CB 5. Dokter Dingin yang Mengerikan — Terrible Cold Doctor

1900 Kata
“Bagaimana rasanya hidup tanpa memori? Seakan mencoba meraba arah dalam gelap yang pekat, malah terperosok ke dalam jurang yang dalam. Ada di mana jalan keluar? Aku seolah terperangkap di dalam maze. Tolong. Siapa pun …, tolong aku.” Chana – Kabut Hitam Labirin ⠀ Chana tergugu. Ia memandangi langit-langit kamar yang di cat ungu lembut dengan pilar crem pucat. Mengejabkan mata beberapa kali, sebelum mencoba beringsut duduk. Syukurnya sudah tidak terlalu pusing lagi. Kembali, Chana mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Masih seperti sebelumnya. Ruangan indah dengan bilik toilet pribadi, ber-AC, sofa tunggu yang luas, bersih juga mewah. Dilengkapi dengan kulkas, televisi LED serta banyak fasilitas lain. Ya. Chana masih di ruang rawat Lavender. Entah sudah berapa lama ini. Dua minggu? Tiga minggu? Entahlah. Waktu berjalan teramat lambat di sini. Saat terbangun pertama kali, Chana hanya merasakan matanya tidak kuat menantang cahaya. Kepalanya langsung berkunang-kunang dan rasa mual tak terkira menyerangnya begitu hebat. Keringat dingin mengucur deras dari pori-porinya. Sekujur tubuhnya luar biasa remuk. Apalagi ketika malam tiba. Semua kesakitan itu menusuk-nusuk berkali-kali lipat menyiksanya. Hampir setiap malam Chana sulit tidur. Suasana yang sunyi juga semakin membuatnya terjaga. Bunyi detak jantungnya, detik jam dinding, suara langkah perawat atau dokter yang visiting ke setiap ruangan di waktu-waktu tertentu, membuat pikiran Chana terus berkelana. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa ia bisa berada di rumah sakit? Ingatan terakhir yang muncul dalam benaknya hanyalah cahaya yang menyilaukan. Lalu bunyi benturan yang mengerikan. Bau darah yang amis terendus begitu dekat dengan dirinya. Tubuhnya mati rasa, tak bisa bergerak. Kemudian semuanya berubah menjadi gelap. Sekarang tidak ada satu pun yang ia ingat selain namanya adalah Chana. Nama lengkap, tidak tahu. Keluarga? Alamat? Semuanya hilang, lenyap tak berbekas. Ia hanyalah manusia tanpa memori. Chana menunggu selama berhari-hari. Tapi tidak ada satu orang pun keluarga, teman, mungkin kekasih yang datang membesuknya. Apa tidak ada satu orang pun yang merasa kehilangan dirinya? Ia tahu, perawat sudah pernah mengatakan bahwa ia dibawa ke rumah sakit ini tanpa identitas dan barang berharga apa pun. Walaupun kemudian perawat itu mencoba menenangkannya bahwa kabar tentang kecelakaan dirinya sudah disebarkan ke sosial media. Mungkin sebentar lagi orang yang mengenalnya akan datang. Namun ... hari telah berganti minggu. Bagaimana kalau sampai rawatan terakhir keluarganya belum muncul juga? Atau jangan-jangan Chana memang sebatang kara? Gelandangankah ia? Bagaimana dengan biaya perawatannya selama di rumah sakit? Jelas-jelas ruangan rawatnya terlihat berkelas dan mahal. Belum lagi operasi yang telah ia jalani serta obat-obatan yang diberikan padanya selama ini. Siapa yang akan membayarnya? Dengan apa Chana mesti melunasinya nanti? Ia tidak punya apa pun yang bisa menjadi jaminan. Chana menghembuskan napas panjang, merasa teramat gusar. Ia beranjak dari ranjang. Berjalan sambil menarik tiang penyangga infus ke arah jendela kamar. Menyentuh permukaan kaca dengan hati sedih dan pikiran berkecamuk. Ruangan ini berada di lantai tiga. Dari atas sini, tampak taman dan koridor rumah sakit yang luas dan tertata apik. Di sana berseliweran para dokter, perawat dan staf rumah sakit lainnya. Ada yang membawa troli makanan, ada juga yang berburu dengan waktu saat mendorong brankar pasien, berlari tergesa. Beberapa pasien lainnya sedang didorong dengan kursi roda, menikmati angin sepoi di sekitar taman yang dinaungi pepohonan rindang. Pasien dengan infus di tangan seperti dirinya, masih dipapah saat berjalan oleh keluarga mereka. Semuanya tidak ada yang sendirian. Lalu …, bagaimana dengan Chana? Apa ia masih punya ayah dan ibu? Kakak atau adik barangkali? Saudara sepupu? Ada di mana mereka? Apakah mereka tidak mengkhawatirkannya? Apakah mereka tidak merasa kehilangan dirinya? Kenapa tidak ada yang mencarinya? Jangan-jangan mereka semua telah tiada?! Chana membelalak ngeri membayangkan kemungkinan buruk itu. Napasnya menjadi sesak seketika. Chana mengernyit. Kepalanya mulai terasa pusing lagi. Kakinya melemas. Ia hampir saja merosot jatuh kalau saja tidak ada lengan kokoh yang menahannya. Menarik pinggangnya untuk kembali berdiri. Wajahnya terantuk d**a yang keras dan bidang. Membuat Chana segera menengadah. Mata elang cokelat kemerahan itu kembali memerangkapnya dalam bara api. Chana menelan ludah gugup. Menggigit bibir cemas. Dokter itu. Dokter D. Rafan Alfaraz, nama yang tertera di tag name-nya. Dokter berwajah tampan yang pertama kali muncul ketika Chana terjaga. Dokter yang malam itu melihatnya dengan tatapan penuh kebencian. Mengapa? Apa yang terjadi? Apakah Chana pernah berbuat salah pada sang dokter? Mungkinkah ia begitu merepotkan bagi semua staf di rumah sakit ini? Membuat masalah mungkin, karena tidak punya uang untuk membayar biaya perawatannya? Chana menelan ludah, segera tersadar, lalu buru-buru melepaskan pegangannya dari pinggang Dokter Alfa yang tengah memandangnya dengan tatapan tak terbaca. Dengan gerakan ringan dokter itu memapah Chana kembali ke ranjang. Merapikan bantal kemudian mengatur crank posisi kepala ranjang agar Chana bisa duduk dan bersandar dengan nyaman. Memeriksa jarum infus di lengannya, lalu mengangguk puas karena tidak menemukan masalah di sana. ⠀ "Kalau masih belum kuat, jangan terlalu memaksakan diri untuk berjalan. Atau panggil saja perawat untuk mendampingi." Suara pria itu terdengar berat dan sedikit ketus. Masih terkesan dingin. Padahal kemarin Chana mengintip dokter Alfa dari jendela dan pria itu bicara juga tersenyum ramah pada pasien yang lain. Tapi entah mengapa tidak berlaku padanya. "Saya hanya bosan dan ingin melihat pemandangan dari jendela. Cuma sebentar saja, Dokter." Dokter Alfa menghembuskan napas pelan. Membiarkan masalah itu berlalu. "Jadi, bagaimana kabarmu hari ini Miss Chana? Pusing, mual atau gimana? Ada keluhan?" ucapnya seraya mengatur posisi meja mini ke ranjang pasien. Kemudian meraih makan siang Chana yang terabaikan di nakas. Membuka plastik makanannya. "Makanlah sambil kita ngobrol." Chana mendesah berat. Ia sama sekali tidak berselera. Tapi, tetap meraih sendok yang diulurkan Dokter Alfa. Menyuap buburnya sebelum bicara. "Hm ... tadinya tidak pusing. Tapi kalau saya mencoba berpikir, atau berkonsentrasi melihat atau mengingat sesuatu, kepala rasanya seperti mau meledak." Dokter Alfa tersenyum. Seperti biasa, hanya sudut bibir kanannya yang sedikit bergerak naik ke atas. Itu senyumkah? "Jadi tadi," ucapnya sambil menunjuk ke arah jendela, "sedang berpikir apa?" Chana menunduk. Kenapa bubur pun terasa seperti pasir di lidahnya? Dokter Alfa tiba-tiba saja mengangkat dagu Chana. Mata mereka saling bertatapan. Kenapa dokter ini begitu penuntut? Tidak bisakah pikirannya jadi miliknya sendiri? "Banyak," suaranya terdengar serak. Mata Chana mulai berkaca-kaca. Ia mengarahkan pandangannya ke bawah. "Misalnya?" Chana mendesah lelah. "Siapa saya, apa saya punya keluarga, kenapa saya bisa ada di sini ...? Saya tidak ingat satu pun peristiwa sebelum kecelakaan." Chana berhenti sejenak, menatap dokter Alfa yang tengah mendengarkannya dengan serius. "Dan ... saya dengar dari perawat di sini, meraka bilang saya sangat beruntung di rawat di ruangan VVIP. Tapi bagaimana saya bisa membayar semua biaya rumah sakit ini ...? Pastinya sangat mahal." Chana menggigit bibir. Kebiasaannya ketika gugup. Dokter Alfa mengalihkan pandangan pada botol infus, merapikan letaknya, mengatur tetesnya. "Infus ini sudah bisa dicopot nanti sore. Kemungkinan dua hari kedepan, Anda sudah bisa pulang." Chana membelalak, bertambah pucat. "Dan tidak usah berpikir tentang biaya karena sudah ada donatur yang menalangi dana pengobatan Anda. Jadi, sekali lagi, jangan khawatirkan biaya." Chana menghela napas lega. Satu bebannya telah terangkat. "Siapa? Siapa donatur itu, Dok?" Dokter Alfa tersenyum tipis. "Nah, kalau identitas donatur, biasanya kami tidak mengeksposnya pada pasien maupun keluarganya. Jadi, pasien cukup tahu segera sembuh saja. Tapi, lain kali, harus lebih hati-hati. Jangan sampai masuk rumah sakit lagi. Jangan menghantamkan kepala ke mana-mana lagi. Apalagi ke mobil yang sedang melintasi jalan." Ia menatap Chana lembut. "Rugi 'kan, muka cantik gitu jadi biru-biru." Chana tersenyum malu. Pipinya merona. Ini pertama kalinya Dokter Alfa bicara santai bahkan menggodanya. Biasanya pria itu hanya datang untuk memeriksa kondisinya. Bicara ala kadarnya. Kemudian pergi dengan wajah sekaku robot. "Terus suap makanannya," titah pria itu lagi. Chana menyuap dengan patuh. Merasa mulai berselera dengan buburnya. Dokter Alfa terus mengawasinya hingga ia menuntaskan makan siangnya. "Jadi, Miss Chana, sudah punya rencana setelah keluar dari rumah sakit?" Kembali bahu Chana merosot. Senyumnya seketika memudar. Ia sendiri belum berpikir sampai ke sana. "Mungkin ... saya harus mencari pekerjaan." Dokter Alfa mengangkat kedua alisnya. "Well, pasien dengan cidera di kepala, akan lebih cepat sembuh total dengan perawatan khusus. Terapi, makan-makanan bergizi yang mendukung penyembuhan, harus banyak istirahat. Dan macam-macam lagi." Chana menelan ludah. "Dan Miss Chana, Anda tidak membawa apa pun. KTP, SIM, kartu identitas lainnya. Dengan apa Anda akan melamar pekerjaan? Anda bahkan tidak punya ijazah bahkan uang." Dokter itu mendengus meremehkan. Itu pernyataan! Bukan pertanyaan. Dokter ini kembali sekejam yang Chana lihat saat pertama kali bertemu dulu. Tapi, dipikir bagaimana pun, ucapan Dokter Alfa memang ada benarnya. Bagaimana caranya Chana menghidupi dirinya sendiri setelah keluar dari rumah sakit nanti? "Mungkin ... mungkin ...," Chana jadi panik. Pelupuk matanya kembali memanas. "Apakah saya bisa melamar pekerjaan di Rumah Sakit ini? Office girl atau apa pun itu? Saya janji, saya akan bekerja dengan rajin." Ia menatap Dokter Alfa penuh harap. Dokter Alfa menyilangkan tangan ke d**a. Membuat jas putihnya mengetat. Begitu pas membentuk otot bisep lengannya. Chana terpesona, tetapi segera berpaling menatap mata Dokter Alfa. "Sekali lagi, Miss Chana, orang yang mengalami cidera kepala, harus banyak-banyak beristirahat. Nah, ngomong-ngomong soal istirahat, Anda bahkan tidak punya rumah untuk berteduh." Chana mendelik. Ada apa sebenarnya dengan dokter satu ini? Bukankah seharusnya dia menenangkan pasien? Kenapa malah memberi tekanan mental?Dokter ini malah tersenyum sumringah begitu? Senang melihat penderitaan orang kah? Jangan-jangan dia jelmaan iblis! Mungkin dia diutus dari neraka untuk mencabut nyawa orang. Chana merutuk dalam hati. Sudah berapa pasiennya yang mati karena mulut nyablaknya itu?! Chana merengut. "Saya tidak tahu harus apa dan pergi ke mana. Apa Anda punya solusi, Pak?" Chana berdecak sebal. "Pak …?!!!" sang dokter meringis. "Apa saya tampak setua itu?" protesnya dengan mata membelalak lebar. Chana terbatuk, menahan tawa. Ekspresi shock Dokter Alfa lucu sekali. "Bukan ... bukan begitu. Yah ... saya hanya bersikap sopan pada orang yang lebih tua … uhm … dewasa dibanding saya." Netra merah kecokelatan Dokter Alfa berkilat menyipit bak Elang yang siap memangsa ayam. "Maaf. Saya sama sekali tidak bermaksud menyinggung, Dokter." Chana jadi merasa bersalah. "Anda tidak tua. Anda tampak kuat, gagah dan tampan." Hah? Ya Tuhan! Chana menutup mulutnya dengan mata membelalak lebar. Sekarang ia sedang mempermalukan dirinya sendiri. Bodoh! Bodoh! BODOH!!! Namun ternyata ucapannya berhasil memperbaiki mood sang dokter muda. Sekarang Dokter Alfa membusungkan d**a kembali, seperti ayam yang hendak berkokok. "Okay, saya punya satu solusi. Jangan khawatirkan soal uang, rumah dan lainnya. Cukup fokus pada kesembuhan Anda saja. Dua hari ke depan, akan ada orang yang menjemput Anda keluar dari Rumah Sakit. Dia orang kepercayaan saya. Dan jangan takut, Anda tidak akan kenapa-napa. Donatur sudah memberikan dana lanjutan untuk tempat tinggal sementara, terapi, obat-obatan dan lainnya. Dan ...," Dokter Alfa menyerahkan bingkisan yang ternyata sudah ia taruh di atas nakas, "... ini ponsel. Dua hari ke depan, saya tidak bisa mendampingi Anda saat dijemput karena ada jadwal operasi. Jadi, nanti saya akan menghubungi Anda melalui ponsel ini. Di sini sudah ada nomor handphone saya dan nomor Pak Sukri, sopir yang akan menjemput. Dia akan menghubungi Anda juga nanti." Chana terpukau heran. Semudah itu? Benarkah? Amankah? "Oh, saya lupa. Pak Sukri sudah berusia hampir enam puluh tahun." Dokter Alfa tersenyum mengejek melihat kekhawatiran di wajah Chana. "Kalau tidak ada pertanyaan, saya akhiri kunjungan hari ini. Selamat siang, selamat beristirahat," ucap pria itu seraya membalikkan badan. "Tunggu! Dokter Alfa, sebenarnya saya akan tinggal di mana? Dengan siapa?" tekan Chana. Dokter Alfa terdiam sejenak. Merapatkan bibirnya, sebelum akhirnya menjawab. "Dengan orang yang mahir melakukan terapi, mengerti obat-obatan medis dan herbal, makanan sehat, juga pintar mengatur dan menjaga keselamatan pasien." Chana termangu. "Jadi saya akan tinggal bersama salah satu perawat di sini?" Dokter Alfa terkekeh. "Tidak Miss Chana. Anda akan tinggal dengan saya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN