7. Teman Vina

2063 Kata
“Sisil!” Aku masih berjalan cepat menghindari Mas Fendi. Panggilannya tak kuhiraukan sama sekali. Aku terlampau malu begitu sadar aku sudah membiarkannya menggandeng tanganku agak lama. Kami bahkan baru kenal beberapa hari yang lalu. Bukankah aneh jika kami bergandengan tangan? “Sil!” “A-apa, sih? Kayaknya saya mau naik komidi putar saja. Saya enggak mau teriak-teriak lagi.” Mas Fendi meraih tanganku agar aku berhenti, tetapi kali ini aku langsung menepisnya. Aku tidak akan membiarkan dia menggandeng tanganku untuk yang kedua kalinya. Itu memalukan! “Sil—“ “Apa, apa?” “Kamu menghindar karena pegangan tangan barusan?” Mas Fendi lagi-lagi meraih tanngnku. Kali ini tepisan tanganku gagal karena genggaman tangannya terlalu erat. “Bahkan di saat kulit kita sama sekali tak bersentuhan?” Memang, kulit kami tak bersentuhan. Pasalnya, aku mengenakan kaus tangan, sementara Mas Fendi tidak. “Ya emang enggak—“ “Sebentar ... kalau begini ceritanya, harusnya saya yang salah paham.” “Hah? Kenapa jadi kebalik?” “Kenapa kamu selalu bertindak menghindari saya? Kamu grogi? Kamu menyukai saya?” “Dih! Ya enggaklah! Bisa-bisanya! Pede amat!” aku menggeleng kuat dan menepis tangan Mas Fendi. “Sekarang saya tanya, deh. Apa normal kita yang notabene baru kenal beberapa hari sudah bergandengan tangan?” “Kamu mengartikan lebih lagi?” “Mas! Siapa yang enggak mengartikan lebih kalau konteksnya kaya tadi? Oke, kita berteman. Tapi teman mana yang bergandengan tangan?” Mas Fendi terdiam sejenak. “Padahal kamu yang pertama kali menggandeng saya.” “Heh? Mana mungkin! E-enggak!” suaraku mendadak naik. “S-saya enggak sadar!” “Oh, gitu. Itu artinya refleks? Bagus sekali refleksmu.” “Bentar ... kenapa malah jadi saya yang kena?” “Karena memang kamu yang memulainya.” Kali ini aku diam. Aku memejamkan mata sesaat. Sungguh! Aku sama sekali tak sadar sudah menggandeng tangan Mas Fendi. “Sil—“ “Sebenarnya saya enggak biasa keluar berdua dengan laki-laki kecuali adik saya, Bapak saya, dan kerabat. Bahkan teman kuliah sekalipun. Saya hampir enggak pernah keluar berdua dengan laki-laki asing. Jadi, jangan salahkan saya kalau saya gampang canggung dengan situasi tak terduga.” “Kamu menyebut kata hampir. Itu artinya, ada saat-saat kamu keluar berdua dengan laki-laki yang bukan adikmu, Ayahmu, dan kerabatmu?” “Ya jelas, tapi harus ada alasan khusus. Misal, bimbingan bareng. Jadi panitia bareng, atau apa pun itu yang kiranya urgent dan jelas. Karena kalau alasannya jelas, saya dan dia akan selalu terlibat obrolan yang jelas pula. Sementara kita? Kita keluar berdua dengan tujuan ‘main’.” Aku menekankan kata terakhir. “Kita keluar enggak ada tujuan khusus. Bahkan jika menyebut kata kencan pun bukannya enggak berlebihan? Di KBBI pun kencan bisa untuk teman. Selain itu, kita juga baru kenal, Mas. Bukannya wajar kalau saya mudah banget canggung? Apalagi setelah kejadian kemarin malam saya mabuk sampai nyusahin. Enggak bisakah Mas Fendi ngertiin posisi saya sekaligus perasaan saya? Silakan anggap saya berlebihan, tapi saya kurang nyaman kita keluar berdua. Apalagi ditambah kaya tadi.” Aku menyudahi kalimat panjangku. Aku menunduk, lalu mengembuskan napas panjang. Akhirnya, kukeluarkan juga unek-unekku. “Sil ...” Suara Mas Fendi merendah. “Apa?” aku menatapnya. “Kalau Mas Fendi mau salah paham sama saya, ya udah, silakan aja! Saya enggak peduli lagi.” Kini Mas Fendi malah tersenyum. “Kamu ini serius sekali. Segala bawa-bawa KBBI.” “Ya habisnya saya—” Kalimatku terhenti ketika Mas Fendi tiba-tiba membenarkan syalku yang agak melorot. Aku tertegun sampai refleks diam dan menunggunya selesai. “Vina tahu kemarin malam kita keluar bersama. Dia pesan ke saya, kalau keluar tolong jaga sahabatnya yang mudah kedinginan. Sepertinya dia benar. Wajahmu pucat, bibirmu dari tadi agak bergetar.” Terkahir, Mas fendi menarik syalku agak naik sampai menutupi hidung. “Ada baiknya, kita jangan naik wahana outdoor lagi. Naik yang indoor saja. Kamu tadi bilang mau komidi putar? Itu ide bagus. Gimana? Jadi naik itu?” Ini jelas pengalihan topik, dan sebenarnya ini bagus untukku. Hanya saja, aku merasa ada yang belum tuntas. “Gimana, Sil?” tanya Mas Fendi lagi. Akhirnya, aku mengangguk pelan. “I-iya, naik itu aja ...” Tidak tahu kenapa, saat ini aku seolah merasa ada banyak kupu-kupu berterbangan di perut. Tidak, ini tidak boleh dibiarkan. Aku harus segera menepis perasaan tidak jelas ini. *** Setelah puas di Lotte World, Mas Fendi mengajakku makan siang. Kali ini menunnya semacam sup, tetapi berwarna merah. Kaldunya dari daging sapi. Jujur, aku tidak tahu apa namanya. Ngomong-ngomong, setelah tadi sempat canggung, kini aku dan Mas Fendi sudah kembali santai. Kami tidak lagi membahas perihal gandengan tangan dan apa-apa yang berpotensi membuat atmosfer menjadi tak nyaman. “Ini salah satu makanan favorit saya di Korea,” ucap Mas Fendi di sela-sela makan siang. Sebenarnya agak telat karena saat ini sudah pukul dua lewat beberapa menit. “Ini memang enak. Cocok juga di lidah saya.” “Sebenarnya kalau restoran pada umumnya, kaldunya pakai daging babi.” “Oh, ya?” Mas Fendi mengangguk. “Tapi restoran ini memilih untuk menggunakan daging sapi. Saya juga kurang tahu apa alasannya.” “Enak mana, Mas?” “Pertanyaan macam apa, itu?” “Hah?” Aku mendadak loading. “Saya belum pernah makan yang kaldunya daging babi, jadi saya enggak bisa buat perbandingan.” “Oh, iya!” Aku menepuk pelan dahiku. “Maaf, Mas, udah asal nanya. Pertanyaannya saya ganti aja. Kalau beda daging yang digunakan, apa pengaruh ke harga?” “Sudah pasti. Sapi di Korea itu mostly sangat mahal. Bahkan banyak orang-orang di sini minta daging sapi buat kado ulang tahun.” “Masa iya?” “Kado di sini lebih ke traktiran. Karena saking mahalnya, untuk kelas menengah ke bawah, daging sapi jadi makanan yang sangat eksklusif.” “Tapi di Indonesia pun banyak yang enggak bisa makan daging sapi karena enggak mampu beli. Bisa makan nunggu Hari Raya Idul Adha aja. Soalnya saya pernah ada di titik itu.” Aku meringis. “Tapi tetap aja, Sil. Taraf mahal-nya beda. Kalau sama-sama di kurs-kan ke satu mata uang, di sini jauh lebih mahal.” “Kalau soal kualitas, gimana?” “Relatif, tapi di sini banyak yang super. Sampai ada yang katanya aman dimakan mentah.” Aku menganga. “Daging sapi dimakan mentah?” “Iya.” Jujur, aku tidak tahu soal ini. Mungkin karena selama ini aku hanya penikmat Drama Korea, itu pun bukan yang fanatik. Aku hanya menonton sesekali jika sedang ingin dan sedang senggang. “Kaya apa itu rasanya?” “Mau coba?” Aku bergidik. “Enggak. Lagian emang boleh? Di kita kayaknya enggak boleh.” “Memang enggak.” Mas Fendi terkekeh pelan. Jujur, aku senang karena mulai bisa rileks ngobrol ini dan itu dengan Mas Fendi. Penyampaian unek-unek tadi tampaknya cukup manjur. “Ngomong-ngomong, habis ini kamu ingin ke mana?” tanya Mas Fendi beberapa saat kemudian. “Jujur, saya enggak tahu.” “Dan kamu dengan percaya dirinya nekat mau keluar sendiri?” Aku nyengir. “Saya kira Kak Alan enggak akan sengegas itu. Eh, belum-belum Vina udah disabotase aja. Ngegasnya enggak ketulungan.” “Alan itu tipe yang enggak mudah menyerah. Terkadang malah semakin dia merasa tertantang, semakin dia berambisi untuk mendapatkannya. Ini bukan hanya soal Vina, tapi hampir semua hal dia begitu.” “Mungkin karena kalau habis naklukin atau dapetin sesuatu yang susah dicapai, ada perasaan puas tersendiri.” Mas Fendi mengangguk. “Betul.” “Kalau Mas Fendi sendiri gimana? Sama kaya Kak Alan, atau mirip, atau malah kebalikannya?” “Hm ... bisa dibilang ... kami ini hampir sama persis?” “Oh, ya?” mataku melebar sesaat. “Karena kalau enggak gitu, pertemanan kami mungkin enggak akan seawet ini. Dan mungkin saya juga enggak akan betah menjadi sekretarisnya. Sulit sekali, Sil, berinteraksi dengan orang yang enggak sefrekuensi.” Ah, benar juga. Kalau sering bersebrangan, pasti tidak akan betah. Sebesar apa pun gajinya, kalau terlalu bertolak belakang dengan atasan, banyak orang pasti akan menyerah. Bukan soal lemah atau bagaimana, tetapi melawan ego terus menerus itu sangatlah sulit. Itu sangat menyiksa. “Sama kaya saya dan Vina berarti. Tapi mungkin enggak yang sampai persis, sih. Cuma kami satu frekuensi banget. Dan saya setuju, sangat sulit berinteraksi sama orang yang enggak sefrekuensi. Bikin capek.” “Betul!” “Jangankan berteman sampai bertahun-tahun. Cuma ngobrol aja, kalau enggak sefrekuensi, saya enggak betah. Bawaannya tenaga cepat habis. Pengennya cepat pulang dan menghindari orang itu.” Mas Fendi tertawa pelan. “Saya rasa, hampir semua orang akan setuju denganmu.” “Mungkin karena konsep dasar, kali, ya, Mas?” “Bisa jadi.” Mas Fendi tiba-tiba mengisi gelasku yang sudah kosong. Kebetulan, resto ini free refill minuman setelah pesan satu porsi. Dia juga mengisi gelasnya sendiri yang sudah kosong lebih awal. “M-makasih ....” “Saya suka mendengarmu yang mulai banyak bicara.” Darahku berdesir sesaat. Namun, aku buru-buru menteralkan perasaan. “Saya sebenarnya banyak bicara. Tapi emang lihat dulu siapa lawan bicaranya. Kalau sama yang masih asing dan kurang topik, pasti bakal banyak diem. Soalnya kadang saya udah berusaha buka topik, eh lawan bicara enggak bales, malah cenderung pasif. Ya udah, saya capek kalau mulai duluan terus. Tapi kalau terjalin ‘saling’, baru, deh.” “Jadi, bisa saya simpulkan salah satu alasan kenapa kamu bisa welcome hari ini, karena saya tidak pasif?” “Kalau bukan? Coba Mas Fendi diam aja, terus saya juga diam. Apa bakal terjalin sebuah interaksi? Kan enggak. Interaksi membangun komunikasi. Ya jadi gini, deh.” “Hm, benar juga. Saya setuju.” Aku tersenyum. “Saya sama Vina pun dulu gitu.” “Maksudnya?” “Nanti saya oversharing kalau cerita semua.” “Saya dengarkan. Sekalian kita istirahat di sini.” “Bentar, bentar. Saya minum dulu.” Aku minum air yang tadi diambilkan Mas Fendi. “Sebelumnya, saya ini dari keluarga biasa saja. Terus Vina itu kan anaknya pemilik MW. Saya tahu MW sejak kuliah. Saya segan, dong. Kalau ngobrol sama Vina, awal-awal bawaanya minder. Tapi Vina itu pinter deketin saya. Eh, pede banget, ya?” Aku terkekeh pelan. “Tapi beneran, sih. Dia sering ajak saya diskusi soal kuliah dan praktikum. Padahal praktikumnya enggak pernah sekelompok. Lama-kelamaan saya nemu titik cocok. Ya udah, Vina aktif, saya makin aktif lagi. Akhirnya, kami dekat dan semakin dekat. Dan ya, pertemanan kami awet sampai sekarang!” “Enggak pernah bertengkar?” “Jelas pernah, tapi bukan pertengkaran yang berarti. Kami juga tipe yang blak-blakan. Kalau salah satu ada salah, langsung bilang. Bukan tipe yang diam, lalu tahu-tahu asing.” Mas Fendi tersenyum. “Vina memang menyenangkan sejak dulu. Dia aktif sekali di kelas saya. Di angkatanmu, saya ambil asdos praktikum C++.” “Ah, jadi Mas Fendi asdos praktikum C++? Dulu saya sama Kak Agam dan Kak Wulan kalau enggak salah.” “Iya, saya tahu kalau kamu sama mereka.” “Yang bener?” “Sekadar tahu. Alasannya karena Agam sering bawa-bawa namamu. Bagaimanapun, kami sering dikusi siapa yang paling menonjol di masing-masing kelompok.” Aku meringis. “Saya jadi malu. Tapi ngomong-ngomong, Mas Fendi sering bicarain siapa?” “Vina, tentu saja. Sama Seno.” Mataku menyipit. “Tapi Mas Fendi enggak pernah naksir Vina, kan? Kalau iya, gawat!” Mas Fendi tertawa. Dia mengambil dimsum yang tinggal satu biji, lalu memakannya dalam sekali suapan. “Kalau enggak dijawab berarti—“ “Bentar, saya nelan dulu.” “Oke.” Aku diam, menunggu. “Jawabannya nggak, Sil. Saya enggak pernah suka Vina dalam arti suka betulan. Sejak dulu sampai sekarang, bahkan sampai detik ini, Vina di mata saya masih sama. Dia hanyalah adik tingkat yang aktif, ramah, dan menyenangkan. Justru temannyalah yang menarik perhatian saya.” “Oh!” Aku melongo sesaat. “Siapa, Mas, siapa? NIM awal, nih, pasti.” Senyum Mas Fendi kembali terbit. “Kamu enggak perlu penasaran.” “Siapa, ih? Udah nikah orangnya?” “Belum.” “Mau saya bantu, Mas?” Aku tekekeh. “Grup angkatan saya masih aktif, lho. Sesekali masih ramai.” Mas Fendi menggeleng. “Enggak perlu. Udah, lupakan saja. Cepat selesaikan makanmu, lalu kita keluar dari sini.” “Oke.” Sembari menghabiskan makananku, entah kenapa otakku terus berkelana berusaha mengingat temanku yang NIM awal dan sekelompok dengan Vina. Tentu saja, aku harus mencari yang potensial mudah disukai orang. Minimal, harus cantik dan aktif di kelas. Siapa, kira-kira? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN