CB 17. Rencana Rumit — Complex Plan

2085 Kata
“Aku percaya 100% padanya. Tapi aku tidak percaya 1.000.000 % padaku. Bagaimana bisa mengerangkeng makhluk buas yang lebih dari 1 lustrum tidak pernah berburu?” Daniyal – Monster didalam diriku ⠀ Chana menyingkap tirai jendela kamar. Tersenyum penuh syukur kala bersitatap dengan surya yang mengintip dari balik gumpalan awan cerah. Bias sinarnya menerobos masuk, mengusir pengap dan kegelapan. Penuh semangat, ia membuka pintu tembus menuju balkon. Angin lembut seketika menerpanya. Chana memejamkan mata, menghirup oksigen dalam-dalam. Kesegaran seketika memenuhi rongga paru-parunya. Sungguh melegakan. Ia mengusap rambut panjangnya yang masih basah dengan handuk. Bersenandung kecil sambil berjemur sekejap dihujani kehangatan mentari. Sungguh ia bahagia masih bisa berlindung di tempat seindah ini. Meski ia tahu, suatu saat pasti ia harus pergi. Chana mendesah, berusaha mengabaikan kerisauannya. Awal hari mestinya tidak boleh dirusak oleh sugesti buruk. Pandangannya beralih ke teras samping lantai bawah. Dokter Alfa ternyata sudah bangun. Pria itu sedang berolah raga rupanya, pikir Chana ketika melihat Dokter Alfa sedang melakukan push-up. Tanpa Chana sadari, ia ikut menghitung pula. Tiga puluh. Tiga puluh satu. Tiga puluh dua. Wah ... hebat, batinnya. Sudah berapa lama Dokter Alfa melakukan push-up sebelum Chana turut menghitung? Tungkai kakinya panjang sekali .... Berapa tinggi Dokter Alfa? batin Chana penuh tanya. Chana mengingat kembali saudara-saudara Dokter Alfa. Mereka begitu besar laksana raksasa dan Dokter Alfa tidak kalah tinggi dan besar dari mereka. Apakah itu yang dinamakan gen blasteran? Chana penasaran, sebenarnya Dokter Alfa blasteran apa? Ada sedikit aura Eropa, tapi juga ada kesan timur tengah dari rupa dan perawakan mereka. Chana mengamati pria tampan itu lagi. Baju kaos putihnya mengetat setiap kali pria itu bergerak. Mencetak otot-otot yang sempurna. Keringat pria itu mengilap membanjiri kulit dan membuat rambut cokelatnya terkulai lemas. Pria itu berdiri, lalu mengambil barbel, mengangkatnya bergantian di kedua tangannya. Chana terpana menatap otot biseps, triseps, yang tampak begitu kencang dan kekar itu. Barbel itu terlihat berat sekali dan Dokter Alfa mengangkatnya seakan-akan benda itu hanya sekerat lilin. Pantas saja dia sanggup memanggul tubuh Chana malam itu hanya dengan satu tangan. Chana berdecak. Mendesah lelah, menatap langit. Lalu … kembali beralih menatap Dokter Alfa. Kenapa ia tidak bisa berpaling dari pria itu? Apa ini hari libur sang dokter? Biasanya pria itu tidak pernah ada di rumah jam segini. Tumben. Dokter Alfa tiba-tiba membuka kaos yang dia kenakan. Wooow ..., sontak Chana ternganga. Terpesona. Ini terlalu sempurna. Mungkinkah manusia biasa bisa terlihat sebagus ini? Bagaimana mencari cacat pria itu? Aha! Chana tahu. Fisik Dokter Alfa memang luar biasa menawan, tapi ... mentalnya 'tidak normal'. Chana mengingat perkataan Dokter Keanu saat terapi waktu itu. Memangnya apa yang menjadi penyebab Dokter Alfa butuh bantuan? Lalu apa yang bisa Chana lakukan? Ia saja tidak tahu bagaimana cara menolong dirinya sendiri. Lagi pula mulut pria itu suka bergerak semaunya. Enak saja mengatai Chana 'Liliput'! Chana itu imut, bukan liliput! Chana menjulingkan mata, meleletkan lidahnya ke arah sang dokter. Namun tiba-tiba Dokter Alfa menoleh ke balkon, persis ke arahnya. Chana terperanjat. Apa ia ketahuan menjulurkan lidah tadi? Tatapan pria blasteran itu begitu tajam, membuat Chana bergidik dan segera berpaling. Jangan-jangan pria itu bakal mengamuk lagi! Chana ogah jadi sasaran keganasannya! Hiiiii ... seraaammm ....!!! Ia buru-buru ngacir, masuk ke dalam kamarnya. ⠀ Di teras sana, Daniyal menyeringai. Sebenarnya ia sudah tahu sejak tadi Chana memperhatikannya. Hanya saja, kalau biasanya ia sangat risi ditatap kebanyakan wanita, tapi dipindai oleh Chana, entah mengapa ia merasa ingin pamer body seksinya. "I'm so hot, right?" kekehnya penuh percaya diri, menatap kibasan surai hitam Chana yang menghilang dari balkon. Hmm ... berhasil membuat Chana nge-blush membuatnya jadi girang.⠀ *** Pukul delapan pagi Chana turun ke lantai bawah. Mbok Sumi sudah memanggilnya dan mengatakan Dokter Alfa sudah berangkat kerja sejak tadi. Syukurlah. Chana masih merasa canggung bertemu dengan pria itu. Ia melompati dua anak tangga paling bawah sekaligus sambil bersenandung riang. Membayangkan sarapan apa yang disiapkan Mbok Sumi. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Chana berlari kecil penuh semangat ke arah ruang makan. Namun langkahnya berhenti mendadak ketika melihat bukan hanya Mbok Sumi yang berada di sana, tetapi juga Dokter Alfa. Mbok Sumi menatap Chana dengan mata penuh permintaan maaf. Sepertinya si Mbok disuruh berbohong mengatakan Dokter Alfa sudah pergi. Chana menelan ludah, menatap Dokter Alfa cemas. Pria itu ternyata sudah mandi. Dia hanya berpakaian kasual, kaos putih lagi, juga celana gunung hitam dengan banyak saku. Rambutnya yang masih agak basah disisir ke atas. Membuat siluet wajahnya nampak lebih keras. Apalagi dengan bulu-bulu yang baru tumbuh di rahang. So manly. Jantung Chana berdebar kencang. Pria itu melirik Chana. Lagi-lagi tatapannya begitu tajam, membuat Chana merinding. Ia mencoba mengingat-ingat kembali. Apa ia melakukan kesalahan akhir-akhir ini? Ia sudah menghindari Dokter Alfa selama berhari-hari agar mereka tidak bertengkar lagi. Atau mungkin karena kunjungan tak terduga saudara-saudara Dokter Alfa kemarin? Apa sebegitu berbahayakah menampungnya di sini? Chana harus bertanya! Dari kemarin ia belum mendapat kesempatan yang tepat untuk meminta penjelasan. Dokter Alfa juga terus menghindarinya. Padahal Chana sudah menunggu pria itu saat makan malam, tapi Dokter Alfa malah meminta Mbok Sumi mengantarkan makanan ke kamarnya. ⠀ Pria itu mengode Chana untuk segera duduk. Dengan canggung, Chana kembali bergerak dari depan pintu dan duduk dengan hati-hati, terpisah lima kursi di seberang meja Dokter Alfa. "Jauh sekali Chana ...," ujar pria itu malas-malasan. "Duduk di depanku." Kenapa sih, Dokter Alfa selalu menggunakan nada perintah begitu? Chana menarik napas. Ini masih pagi. Sabar ... sabar .... Orang kaya memang suka seenaknya, batin Chana sambil berpindah posisi. Mbok Sumi menghidangkan s**u, nasi goreng tanpa tomat dan roti bakar dengan selai cokelat bertabur keju kesukaan Chana. Chana mengucapkan terima kasih pada wanita paruh baya itu. "Apa tidurmu nyenyak malam tadi, Chana?" tanya Dokter Alfa memulai pembicaraan. Apa ini pertanyaan basa-basi? pikir Chana. Mungkinkah sebentar lagi Dokter Alfa akan mengusirnya? Ke mana ia mesti pergi? Sepertinya Dokter Alfa akan membicarakan hal serius. Chana mengangguk pelan tanpa menatap mata Dokter Alfa. Jantungnya berdentam-dentam. Ia sudah mulai merasa nyaman di rumah ini, dengan Mbok Sumi dan Pak Mansur juga. Apa Dokter Alfa akan tega menendangnya dari sini? "Begitu nyenyak?" pria itu bertanya lagi. Chana menatapnya heran. "Ya, tentu saja. Malam tadi sangat dingin, jadi tidur terasa lebih nyenyak." Chana membuat jawabnya lebih panjang. "Bagus," ucap