Sebuah mobil terdengar memasuki pekarangan rumah yang sejak enam tahun lalu Alena tempati bersama dengan Irham. Alena tahu betul itu suara mobil siapa. Biasanya, dia selalu semangat saat mendengar suara mobil tersebut. Dia akan berlari ke depan pintu, menyambut Irham dengan senyuman dan pelukan yang hangat. Namun, kini Alena tak akan melakukan itu lagi.
Alena diam di kamar, tak ada niatan sedikit pun untuk menyambut kedatangan suaminya. Dia yang sudah berganti baju memilih tetap duduk diam di atas ranjang dengan tangan memegang ponsel.
Sedikit pemberitahuan, Fardhan memberikan nomor ponselnya tadi sebelum pergi. Fardhan berkata, Alena bisa menghubunginya kapan saja jika butuh bantuan. Dan entah kenapa, Alena melakukannya. Kini dia sedang berbalas pesan dengan Fardhan, bertanya banyak hal tentang rencana yang akan dia lakukan.
Saat masih berbalas pesan dengan Fardhan, pintu kamar terbuka. Alena melirik sekilas pada Irham yang masuk ke dalam kamar dengan senyuman yang cerah. Sungguh, Alena malah muak melihatnya.
"Hai, Sayang. Sedang apa?" Irham menyimpan tas dan jas miliknya. Lalu dia berjalan mendekati Alena. Saat Irham mendekat, Alena pun langsung menyimpan ponselnya. Dia harus bisa bersandiwara agar rencananya berhasil. Jangan sampai membuat Irham curiga. Dia harus bisa, sebagaimana Irham bersandiwara selama ini seolah tak pernah berkhianat.
"Berkirim pesan dengan teman saja, Mas. Tumben gak lembur hari ini?" Alena menjawab dan bertanya sekaligus. Dia menatap lekat mata Irham, dan hatinya mendesis melihat suaminya yang pandai sekali menyembunyikan kebohongan.
"Capek lah kalau tiap hari lembur. Aku juga udah kangen sama kamu," jawab Irham. Dia tersenyum lalu dengan gerakan cepat mendaratkan sebuah kecupan di pipi Alena.
"Oh ya. Kamu sudah makan malam?" Irham bertanya seraya meraih telapak tangan Alena dan menggenggamnya dengan erat.
"Belum, Mas."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan malam bersama di luar?" tanya Irham dengan semangat. Alena diam, menatap Irham dengan lekat. Sesaat dia memejamkan mata, lalu kembali menatap Irham dengan senyuman tipis.
"Boleh saja, Mas." Alena menjawab. Irham tersenyum lebar mendengar itu, terlihat senang dengan ajakannya yang diterima oleh Alena.
"Baiklah. Kamu siap-siap, aku akan ke kamar mandi dulu," ucap Irham. Dia dengan cepat masuk ke kamar mandi, meninggalkan Alena yang menatapnya dengan nanar.
Rasa sesak itu kembali hadir menghantam d**a Alena. Tak bisa dibendung, air matanya pun kembali luruh membasahi pipinya, mengingat kejadian siang tadi di rumah sakit. Dia mencintai Irham dengan tulus. Tentu sangat sakit saat tahu ternyata suaminya menduakannya.
Alena menyeka air matanya dengan cepat. Lalu dia berdiri dan bersiap untuk ganti baju. Walau sakit dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh Irham, dia tak boleh lemah. Dia harus kuat dan tegar. Dia harus mengambil semuanya dari Irham sebelum menendang pergi pria itu. Irham tak pantas membawa apapun untuk diberikan pada wanita selingkuhannya.
***
Alena duduk di sofa di dalam kamarnya. Hari sudah malam, dan Irham sudah terlelap sejak tadi. Alena sekarang sedang memegang ponsel Irham, mengecek isinya. Beruntung, Irham tidak memakai kode keamanan apapun hingga Alena mudah untuk mengaksesnya.
Jujur saja, selama enam tahun pernikahan Alena tak pernah membuka ponsel Irham. Dia sangat percaya pada pria itu hingga merasa tak harus mengecek ponsel sang suami. Dan ternyata, Alena tahu itu adalah sebuah kesalahan. Dia terlalu percaya hingga lengah.
Alena membuka aplikasi WA, melihat nama semua orang yang ada di daftar chat. Alena menyusurinya satu persatu, hingga dia menemukan salah satu chat yang memang sedang dia cari.
Indah. Itulah nama kontaknya. Alena membaca chat Irham dengan kontak bernama Indah tersebut, dan ternyata wanita itu sempat memaksa Irham untuk datang ke rumahnya dengan alasan anak mereka yang rewel karena sudah imunisasi tadi.
Alena terus memanjat chat dengan wanita bernama Indah tersebut. Dadanya kembali terasa sesak saat membaca chat mereka yang sangat mesra. Indah bahkan sering mengirimkan foto seorang bayi, yang Alena yakini anak Irham dari wanita itu.
Setelah memeriksa chat, Alena lalu memeriksa galeri. Dan banyak sekali isi galeri Irham dengan foto anaknya dan Indah. Bahkan banyak juga foto mesra Irham bersama dengan Indah. Alena sampai menahan nafas saat melihat semua foto tersebut, berusaha menahan rasa sesak dalam dadanya. Ini sangat menyakitkan.
Dengan sangat cepat, Alena mengirimkan semua foto tersebut ke ponselnya. Dia akan menyimpan foto tersebut sebagai bukti perselingkuhan Irham. Oh tentu saja dia tak akan diam saja. Walau dia mencintai Irham, dia tetap akan menghukum pria itu karena sudah mengkhianatinya.
Foto-foto tersebut sebenarnya belum cukup untuk dijadikan bukti. Mulai besok Alena bertekad akan masuk lagi ke perusahaan dan mengontrol semuanya. Dia harus tahu segala tindakan Irham selama ini. Karena bisa saja Irham menggunakan uang perusahaan ayahnya untuk selingkuhannya.
Setelah selesai memeriksa ponsel Irham, Alena pun mulai menggeledah dompet Irham. Alena tak menemukan apapun di sana, lalu dia menggeledah tas kerja Irham. Tak ada surat-surat yang penting, dan semuanya hanya bersangkutan dengan pekerjaan saja. Namun, Alena menemukan BPKB mobil di dalam tas Irham, yang merupakan BPKB mobil yang sekarang sering Irham pakai. Alena tersenyum licik dan mengambilnya. Oh tentu dia akan mengalihkan nama mobil itu menjadi miliknya. Irham tak pantas mendapatkan apapun dari harta keluarganya.
Setelah berhasil mengambil BPKB mobil tersebut, Alena membereskan semuanya seperti semula. Setelah mengamankan surat mobil yang penting tersebut, ada sebuah telepon masuk ke ponsel Alena. Nama Fardhan tertera di layar ponselnya, membuat Alena heran. Mau apa Fardhan menghubunginya malam-malam begini?
Alena melihat ke arah Irham yang tidur pulas. Kemudian Alena berjalan keluar dari kamar seraya membawa ponselnya. Pada akhirnya, Alena tetap menjawab telepon dari Fardhan, walau merasa heran.
"Hai, kamu belum tidur rupanya?" Suara Fardhan terdengar dari seberang telepon. Alena tersenyum kecil mendengarnya. Dia melirik sekilas ke arah pintu kamarnya, lalu berjalan menuruni anak tangga menuju lantai bawah rumahnya.
"Belum. Aku baru saja melakukan salah satu rencanaku juga berusaha mengumpulkan bukti," jawab Alena.
"Kamu yakin dengan yang akan kamu lakukan, Al?"
"Tentu saja. Aku akan melaporkan perselingkuhannya ke polisi nanti."
"Semoga rencanamu berhasil."
"Terima kasih dukungannya. Jujur saja, hanya Mas Fardhan saja sekarang yang tahu keadaanku."
"Aku senang tahu keadaanmu, dan lebih senang jika bisa membantumu. Oh ya, besok kamu ada rencana? Aku ingin bertemu denganmu."
Alena terdiam mendengar pertanyaan Fardhan barusan. Setelah lama berpikir, akhirnya Alena menerima ajakan dari Fardhan. Selama ini dia selalu menjaga jarak dengan laki-laki karena menghargai pernikahannya. Dan sekarang semuanya berubah. Alena tak akan berkorban lebih banyak lagi untuk pernikahannya yang sudah tak baik-baik saja.