka.
Bugh!
"Aduh!" Arka mengaduh.
"Cab*l banget sih lo, Udin!" Katanya dengan lantang.
"Ada permen karet di celana lo, Ndut!"
Seketika membuat Kalma terdiam. Ia membiarkan Arka membersihkan permen karet dari celananya. Sampai kemudian Arka bangun, mereka berdua saling tatap, lagi.
Tidak lama, muncul tawa dari mereka. Saling tunjuk satu sama lain tanpa ada alasan yang jelas. Mereka seperti orang gila, membuat para karyawan dan karyawati kebingungan lagi.
Ketika tawa mereka sedang asyik-asyiknya, tanpa sadar Arka melihat sekelilingnya dan langsung memasang wajah dingin. Ia menatap tajam pada Kalma, "cepat masuk ke ruangan saya!"
"Oke, Udin!" Jawab Kalma tanpa beban.
"Nama saya Arka!"
"Udin lebih keren!"
***
Nyatanya, ketika Kalma sudah ada di ruangan Arka, ia hanya duduk manis tanpa sebab di ruangan itu, memperhatikan Arka yang memarah-marahi karyawan yang telah melakukan sedikit kekeliruan.
"Pokonya aku gak mau tahu, proposal ini harus diselesaikan secepat mungkin! Masa iya waktu sebulan tidak cukup sedangkan kita harus menyetor ini semua. Kamu niat kerja gak sih?!" Bentak Arka.
Pria yang dibentak pun hanya menunduk, tidak bisa berkutik. Bahkan ketika lembaran proposal itu dilempar, pria itu masih menunduk.
"Segera selesaikan proposal ini!" Bentak Arka. Pria itu segera memungut proposalnya dan beranjak keluar dari ruangan ini.
"Wih, ngeri." Gumam Kalma melihat peristiwa yang tadi.
"Daripada aku kena marah juga, lebih baik aku keluar saja." Batin Kalma.
Tanpa melihat Arka, Kalma hendak menuju pintu. Namun, belum saja dia membukanya, namanya sudah dipanggil oleh Arka.
"Iya?"
Kalma berbalik. Perasaannya sudah nano-nano, tidak karuan. "Semoga aja aku gak kena marah. Secara si Udin ini kalo marah serem juga." Batin Kalma.
Satu jari telunjuk Arka menyuruh Kalma mendekat.
"Idih, gaya banget tu jari!" Cerca Kalma dengan suara yang pelan.
"Iya, pak?" Tanya Kalma.
"Mau makan apa?" Suaranya lebih lembut dibandingkan yang sebelumnya saat ia memarahi pria yang baru saja keluar itu.
Kalma kaget. "Kok saya gak dimarahin? Malah ditanya mau makan apa?" Tanya Kalma.
"O... Kamu mau saya marahin?!" Tantang Arka.
Tidak terima, Kalma menaikkan kain lengannya, melipat tangan di depan d**a, dan memasang wajah garang. "Berani lawan perempuan?!" Tantang Kalma balik.
Arka terdiam.