pria itu menggertakkan gigi sambil menyesap espresso-nya. Bagus sekali. Chana tertidur nyenyak sementara ia begadang sampai pagi. Hanya karena gadis itu begitu sexy semalam, Daniyal jadi mandi air dingin di malam yang dingin. Menabjukkan. Tapi sahabat karibnya tidak tidur-tidur juga, menyebalkan. Ia bahkan berolah raga sampai pagi. "Dokter sedang libur hari ini?" tanya Chana lagi. "Kita sedang tidak di Rumah Sakit Chana, tidak perlu memanggilku 'Dokter' di sini. Cukup nama saja." Chana terdiam. Memanggil nama saja biasanya untuk orang yang benar-benar dekat. "Namaku Daniyal Rafan Alfaraz, mungkin kita perlu perkenalan yang tepat untuk awal yang baik." Daniyal mengulurkan tangannya dan tersenyum kecil. Senyum yang langka. Chana membalas uluran tangan tadi meski sedikit gugup. "Aku Chana," ucapnya dengan pipi bersemu. Perlukah mereka melakukan perkenalan yang memalukan ini? "Well, selamat makan Chana. Makan yang banyak. Lalu bersiap-siaplah, kita akan pergi." Sendok di tangan Chana terhenti di udara. Netranya menatap nanar Dokter Alfa tak percaya. Ternyata benar, pria ini akan menyuruhnya pergi. Ia mendesah berat. Tentu saja. Lagi pula siapa, sih, manusia yang mau menampung orang tak dikenal yang bisa saja membahayakan dirinya, batinnya Chana sedih. Ia mengangguk perlahan, tak berdaya. "Aku tahu kamu pasti bosan di rumah saja, jadi aku akan mengajakmu jalan-jalan hari ini," ucap pria itu datar, tapi cukup membuat Chana menghempaskan napas lega. Sekejap ia sempat membayangkan dirinya tidur di jalanan beralaskan koran. Mudah-mudahan kalau ia berkelakuan baik, Dokter Alfa tidak akan membuangnya ke jalanan. Chana mulai menyuap sarapannya. "Chana, aku ingin bertanya beberapa hal." Chana menengadahkan wajahnya. "Ya?" "Uhm ... waktu malam kamu kabur dari mansion ini, kamu menumpang motor siapa?" Chana memiringkan kepalanya. Mencoba mengingat. "Hmm ... awalnya aku kira dia laki-laki, jadi aku menolak diberi tumpangan. Tapi, waktu dia membuka kaca helm-nya, ternyata dia wanita. Dia bilang namanya Dona. Dia menawariku tumpangan ke luar gapura Puri Nirwana." Daniyal terdiam. "Lalu kenapa dia menurunkanmu di Gardenia Shop?” "Karena aku yang minta. Aku tidak mau merepotkannya. Aku bilang, aku menunggu jemputanku di situ." Daniyal menggumam paham. "Dia nggak ada ngobrol apa gitu sama kamu?" Chana menggeleng. "Hari hujan dan petir. Jadi suara nggak akan terdengar. Kami cuma diam di motor." "Apa dia tahu kamu tinggal di mansion ini?" Chana terdiam. Mengangkat bahu. Ia baru saja hendak meneruskan suapannya lagi, tapi Dokter Alfa kembali bertanya. “Ngomong-ngomong, malam itu apa kamu melihat orang asing … uhm … maksudku, orang yang kebetulan lewat di sekitar tempat kamu berteduh?” Chana mengernyitkan alis. Menggeleng ragu. “Aku sama sekali tidak perhatikan. Memangnya kenapa?” "Oh, uhm ... nothing. It's okay." Bolehkah ia curiga dengan semua pertanyaan Dokter Alfa tadi? Pria ini seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Mereka meneruskan sarapan dalam diam. Daniyal sesekali mencuri pandang ke arah Chana, meski tidak lagi mengajaknya bicara. Gadis ini … bagaimanapun caranya, ia harus bisa membuatnya betah tinggal di sini, tekad Daniyal. Mereka baru saja akan beranjak dari meja makan, ketika Mbok Sumi tergopoh-gopoh menghampiri Daniyal. "Aden, maaf Mbok ganggu." "Ya? Kenapa, Mbok?" ucap Daniyal lembut. "Boleh Mbok minta izin, Den?" tanya wanita paruh baya itu takut-takut. "Minta izin apa, Mbok?" "Anak perempuan si Mbok baru saja melahirkan di kampung, Den. Mbok ngarep sekali kalau diijinkan melihat cucu Mbok yang baru lahir." "Kapan, Mbok?" "Hari ini kalau boleh, Den." Daniyal terbelalak panik. "HARI INI ...???!" Daniyal mengusap wajahnya kesal. "Oh, God ... No! Not now!" Daniyal menghempaskan tubuhnya kembali ke bangku. Mengacak rambutnya panik. Mengepalkan tangannya. Pikirannya langsung kalut. Rencana yang ia susun rapi jadi berantakan karena ini. Bagaimana bisa Mbok Sumi pergi dari sini, sementara harimau di dalam tubuhnya baru saja mengaum kembali gara-gara Chana?! Apa yang akan terjadi dengan mereka berdua nantinya? Daniyal percaya seratus persen, Chana tidak sama seperti wanita kebanyakan yang berusaha mendekatinya dengan cara apa pun. Tapi Chana dengan keluguannya yang tidak dibuat-buat itu, membuat Daniyal sejuta persen tidak percaya dirinya sendiri akan sanggup mengurung makhluk buas dalam tubuhnya lebih lama lagi. Ia terlalu normal untuk Chana yang cantik dan polos. Dan makhluk itu sudah sangat lama puasa. Dia sedang menggila!!! Si Mbok mengkerut cemas melihat reaksi Tuan Mudanya. "Kalau ndak diijinkan, ndak apa-apa, Den. Si Mbok ndak masalah, Den. Mungkin lain kali Mbok pergi. Mbok minta maaf, izinnya mendadak," ucap Mbok Sumi terbata. Chana tidak sanggup menyaksikan ini. Ia hanya menatap piring kosong di meja makan. Pikirannya ikut kalut karena Mbok Sumi. Di satu sisi ia mengerti dengan harapan si Mbok, di sisi lain ia juga keberatan harus tinggal berdua saja dengan pria seperti Dokter Alfa di mansion seluas ini. Bagaimana kalau Dokter Alfa pergi kerja? Pria itu juga sering tidak pulang ke mansion berhari-hari lamanya. Chana otomatis akan sendirian. ⠀ "Maaf ya, Mbok. Aku nggak marah sama Mbok." Daniyal menghampiri wanita paruh baya itu, memeluknya layaknya Ibu sendiri. "Bapak pergi juga, Mbok? Berapa lama?" tanyanya sedikit lebih tenang. Setiap masalah pasti punya jalan keluarnya, pikir Daniyal. "Mungkin dua atau tiga minggu, ndak apa-apa, Den?" Chana ternganga. Bagaimana nasibnya di sini tanpa si Mbok nanti? Dua atau tiga minggu itu lama. Daniyal menggigit bibir. Manatap wajah Mbok Sumi yang memelas. "Ngeh, Mbok. Nggak apa-apa. Mau aku antar ke terminal, Mbok?" tawar Daniyal lagi. Si Mbok tampak lega. "Ndak usah, Den. Si Mbok ndak mau ngerepotin. Diijinkan saja, Mbok sudah bersyukur, Den .... Si Bapak sama si Mbok naik mobil umum saja, Den. Tadi katanya anak Mbok yang laki-laki mau jemput di terminal. Pulang sama-sama." Daniyal mengangguk pelan. "Nanti hati-hati ya, Mbok. Kabari aku kalau Mbok nyampe di kampung. Kalau mau pulang ke sini, kabari juga, ya. Nanti biar di jemput Pak Sukri aja," ucapnya pasrah, lalu beranjak gontai keluar ruang makan. Mbok Sumi langsung menghampiri Chana setelah punggung Daniyal menghilang dari ruang makan. Matanya berkaca-kaca menatap gadis mungil yang masih terduduk di meja makan. Bibir gadis itu bergetar. Mbok Sumi rasa tidak tega meninggalkannya. "Den Ayu jangan nangis ...." Dibilang begitu, air mata yang dari tadi ditahan Chana justru bercucuran. "Chana ... tinggal sendiri dong, Mbok ...," ucap Chana terisak-isak. "Maafkan si Mbok ya, Den Ayu. Mbok tiba-tiba harus pergi. Tapi Den Ayu 'kan, ndak sendiri. Ada Den Daniyal, toh, yang akan menjaga Den Ayu." "Ada juga aku sibuk dimarah-marahin, Mbok. Dokter Alfa, 'kan galak orangnya," Chana meratap dan tersedu-sedu seperti anak kecil. Daniyal yang masih berada di luar ruang makan spontan terkekeh tanpa suara. Jadi begitu pendapat Chana tentang dirinya. Apa dia harus bersikap manis untuk hari ini? pikirnya geli. No .... Not at this time ...!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN