3. Bukan Ajakan Kencan

2147 Kata
Sampai malam tiba, aku sulit tidur. Padahal, tadi aku sempat mual karena lama di perjalanan. Sejauh ini, tujuh jam di pesawat sudah rekor terlamaku. Sekarang kepalaku agak pusing, dan aku pun sudah minum obat. Hanya saja, mata ini entah kenapa sulit sekali diajak kompromi. Saat ini di korea sudah pukul sebelas malam. Itu artinya, di Indonesia—bagian barat— masih pukul sembilan. Perbedaan waktunya memang tidak signifikan. Hanya semacam WIB dan WIT saja. “Aduh! Kok enggak bisa merem, sih?” aku bangun, lalu mengedarkan pandangan. Tidak mungkin aku sulit tidur karena pengaruh kamar. Justru harusnya aku cepat tidur karena kamar ini jauh lebih baik dari kamar kosku di Jakarta. Serius, kamar ini sangat lebih dari cukup untukku menginap selama empat hari. Mungkin tidak bisa dibandingkan dengan kamar Vina di atas, tetapi tetap saja sudah sangat bagus. Ruangannya luas, fasilitasnya pun lengkap. Bicara kosku di Jakarta, sejak bekerja aku ambil kos kelas menengah. Maksudku, tidak terlalu bagus, pun tidak terlalu jelek. Yang paling penting, kosnya bersih dan nyaman. Lokasinya pun tidak terlalu jauh dari kantor. Namun, jika dibandingkan dengan saat aku kuliah dulu, jelas sudah jauh meningkat. Saat kuliah, aku sewa kos yang benar-benar seadanya. Itu karena budget-ku sangat amat terbatas. Kamarnya kosongan. Aku tidur dengan kasur lantai tipis yang kubeli di pasar. Lemari pun awalnya menggunakan kardus. Aku baru bisa beli lemari—itu pun lemari kain yang murah— setelah uang beasiswaku cair. Ah, sampai detik ini aku masih sering ingin menangis tiap kali ingat perjuanganku dulu. Hampir semua usaha sudah kulakukan demi bertahan hidup. Dua hal yang belum pernah kulakukan adalah mengamen dan mengemis. Bahkan jualan barang rongsok pun pernah kulakukan. Saat itu aku membantu bapak-bapak pemilik toko yang sedang mengemasi kardus bekas. Lumayan, saat itu aku dibayar dua puluh ribu dan akhirnya bisa makan. Semua perjuangan itu kusimpan sendiri. Bapak dan Ibu tidak pernah tahu. Beruntungnya aku, aku memiliki teman sebaik Vina. Beruntungnya lagi, aku terpilih ikut lomba ke Singapura dan bertemu Kak Alan di sana. Jika tidak, aku tidak tahu bagaimana mendapatkan uang untuk membeli laptop. Laptop dari Kak Alan memang bekas, tetapi mesinnya masih sangat bagus. Sampai skripsiku selesai, satu kali pun aku tidak pernah service. Mereka benar-benar berjasa besar dalam kehidupan perkuliahanku. Hal yang mungkin tak seberapa bagi mereka, bisa terasa begitu besar di tangan orang serba kekurangan sepertiku. Agaknya, sudah cukup. Nostalgianya harus kuhentikan di sini. Aku takut perasaan sedih di masa lalu akan menghancurkan mood-ku. Akhirnya, aku memutuskan untuk keluar menuju balkon kamar. Tak lupa, aku mengambil jaket tebal dan memakainya. “Wah ... pemandangannya bagus banget.” Padahal hanya di lantai lima, tetapi pemandangannya sudah seindah ini. Kota Seoul memang menjadi salah satu kota dengan penataan paling bagus di dunia. “Kenapa jam segini belum tidur?” Pertanyaan yang sangat tiba-tiba itu membuatku terperanjat. Aku sampai mundur dan punggungku menabrak pintu kaca di belakangku. “Mas Fendi ini ngagetin aja! Ngapain pula gelap-gelapan di situ?” Aku terkejut karena balkon di sebelahku lampunya tak dinyalakan. Kupikir tidak ada orang. Aku juga tidak berniat untuk melihat lebih jelas. Tak tahunya, saat ini Mas Fendi sedang duduk di atas sofa bulat yang ada di balkon. Dia duduk dengan selimut melingkar di badannya. “Pertanyaan saya belum dijawab,” ucap Mas Fendi lagi. “Harus banget saya jawab?” tiba-tiba, aku bergidik karena angin berembus kencang. “Terserah.” “Kalau terserah, saya enggak mau jawab.” Hening. Sepertinya, sebelum kembali canggung seperti tadi, ada baiknya aku kembali masuk kamar. Akan sangat lucu kalau kami berdua tetap di balkon dan hanya diam-diaman. “Saya masuk dulu—“ “Besok jangan telat. Itu mengurangi poin penilaian.” Aku menoleh sejenak, Mas Fendi masih menatap depan. Dia sama sekali tak menatap ke arahku. “Iya. Saya pastikan enggak akan datang telat.” “Bagus. Selamat malam, Sisil.” Aku tak menjawab dan memilih untuk buru-buru masuk kamar. Aku juga buru-buru menutup tirai jendela. “Padahal baru dua jam yang lalu dia ngucapin selamat malam, tapi barusan lagi. Udah jadi kebiasaankah?” *** “Vin, ayo cari makan. Pengen nyobain makanan khas sini,” ucapku tepat setelah aku dan Vina keluar ruangan meeting. Kabar bagus, agenda hari ini berjalan lancar dan tanpa hambatan. “Hah? Gimana, Sil?” “Pengen cari makan yang khas sini.” “Oke. Pengen apa?” “Tteokbokki, gimana? Selama ini baru makan versi Indonya. Pengen makan yang asli sini. Sama kimchi dan odeng juga.” Sudah kubilang, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan selama di Korea. Aku harus memanfaatkannya sebaik mungkin. “Ya, boleh. Kita ke hotel dulu buat ganti pakaian, terus lanjut jalan-jalan.” “Okey!” Aku mengapit tangan Vina dan kami pun masuk lift bersama. Saat ini kami sudah kembali mengenakan jaket tebal dan juga memakai Syal. Rasanya tak kuat melepas benda ini lama-lama. Suhu di luar dingin sekali, padahal saat ini masih siang bolong. Setibanya di lobi, aku dan Vina refleks berhenti begitu melihat Kak Alan dan Mas Fendi duduk di sofa dekat pintu masuk. Mereka langsung berdiri begitu melihat kami. Aduh! Kak Alan ini terlalu ngegas! Aku sudah mencium bau-bau gagal keluar dengan Vina. “Ada apa, ini?” Aku pura-pura menyenggol Vina. Ini termasuk dalam serentetan akting agar tak ketahuan. “Mana kutahu!” Vina membalas ketus. “Sil ...” Kak Alan memanggilku. “Iya, Kak?” “Saya mau ajak Vina keluar. Kamu pulang ke hotelnya biar diantar Fendi.” Vina mendelik, aku pun sama. Benar dugaanku. Kak Alan ini luar biasa ngegas-nya. “Saya mau kulineran sama Vina, Kak. Kalau di hotel gabut banget. Lapar juga.” Aku sedikit mengerutkan alis, berusaha memberi kode agar Kak Alan paham. Setidaknya siang ini saja, aku ingin keluar dengan Vina. “Kalau gitu, keluar berdua dengan Fendi. Dia juga gabut.” Aku melirik Mas Fendi, lalu buru-buru menggeleng. Tidak, aku tidak siap keluar dengannya. “Kak, ngajak Vinanya nanti malam aja, ya? Saya janji bolehin.” Mata Kak Alan seketika menyipit. “Memangnya kamu siapa sampai saya harus menunggu kamu membolehkan atau tidak, baru bisa ngajak Vina keluar? Kalau kamu tidak mau pulang dengan Fendi, saya pesankan taksi. Yang jelas, saya mau ngajak Vina keluar sekarang.” Ah! Sekarang aku baru menyadari sisi menyebalkannya seorang Alan Dzaka. Benar kata Vina. Kadang-kadang, orang ini memang semaunya sendiri. “Mas!” tiba-tiba, suara Vina langsung naik. “Saya belum bilang mau, loh! Saya maunya keluar sama Sisil. Pede amat asal ngajak keluar. Kaya saya udah pasti mau aja.” “Nah! Nanti malam saja, ya, Kak.” Aku nyengir. “Kalau nanti malam jam berapa?” Vina menoleh padaku dan langsung menatap tajam. Aku sendiri hanya meringis. Aku sadar kalau aku memang agak lancang karena berani mengambil keputusan atas dirinya. “Kalau tidak mau juga ya sudah. Kalian memang sulit diajak bekerja sama. Lebih baik saya pilih tim lain—“ “Nanti malam jam tujuh!” Vina menjawab cepat. “Memangnya mau ke mana?” “Suatu tempat.” Kak Alan tersenyum. “Sebutin dulu. Saya enggak mau kalau asal tempat aja.” “Namsan Tower.” “He?” Vina mendelik. “Itu tempat kencan!” “Memang. Saya ingin mengajakmu kencan di sana.” “Ehm! Ehm! Ehm! ” Aku langsung berdehem keras. Akan lucu kalau aku tak pura-pura meledek Vina. Tiba-tiba saja, Vina menarik Kak Alan menjauh. Dari ekspresinya saat ini, dia sepertinya ingin protes dan marah-marah. Mereka itu lucu, makanya aku setuju kalau mereka bersatu. “Alan pasti akan mengajak Vina keluar apa pun caranya. Kalaupun siang ini gagal, malam nanti tidak mungkin dia mau mengalah.” “Saya bisa keluar sendiri nanti malam,” balasku pelan. Aku tahu ke arah mana kalimat Mas Fendi. Ini karena Kak Alan berkali-kali menyebut tentang aku yang bisa mengajak Mas Fendi keluar untuk menggantikan Vina yang akan diculik olehnya. “Bukannya kamu belum pernah ke Korea?” “Ya memang. Terus kenapa?” “Kamu tahu atau tidak dengan budaya orang sini?” Aku yang tadinya memperhatikan Vina dan Kak Alan dari kejauhan, akhirnya menoleh. “Apa, memang?” “Di sini, alkohol sangat legal. Bahkan ada yang dijual di minimarket dalam bentuk minuman kemasan. Mungkin kandungannya saja yang berbeda-beda.” “Terus?” “Kalau malam tiba, banyak orang mabuk dan pingsan di pinggir jalan. Kamu tidak takut dengan mereka?” “Beneran sampai kaya gitu?” “Iya. Kalau kamu enggak percaya, nanti malam buktikan aja. Bahkan kadang ada yang tidur di pinggir jalan semalam suntuk.” Aku menganga keheranan. “Ya kalau gitu, saya keluar yang dekat-dekat aja.” “Terserah. Saya menawarkan karena Alan yang minta. Karena sudah pasti, Vina tidak akan dia biarkan keluar denganmu malam ini.” “Lihat nanti, deh! Sementara, saya bisa keluar sendiri.” Aku hanya tidak bisa membayangkan pergi berdua dengan laki-laki asing. Betapa canggungnya nanti! Tidak, aku tidak mau. “Sisil!” Vina tiba-tiba sudah berjalan cepat ke arahku. Ternyata dia sudah selesai bicara dengan Kak Alan. “Gimana, Vin?” “Ayo, kita makan!” Tanpa menunggu kuiyakan, Vina sudah menarik tanganku dan membawaku keluar lobi. Aku tersenyum. Tampaknya, Kak Alan masih gagal menaklukkan sahabatku ini. *** Aku agak lelah karena seharian ini banyak berakting di depan Vina. Aku sedikit merasa bersalah, tetapi ya sudah. Aku sudah terlanjur menyanggupi kerja sama ini. Aku harus menuntaskannya sampai akhir. “Ah, nyamannya.” Setelah mandi, aku merebah sejenak di ranjang. Aku tidak yakin malam ini akan keluar sampai mana kalau sendirian. Bukan aku takut, hanya saja pasti kurang seru kalau apa-apa harus sendiri. Masalahnya, ini di negara orang dan aku tak memiliki pengalaman. Kalau di negara sendiri, pergi sendiri sama sekali tak menjadi masalah. Setelah memejamkan mata sejenak, aku bangun dan bergegas ganti baju. Saat ini sudah hampir pukul tujuh. Aku tetap harus keluar apa pun yang terjadi. Sayang sekali kalau malam ini aku hanya menghabiskan waktu di dalam kamar saja. Kisaran pukul tujuh lebih lima belas menitan, aku sudah siap. Vina bilang dia akan keluar pukul tujuh tepat. Mungkin saat ini dia sudah dibawa Kak Alan menuju Namsan Tower. “Sil, sil ... ngenes amat enggak ada yang meperjuangkanmu!” aku bicara dengan diiriku sendiri lewat pantulan cermin. “Tapi enggak papa. Yang penting tetep happy!” Setelah kurasa penampilanku cukup, aku segera mengambil tas selempang yang tergeletak di atas meja. Aku mengecek lagi barang bawaanku, lalu bergegas keluar. Namun, baru saja aku menutup pintu dan menoleh, aku sudah berjengit kaget. Aku sampai mengusap dadaku berulang kali. “Mas Fendi ini hobi banget bikin saya kaget!” saking kagetnya, aku sampai merasa lemas. “Ngapain juga berdiri di situ?” “Sudah saya bilang tadi dan kemarin, Alan meminta saya untuk menemanimu.” “Kan udah jawab jawab, enggak perlu! Kalau saya minta, baru, deh. Untuk malam ini, saya bisa keluar sendiri!” “Ya sudah.” Mas Fendi yang tadinya bersandar pada dinding, kini menegakkan badan lalu berjalan meninggalkanku. Aku sendiri mengekor di belakangnya. Tujuan kami sama, sama-sama menuju lift. Begitu masuk, aku berdiri di sudut kiri sementara Mas Fendi di sudut kanan. “Hallo, Lan?” Aku refleks menoleh. Mas Fendi tampak sedang menerima telepon dari Kak Alan. “Santai aja. Aku udah dapat mobilnya. Enggak. Jadinya aku sendiri.” Mas Fendi melirikku sesaat. “Sisil enggak mau. Tererah dia, aku enggak akan maksa. Oke. Hm, ya.” Panggilan berhenti. Di saat yang sama, pintu lift terbuka. Mas Fendi keluar lebih dulu dan aku menyusul kemudian. Dia kini jalan beberapa langkah di depanku. Setibanya di halaman, Mas Fendi langsung menghampiri sebuah mobil putih. Dia berbicara dengan seseorang yang berdiri di samping mobil itu. Sepertinya orang itu adalah pemilik, atau bisa juga pegawai yang bekerja di rental mobil. Aku sendiri masih mematung di tangga depan teras. Jujur, sampai detik ini aku bahkan tidak tahu harus ke mana. Memang super tidak jelas! Mas Fendi akhirnya masuk mobil dan menyalakan mesin. Kupikir dia akan langsung pergi, tetapi ternyata mobilnya malah berjalan ke arahku dan berhenti tepat di depanku. “Penawaran saya datang sekali lagi. Sekali kamu bilang tidak, saya pergi. Mau ikut saya, atau lontang-lantung tidak jelas di negara orang? Putuskan dalam sepuluh detik.” “Tapi—“ “Sepuluh, sembilan ...” Aku diam, menimbang-nimbang. Dua pilihan itu sama-sama ada konsekuensinya. Harus bagaimana, ini? “Lima detik lagi—“ “Saya ikut!” ucapku tegas dan mantap. Aku pasti sudah gila. Bisa-bisanya aku langsung membuka pintu mobil dan buru-buru masuk. “Pakai seat belt-nya.” “Iya. Tapi mau ke mana kita?” “Kencan.” “Hah?” mataku mendelik. “Kenapa kaget? Saya bilang cari makan. Kamu dengarnya apa?” Aku melongo sesaat. “Saya dengarnya ... dengarnya ... enggak, enggak jadi!” aku bahkan malu mengatakannya. Akhirnya, Mas Fendi menjalankan kembali mobilnya. Sementara itu, aku masih terdiam karena kepikiran yang barusan. Kencan dan cari makan. Bukannya itu sangat jauh? Kenapa aku bisa salah dengar? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN