Hal yang pertama kali aku dan Mas Fendi lakukan begitu keluar hotel adalah makan malam. Dia mengajakku makan samgyetang gara-gara Kak Alan dan Vina juga makan makanan itu malam ini. Hanya saja, kami makan di tempat yang berbeda dengan mereka.
Dipikir lagi, dari banyaknya makanan yang ada di Korea, makanan itu memang sangat cocok untuk menemani dinginnya udara malam hari di musim dingin. Ditambah lagi, makanan ini juga sudah masuk dalam list makanan yang wajib kucoba selama di sini. Terlepas nanti rasanya cocok atau tidak di lidahku.
Pesanan kami akhirnya datang. Dari tampilannya, itu cukup meyakinkkan. Baunya juga wangi.
“Baunya khas banget.” Aku menghirup uapnya berulang kali.
“Yang paling kuat ini bau gingseng.”
“Ah ... gingseng bisa bikin badan hangat, kan?”
Mas Fendi mengangguk. “Iya. Makanya kalau sedang musim dingin, makanan ini menjadi salah satu makanan yang paling laris.”
“Dari tampilannya saja sudah meyakinkan.”
“Coba dulu, kamu cocok atau tidak. Soalnya orang Indo tidak semuanya cocok dengan makanan ini.”
Aku mengambil sendok, lalu menyeruput kuahnya.
“Gimana?” Mas Fendi bertanya lagi. Sepertinya dia pernah mencoba makanan ini karena reaksinya biasa saja setelah mencicipi kuah.
“Enak, cuma sedikit hambar.”
“Itu ada garam dan bumbu lainnya. Sesuaikan saja dengan seleramu.”
“Iya.”
Baru beberapa suapan masuk, aku sudah ingat Bapak di rumah. Beliau sangat suka dengan hal-hal berbau rempah dan herbal. Pasti beliau akan sangat suka dengan makanan ini.
“Kenapa diam?”
Aku menggeleng. “Enggak papa. Saya cuma ingat Bapak saya di rumah. Beliau pasti suka makanan ini karena beliau tipikal orang yang suka dengan bau-bau khas begini.”
“Kamu bisa mencari resep di internet dan bikin sendiri di rumah.”
“Oh, bener juga.” Entah kenapa, aku mendadak senang sendiri. “Itu ide bagus. Lain kali akan saya coba kalau sedang pulang kampung. Terima kasih.”
Aku menyeruput kuah lagi setelah menambah garam, lalu manggut-manggut. Meski bukan kesukaanku, tetapi makanan ini masih bisa kumakan dengan nyaman.
Di tengah-tengah makan malam, tiba-tiba ponselku bergetar. Ternyata ada panggilan dari Ibu. Aku melirik Mas Fendi, dia mengangguk. Artinya, dia mempersilakanku mengangkat telepon.
“Hallo, Bu?” sapaku pelan.
“Hallo, Sil. Ibu mau telepon kamu dari kemarin, lupa. Kemarin sampai di Korea jam berapa?”
“Jam tujuh lebih kayaknya, Bu. Kenapa?”
“Ya enggak papa. Ibu tanya aja. Kamu baik-baik aja, kan?”
“Baik, Bu. Cuma agak kedinginan karena di sini lagi musim dingin. Terbiasa di tempat panas, jadi agak kaget sama suhunya.”
“Kalau gitu, jangan lupa minum obat. Jangan keluar malam. Atau ini malah lagi di luar? Di Gresik masih jam setengah enam, Sil. Di sana jam berapa?”
“Di sini jam setengah delapan, Bu. Beda waktunya cuma dua jam aja.”
“Beneran lagi keluar?”
“Iya, Bu.”
“Sama vina?”
Aku diam, tidak langsung menjawab. “Bukan, enggak sama Vina. Sama teman. Sama-sama kerja, kok, Bu.” Aku melirik Mas Fendi, dia masih saja asik makan.
“Oh, ya sudah. Ibu cuma mau mastiin kamu baik-baik aja di sana.”
“Baik, Bu. Ibu sama Bapak sehat?”
“Ibu sehat, Bapak yang enggak.”
“Loh? Bapak sakit apa?” tiap kali dapat kabar orang tua sedang sakit, baik itu Bapak ataupun Ibu, aku pasti langsung mencelos.
“Biasa, kecapekan. Namanya orang tua, Sil.”
“Udah minum obat?”
“Udah. Sekarang lagi tidur.”
“Ngomong-ngomong, sekarang aku lagi makan sup ayam herbal gitu, Bu. Dengar Bapak sakit, jadi makin keinget beliau.”
Ibu tertawa pelan di seberang sana. “Kamu ini dikit-dikit inget Bapak sama Ibu di rumah. Sakit biasa, Bapakmu itu. Udah, nikmati waktumu di sana. Ibu tutup teleponnya.”
“Iya. Salamin buat Bapak, ya, Bu.”
“Ya.”
Panggilan selesai, ponsel kembali kuletakkan di atas meja. Aku menarik napas panjang, lalu melanjutkan lagi makan malamku. Samgyetang-ku bahkan belum termakan separuhnya.
“Orang tuamu sakit?”
Aku menoleh, lalu mengangguk. “Iya. Biasa, Mas, orang tua tidak boleh kelelahan.”
“Mereka tinggal berdua saja?”
“Enggak. Adik saya ada dua di rumah.”
“Dua?”
“Iya. Yang satu udah kuliah, satu lagi baru masuk SMA.”
“Kamu anak sulung, berarti?”
Aku mengangguk lagi. “Iya, Mas. Mas Fendi sendiri anak nomor berapa?”
“Saya anak bungsu. Kakak saya satu, dia perempuan.”
“Sudah menikah?”
“Sudah sejak lama. Keponakan saya bahkan sudah tiga.”
“Wah ... pasti seru.”
Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba aku ingin menangis. Aku buru-buru meraih tisu dan menunduk. Aku menanggapi kalimat Mas Fendi untuk menghalau perasaan sedih ini. Ternyata gagal. Begitu diam, aku sulit mengontrol kesedihanku.
“Sil—“
“Maaf, maaf. Saya mendadak emosional kalau dengar kabar orang tua sakit.” Aku mengipasi wajahku sembari menahan sekuat tenaga agar tidak menangis lebih banyak. Sayangnya, sia-sia. Air mataku justru semakin keluar deras.
Aku hendak mengambil tisu lagi, tetapi habis. Sedangkan, aku hanya membawa tisu basah di tas.
“Pakai ini.” Tiba-tiba saja, Mas Fendi mengulurkan sapu tangan padaku. Aku menoleh, dia mengangguk.
Akhirnya, aku meraih benda itu dan menangis dalam diam. Aku tidak lagi berselera menghabiskan samgyetang-ku karena yang ada di ingatanku saat ini hanyalah wajah Bapak yang semakin lama semakin keriput termakan usia.
***
Setelah makan, Mas Fendi mengajakku ke sebuah tempat dengan puluhan—bahkan ratusan stand makanan. Jujur, aku tidak tahu di mana ini. Yang jelas, masih area Seoul. Kami hanya menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh menitan dari resto samgyetang tadi.
“Ambil ini.” Sebuah makanan lonjong melengkung tiba-tiba sudah ada di depanku. Aku mendongak, Mas Fendi sedang mengigit makanan yang sama.
“Buat saya?”
“Kalau bukan?”
Aku meraih mekanan itu, lalu tersenyum. “Terima kasih.”
“Namanya churros. Ini juga masuk dalam list makanan favorit saat musim dingin. Sama ada lagi, namanya bungeoppang. Roti ikan dengan isi pasta kacang merah atau krim custard.”
“Mas Fendi pasti pernah ke Korea sebelumnya. Kok kayaknya tahu banyak banget tentang negara ini?”
“Kalau tidak salah hitung, ini sudah kelima kalinya.”
Aku menganga kaget. “Banyak banget!”
“Memang. Kalau bukan tuntutan pekerjaan, saya sampai bosan ke sini.”
“Kita sangat berkebalikan. Di saat Mas Fendi sudah berkali-kali sampai bosan, saya malah baru pertama kali dan sangat excited.” Aku mengigit makanan yang baru saja Mas Fendi berikan, lalu terdiam sesaat.
“Gimana? Enak, kan?”
Aku langsung mengangguk berulang-ulang. “Enak, enak banget.”
“Syukurlah kalau kamu suka. Setidaknya, saya tidak sia-sia antri panjang.”
Aku meringis. “Makasih banyak, Mas.”
“Ya.”
Tanpa dijelaskan sekalipun, aku tahu kalau Mas Fendi sedang berusaha menghiburku. Jangan salah paham. Menghibur di sini mungkin sekedar agar aku tak berlarut-larut dalam kesedihan. Aku juga tidak akan mengartikan apa yang dia lakukan barusan sebagai perhatian lebih.
“Saya minta maaf, Mas ...” ucapku beberapa saat kemudian.
“Kenapa tiba-tiba minta maaf?” balas Mas Fendi tanpa menoleh. Dia masih asik mengigiti churros-nya.
“Karena tangisan saya mungkin merusak suasana malam ini.”
“Itu bukan sebuah kesalahan, jadi tidak perlu minta maaf. Saya tidak akan menghakimi seorang anak yang menangisi orang tuanya yang sedang sakit di rumah. Itu sangat wajar.”
“Sakit biasa, padahal. Emang sayanya aja yang tadi agak berlebihan.”
“Kamu tidak tinggal dengan orang tuamu, makanya reaksimu begitu. Iya, kan?”
Aku mengangguk, lalu menggigit lagi churrosku. “Sejak kuliah, saya hidup merantau. Itu artinya, kurang lebih sudah sepuluh tahun saya tidak hidup serumah dengan mereka.”
“Rumahmu di mana?”
“Gresik, Jawa Timur.”
“Gresik itu dekat dengan Surabaya?”
Aku mengangguk. “Betul. Dan kebetulan Gresik-nya saya yang mepet Surabaya. Mungkin motoran lima menit udah masuk area Surabaya.”
“Berapa kali pulang dalam setahun?”
“Kalau belakangan ini, mungkin dua sampai tiga kali dalam tahun. Tapi kalau dulu, kadang enggak pulang sama sekali.”
Mas Fendi menoleh. Dia tampak terkejut. “Sama sekali tidak pulang?”
“Iya, sama sekali. Ongkosnya terlalu mahal. Bisa untuk biaya hidup saya sebulan.”
Mas Fendi menatapku lurus. Raut wajahnya masih agak terkejut.
“Jangan natap saya kaya gitu, Mas. Saya jadi merasa dikasihani. Jangan mengasihani saya. Gaji saya di MW cukup tinggi, kok. Sekarang saya bisa pulang kapan saja asal dapat libur dari kantor.” Aku meringis, lalu memakan lagi dan lagi churros-ku. “Maaf kalau saya sedikit oversharing. Saya bilang ini untuk sedikit menjelaskan kenapa saya mudah sekali menangis jika mendengar orang tua sakit. Bahkan sakit biasa sekalipun. Ya, karena saya jarang membersamai mereka.”
“Dan di saat yang sama kamu juga merindukan mereka?”
“Iya, bisa dibilang begitu. Jadi saya mudah sekali emosional.”
Mas Fendi mengangguk. “Alasanmu masuk akal. Bisa saya terima.”
“Enggak masuk akal dan enggak bisa diterima pun enggak masalah. Itu di luar kendali saya.” Aku menghabiskan churros-ku, lalu berdiri. “Saya haus, Mas. Beli minum di mana?”
“Tergantung mau minum yang seperti apa?”
“Meski dingin gini, saya pengen yang dingin karena barusan makanannya manis.”
“Di ujung sana ada minimarket.”
Aku mengangguk. “Oke. Saya ke sana dulu—”
“Saya antar. Kalau kamu hilang, saya dalam masalah besar.”
“Kak Alan mewanti-wanti? Saya bukan anak kecil. Jadi, jangan khawatir.”
“Bukan hanya Alan. Vina pun pasti akan marah kalau kamu sampai kenapa-napa.”
Aku tersenyum. “Benar juga.”
Aku jalan cepat lebih dulu. Aku sama sekali belum nyaman jalan berdampingan dengan Mas Fendi. Setelah mengenal dua hari ini, kurasa dia orangnya cukup baik. Sepertinya cocok untuk dijadikan teman. Namun, tetap saja, prosesnya bertahap.
“Yang itu, kan, Mas, minimarketnya?”
Tidak ada jawaban. Aku menoleh, ternyata Mas Fendi sedang menepi dan mengangkat telepon. Akhirnya, aku tetap lanjut menuju minimarket untuk membeli minuman dingin.
Di saat aku masih memilih minuman, ada pesan masuk dari nomor baru. Itu adalah nomor Mas Fendi. Aku memang belum sempat menyimpan nomornya.
085xxxxxxxxx
Sil, saya ada urusan bentar. Ternyata ada sedikit masalah dengan surat-surat mobil.
Kamu tunggu di kursi minimarket. Maksimal setengah jam, saya sudah kembali.
Jangan ke mana-mana. Di sana harusnya aman.
Aku langsung membalas, ‘Ok.’
Setelah memilih minuman, aku bergegas ke kasir untuk membayar. Ngomong-ngomong, aku membawa cukup banyak mata uang won di dompet.
“Kamsahamnida ...”
Setelah mendapat kembalian, aku berjalan ke arah kursi panjang yang ada di dekat jendela. Ya, bayangkan saja bentuknya seperti kursi tunggu di beberapa indomaret point.
Aku membuka satu kaleng minuman yang kubeli, lalu meneguknya sampai hampir habis. “Wah ... seger banget.”
Makanan manis memang cenderung mudah membuat haus. Ternyata tidak buruk juga musim dingin minum air dingin. Kulihat, beberapa orang lokal juga membeli minuman yang sama denganku. Sepertinya, minuman yang kubeli adalah salah satu minuman best seller di sini.
Kaleng pertama habis, aku lajut minum kaleng kedua. Aku membeli empat kaleng untuk berjaga-jaga barangkali Mas Fendi juga mau.
“Mas Fendi lama banget ...” aku melihat jam di ponsel. Lima belas menit sudah berlalu. “Aduh, kepalaku pusing.”
Aku menelungkupkan kepala di atas meja panjang di depanku. Semakin lama, kepalaku semakin terasa pusing.
“Enggak, aku enggak boleh tidur di sini!” aku menegakkan badan, lalu menggeleng pelan. Mataku entah kenapa juga mendadak kabur.
Di saat aku masih berperang dengan rasa pusing, tiba-tiba seseorang datang. Aku menoleh, ternyata Putra. Dia adalah adikku yang pertama. Alias anak nomor dua.
“Putra, kenapa kamu di sini?”
“Sil! Kamu mabuk?” Putra mendekat padaku dengan wajah panik.
“Hah? Mabuk apa! Mana ada mabuk!”
“Kamu beli minuman sembarangan? Kan sudah saya bilang, minuman kemasan di sini banyak yang mengandung alkohol! Milihnya harus hati-hati!”
“Jangan marah-marah! Yang sopan sama mbakmu! Nanti enggak kukirim uang lagi!”
“Sisil, kamu bahkan habis dua kaleng?!”
Aku tidak membalas lagi karena kepalaku terasa pusing sekali. Dunia di sekitarku rasanya berputar-putar. Berikutnya, aku merasa badanku ditarik untuk berdiri dan dibawa keluar.
“Put, sejak kapan kamu jadi setinggi ini?” Aku berhenti, lalu menangkup wajah Putra. “Terus sejak kapan kamu jadi seganteng ini? Eh, tapi adikku emang ganteng! Aku mengakui itu. Wajar ... kan Mbakmu iki yo cantik!”
“Iya, kamu memang cantik.”
Aku tersenyum. “Awas aja kalau kamu muji karena ada maunya!”
“Kamu beneran mabuk berat, Sil.”
“Kok mabuk, sih? Enggak! Aku enggak mabuk!”
Aku masih sadar saat dibawa masuk ke dalam mobil. Aku juga masih sadar ketika aku dipakaikan seat belt.
“Sil ...”
Mataku membuka. “Hm? Oh! Kok Mas Fendi?”
“Lain kali lebih berhati-hatilah.”
“Berhati-hati kenapa?”
“Bagaimanapun, saya tetaplah laki-laki— Sisil!!!”
Setelah pekikan keras itu, aku limbung ke kanan dan tidak ingat apa pun lagi.
***