8. Duh!

2035 Kata
Setelah dari Lotte Word, Mas Fendi juga sempat mengajakku ke Coex Aquarium. Ya, anggap aja ini mirip dengan Sea World di Jakarta. Yang jelas sama, view utamanya sama-sama aquarium raksasa. Selain mengunjungi tempat wisata, kami juga mencoba beberapa kuliner terkenal. Di luar jam makan kami mencoba makanan-manakan ringan. Rasa-rasanya, makanan di Korea tak ada habisnya. Sekarang, aku dan Mas Fendi sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli oleh-oleh. Jujur saja, harganya banyak yang membuatku melongo. Tahu begini, aku minta belanja di tempat yang biasa-biasa aja. “Sejak tadi kayaknya kamu cuma lihat-lihat, Sil. Belum ada satu pun yang kamu beli.” Mas Fendi sepertinya mulai heran kenapa sudah keliling sejauh ini, tetapi belum ada satu pun yang masuk dalam kantung belanjaku. “Mau jawaban jujur, atau jawaban bohong?” balasku sembari terus melihat-lihat. “Siapa yang suka jawaban bohong?” Aku tersenyum. “Jujur aja, Mas, harganya agak enggak masuk di akal.” “Tapi kamu bilang gajimu di MW tinggi. Harusnya harga-harga ini enggak masalah.” Aku tertawa pelan. “Itu beneran, sih, tapi tetap aja ini mahal-mahal banget. Harganya bisa tiga sampai empat kali lipat dari Jakarta. Nih, gantungan kaya gini doang sepuluh ribu won. Berapa kalau dirupiahin? Seratus ribu lebih, kan? Itu baru gantungan. Belum yang lain. Saya juga mendadak buntu mau kasih oleh-oleh apa buat orang rumah.” “Di sana ada macam-macam teh herbal. Kamu bilang Ayahmu suka yang berbau herbal, kan?” “Oh, mana? Boleh, ding. Itu aja. Bapak saya suka ngeteh juga.” Mas Fendi mengajakku menuju toko khusus yang menjual aneka minuman herbal. Sepertinya, merek-merek minuman di sini tidak dijual bebas di minimarket atau toko kelontong setempat. “Nah, yang ini enggak papa mahalan. Lebih masuk akal daripada harga gantungan tadi. Lebih manfaat juga.” “Yang ini enak, Sil. Ayah saya suka.” Aku menghampiri Mas Fendi dan melihat harga tehnya. Tidak bisa bohong, harga teh itu dua kali lipar dari teh yang barusan kusentuh. “Oke. Ini saya beli. Siapa tahu Bapak saya juga suka.” Baiklah, mumpung di Korea, pengeluaranku agak membengkak tidak apa-apa. Ini akan kujadikan motivasi untuk semakin semangat bekerja. Semoga bonus proyek juga lekas cair. Setelah membayar di kasir, kami keluar. Baru jalan beberapa langkah, kami melewati toko fashion. Kulihat di dalam ada baju, tas, sepatu, juga macam-macam aksesoris. Dari luar saja sudah sangat menyilaukan mata. “Mau masuk, Sil?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, Mas. Enggak perlu.” “Kalau antar saya masuk, mau?” “Hah?” “Saya mau beli sesuatu buat Ibu dan kakak saya.” “Oh... “ aku langsung mengangguk. “Boleh. Ayo, saya antar.” “Bantu pilihin juga boleh, Sil,” ucap Mas Fendi ketika kami berhenti di rak tas. “Biasanya selera sesama perempuan lebih masuk.” “Boleh, boleh. Ibu sama Kakaknya Mas Fendi suka yang kaya apa?” “Mereka suka yang simpel dan warnanya netral. Biar bisa disesuaikan dengan banyak baju. Jarang sekali saya lihat mereka mengenakan warna-warna mencolok.” “Bentar ...” aku melihat-lihat sejenak. “Harga enggak masalah, kan?” “Enggak masalah.” Aku berjinjit, lalu mengambil tas warna khaki dan warna putih. “Dua ini cantik. Yang ini style-nya agak tua. Jadi cocok buat Ibunya Mas Fendi. Yang ini buat kakak karena lebih trendy. Gimana?” “Seleramu bagus. Satu lagi, Sil.” “Buat?” “Dewasa muda. Ya, seumuranmu.” “Ey! Jangan-jangan buat yang tadi—“ “Cepet, bantu saya pilihin.” “Oke.” Aku mendongak lagi, memilah-milah. Akhirnya, pilihanku jatuh pada warna hitam. “Ini gimana, Mas? Hitamnya elegan aja, gitu.” “Menurutmu, ini bagus?” “Baguslah! Simpelnya dapat, elegannya dapat.” Aku melihat bandrol yang ada di bagian samping. “Harganya yang enggak dapat.” Mas Fendi tertawa pelan. “Kalau saya tanya sesuatu, kamu tersinggung atau enggak?” “Apa dulu? Kalaupun saya tersinggung, akan saya coba maafkan.” “Itu ... kamu sandwich generation? Maksud saya, hasil kerjamu enggak hanya kamu nikmati sendiri?” Aku tersenyum. “Pertama-tama, saya enggak tersinggung sama sekali. Kedua, jawabannya iya. Itulah kenapa dari tadi saya agak perhitungan. Kalau ada yang lebih miring dengan kualitas yang hampir sama, kenapa pula saya harus mengeluarkan budget lebih? Tapi bukan berarti saya seirit itu, lho! Kadang-kadang, saya juga spend banyak uang untuk belanja. Ya lihat-lihat kondisilah. Kenapa, emang?” “Enggak. Saya hanya salah fokus dengan kamu yang terus memikirkan Ayah dan Ibumu, juga adik-adikmu. Kayaknya kamu belum beli untuk dirimu sendiri.” “Namanya juga oleh-oleh, Mas. Pasti yang lebih saya pikirkan jelas orang rumah.” “Tapi kamu belum beli apa pun untuk dirimu sendiri.” “Enggak papa. Saya udah sering belanja di Jakarta. Kalau mereka kan nunggu saya yang kirim.” “Kamu enggak ingin membeli sesuatu?” Aku mengedarkan pandangan, lalu menggeleng. “Kalau fashion gini, saya bisa beli di Jakarta. Dan ingat, saya masuk ke sini karena Mas Fendi yang ngajak.” “Ya sudah, saya bayar dulu. Kamu tunggu di luar.” Aku mengangguk. “Oke. Saya tunggu di bangku depan itu.” Sementara Mas Fendi mengantri di kasir, aku bergegas keluar. Namun, sebelum benar-benar keluar, aku berhenti sejenak di ambang pintu. Aku mendadak salah fokus dengan tas yang tergantung di manekin samping pintu masuk. “Cantiknya ... sayangnya, pasarmu bukan aku.” *** “Wah ...” tak henti-hentinya aku tersenyum menatap indahnya Kota Seoul dari Namsan Tower. Andai aku dan Vina keluar bersama, kami pasti akan mengambil banyak foto di sini. Sayang sekali, dia sudah ke tempat ini dua hari yang lalu, dan malam ini aku baru bisa merealisasikannya. “Sil ...” “Iya?” Aku menoleh. “Kenapa, Mas?” “Mau foto atau enggak?” Aku langsung tersenyum. “Mau, tapi saya malu. Saya mati kutu kalau difotoin.” “Kenapa harus mati kutu?” Mas Fendi mengedarkan pandangan. “Saya lihat orang lain sibuk mengambil foto, jadi saya tawari kamu. Barangkali kamu juga mau.” “Ya mau, Mas. Cuma itu tadi.” “Anggap saja saya Vina.” Aku tertawa. “Baiklah.” Aku merogoh tasku dan mengulurkan ponsel. “Pakai punya saya, Mas.” “Udah, kamu di situ saja. Saya foto dari sini. Angle-nya bagus.” “Ah, oke.” Ngomong-ngomong, Mas Fendi benar. Di sekitar kami banyak orang sedang mengambil foto. Sejak tadi pun sebenarnya aku sangat ingin meniru mereka, hanya saja aku terlalu malu minta tolong Mas Fendi untuk mengambil fotoku. Untungnya, dia cukup peka. “Mas Fendi mau foto juga atau enggak?” “Enggak. Saya sudah banyak foto di sini.” Aku mengangguk. “Oke. Mana coba lihat foto barusan.” Mas Fendi langsung menyerahkan ponselnya. Aku agak kaget karena dia sesantai itu memberikan barang pribadinya padaku. “Galeri ada di pojok bawah paling kanan.” “Iya.” Aku melihat beberapa fotoku, dan hasilnya bagus. Aku lekas mengirim semua foto itu ke ponselku. Setelah cukup, aku langsung menghapusnya sampai tak tersisa. Aku kurang nyaman kalau fotoku tersimpan di ponsel orang lain. “Ini semuanya sudah saya hapus. Menuh-menuhin memory, nanti.” Aku meringis. “Sudah kamu kirim, tapi, kan?” “Sudah, dong!” “Oke.” Aku kembali berjalan ke arah pembatas— yang dipenuhi dengan gembok-gembok cinta, dan Mas Fendi pun menyusulku. Dia tidak lagi duduk di tempat sebelumnya. “Karena sudah sampai di sini, saya sudah cukup puas,” ucapku beberapa saat kemudian. Aku menoleh, menatap Mas Fendi yang kini berdiri di samping kananku. “Terima kasih banyak, Mas.” “Sama-sama. Setidaknya, saya menerima uang dari Alan tanpa rasa dosa.” Aku tertawa. “Saya malah senang kalau Mas Fendi gini. Jadi yang santai, gitu.” “Jangan-jangan kamu beneran mengira kalau saya—“ “Enggak, enggak!” Aku menggeleng keras. “Intinya lebih enak aja. Mungkin saya terbiasa merasa apa-apa enggak ada yang gratis. Jadi saya lega kalau setidaknya Mas Fendi ada imbalan dari Kak Alan. Uang ganti rugi saya juga emang harus besar, sih. Gimanapun juga, saya mempertaruhkan pertemanan saya dengan Vina.” Aku tertawa pelan di ujung kalimat. “Tapi kamu memang setuju mereka bersama?” “Yes. Bahkan sangat setuju. Sejujurnya, uang hanyalah bonus. Barusan saya cuma bercanda. Tanya Kak Alan kalau enggak percaya. Uang ganti rugi kan dimulai karena ada penurunan fasilitas selama di Korea agar mempermudah jalannya. Sebelum itu, saya memang mau membantunya.” “Ada alasan khusus?” “Ada. Karena Vina dan Kak Alan adalah dua di antara banyaknya orang yang harus saya syukuri. Maaf, saya enggak bisa bilang semuanya. Tapi intinya, saya akan sangat senang kalau mereka bisa bersatu.” Mas Fendi manggut-manggut. “Mereka memang cocok.” “Sangat cocok.” Tiba-tiba saja, angin berembus sangat kencang, membuatku bergidik dan mengeratkan jaket. “Mau turun sekarang? Kayaknya, kamu mulai kedinginan.” “Iya, turun sekarang saja.” Aku dan Mas Fendi akhirnya bergegas menuju tangga. Baik naik atau turun, kami lebih memilih untuk jalan kaki. Kali ini, aku membiarkan dia berjalan tepat di sampingku. *** “Alan dan Vina masih di luar?” tanya Mas Fendi ketika kami berhenti di lampu merah. Kami sudah dalam perjalanan pulang. “Iya, mereka masih di pinggir Sungai Han.” Aku memasukkan ponsel setelah beberapa detik yang lalu membalas pesan Vina. “Kencan di pinggir Sungai Han memang sepertinya memberi kesan tersendiri.” “Jangan-jangan Mas Fendi pengalaman?” Mas Fendi tertawa, lalu menggeleng pelan. “Bukan saya, tapi kakak saya.” “Ah ...” Perjalanan pulang menuju hotel tak perlu menunggu lama. Hanya butuh dua puluh menitan—sudah termasuk lampu merah yang panjang, kami sudah tiba di basement. Aku turun lebih dulu dan langsung mengambil barang belanjaan—yang tak seberapa— di jok belakang. “Lho? Kok saya baru sadar kalau tas belanjaan Mas Fendi jadi lebih banyak dari perkiraan? Memangnya tiap belanjaan satu-satu bungkusnya?” “Iya, kayaknya satu-satu.” “Pantesan.” Agak ironi, ya? Aku yang perempuan malah cukup membawa stau paper bag saja. Itu pun ukuran sedang. “Sil, saya boleh minta tolong bawakan satu?” “Oh, boleh-boleh. Yang mana?” “Ini.” Mas Fendi menyerahkan satu paper bag yang paling besar. “Itu saja.” “Oke.” Kami berdua masuk lift berurutan. Mas Fendi lebih dulu, baru aku kemudian. Namun, baru saja aku masuk, sudah ada segerombolan orang yang menyusul masuk. Salah satu dari mereka menubrukku dengan keras, membuatku kehilangan keseimbangan. Otomatis, aku langsung terdorong dengan mudah. “Aduh!” Seketika, suara riuh orang ber-Bahasa Korea memenuhi lift. Mau protes, mereka juga tidak akan mengerti bahasaku. “Sssil!” “Hah?” Aku mendelik. Aku buru-buru mundur, tetapi punggungku menubruk punggung orang dan membuatku kembali terdorong. Kondisi kedua tangan yang memegang barang bawaan membuatku mudah kehilangan keseimbangan. Kini mataku memejam. Pasrah dengan keadaan. “M-mas, lantai lima udah kelewat kayaknya,” ujarku lirih. “Tunggu mereka keluar, baru kita turun. Tadi saya belum sempat pencet tombol, mereka sudah masuk.” “O-oke.” Aku tidak yakin lift berhenti di lantai berapa ketika semua orang rusuh ini akhirnya keluar. Aku mundur, lalu berjalan ke sudut. Mataku memejam lagi, mengingat hal memalukan yang terjadi beberapa saat yang lalu. Dorongan pertama membuat Mas Fendi mencium keningku, atau lebih tepatnya, keningkulah yang menghampiri bibirnya. Sementara itu, dorongan kedua membuatku refleks memeluknya. Serius, aku tidak mengada-ngada! Itu benar-benar terjadi. Lift akhirnya turun. Mas Fendi menekan tombol 5 dan lift berhenti di lantai tempat kamar kami berada. Aku buru-buru keluar dan berjalan cepat menuju kamar. “O-oh, iya, tasnya.” Mau tak mau, suka tak suka, aku jadi menunggu Mas Fendi yang entah kenapa jalannya terkesan pelan. Begitu dia sudah berdiri di depanku, aku menyerahkan tasnya. “I-ini tasnya, Mas.” “Buat kamu.” “Lah! Ya enggak bisa—“ “Dilarang menolak rezeki.” Detik berikutnya, Mas Fendi mengeluarkan cardlock dari saku jaketnya dan langsung masuk kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi. Akhirnya, aku pun buru-buru masuk kamar. Begitu menutup pintu, badanku seketika melorot ke lantai. Aku meraih keningku yang terasa lebih lembab dari bagian wajah yang lain. Aku memejamkan mata erat, lalu kakiku mulai menendang-nendang ke udara. “Bu, keningku udah enggak perawan lagi!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN