Aisha kini duduk di dalam sebuah ruang tamu yang sangat luas. Matanya memperhatikan sekitar, merasa kagum dan takjub dengan interior yang klasik dan megah. Aisha tak menyangka dia akan bisa masuk ke dalam sebuah rumah yang lebih mewah dan megah dari rumah ayah kandungnya.
Aisha duduk di sofa sendirian, karena ART yang menyambut kedatangannya izin ke dapur barusan. Aisha tak tahu di mana keberadaan pria bernama Alfan yang merupakan pemilik rumah tersebut. Namun tentu Aisha akan menunggu di sana sampai pria itu muncul.
Saat sedang memperhatikan sekitar, Aisha merasakan ponselnya yang berada di dalam tas bergetar. Dengan sedikit cepat Aisha merogoh ponselnya dan melihat notifikasi pesan yang masuk barusan. Ternyata, pesan tersebut dari Alexa, yang menanyakan keberadaannya sekarang. Alexa sangat khawatir mengingat Aisha masih dalam tahap penyembuhan sakit hati. Alexa khawatir kalau saja Aisha berpikiran pendek dan berniat melakukan hal aneh, seperti mencelakakan diri misalnya.
"Aku ada urusan sebentar, Lexa. Kamu tak perlu khawatir. Sesakit apapun hatiku, tak mungkin aku berpikiran untuk bunuh diri demi dia."
Setelah mengetik pesan tersebut, Aisha mengirimkannya pada Alexa. Tak lama kemudian Aisha mendengar suara langkah kaki bergema yang mendekat ke arahnya. Dengan cepat Aisha memasukkan ponselnya lagi ke dalam tas. Dia lalu menegakkan punggung, dan terlihat sangat tegang saat seorang pria berjalan mendekat ke arah sofa.
"Pak Alfan?" Aisha bertanya pada pria tersebut yang sudah duduk di sofa, di hadapannya.
"Ya. Ada urusan apa?" Alfan, pria itu langsung bertanya tanpa basa-basi.
"Perkenalkan, nama saya Aisha. Kedatangan saya ke sini karena ada sebuah urusan." Aisha mengenalkan diri dan mengatakan tujuannya datang ke sana. Aisha merasa gugup saat Alfan melayangkan tatapan yang tajam dan dingin ke arahnya.
"Urusan apa? Saya tak merasa memiliki urusan dengan Anda." Alfan berucap dengan alis bertaut. Aisha tersenyum canggung, berusaha menetralkan degup jantungnya.
"Saya butuh bantuan Anda, Pak Alfan." Aisha menghembuskan nafas setelah mengucapkan kalimat tersebut. Sebelah alis Alfan naik saat mendengar itu.
"Jelaskan dengan rinci." Alfan memerintah. Aisha pun mengangguk. Akhirnya dia mulai bercerita tentang sosok ayahnya, yang memang Alfan kenal. Aisha juga menceritakan tentang saudara tirinya juga rencana mereka yang licik.
"Jika saya membantu, apa keuntungan yang saya dapatkan?" Alfan bertanya. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, dengan kedua tangan terlipat di bawah d**a. Matanya menatap intens pada Aisha yang terlihat sedikit cemas.
"Saya akan memberikan saham bagian saya jika Anda bersedia membantu. Saya berniat menggugat ayah saya ke pengadilan karena beliau tidak memenuhi kewajiban untuk menafkahi saya. Dan saya butuh Anda untuk mendukung saya, agar saya bisa memenangkan sidang juga agar bisnis ayah saya tidak jatuh ke tangan saudara tiri saya." Aisha menjelaskan lagi. Dia sudah harap-harap cemas dengan reaksi yang akan Alfan berikan.
Alfan tersenyum tipis mendengar itu, membuat Aisha merasa heran. Alfan lalu meraih buku di atas meja dan terlihat menulis sesuatu di sana. Kemudian dia merobek kertasnya dan melipatnya.
"Sepertinya Anda sangat putus asa tentang keputusan yang dibuat oleh Pak Theo." Alfan berucap. Dia berdiri, lalu berjalan mendekati Aisha. Kemudian dia menyerahkan kertas yang dia lipat barusan pada Aisha. Aisha pun menerimanya dengan ragu dan bingung.
"Saya sudah cukup kaya sekarang, dan tidak butuh saham Anda. Silakan berpikir dengan matang, dan hubungi saya jika sudah membuat keputusan." Alfan berucap. Setelah mengatakan itu, Alfan berjalan pergi meninggalkan ruang tamu. Aisha mengerjap bingung karena Alfan tidak memberikan jawaban padanya.
Penasaran, Aisha pun membuka kertas yang Alfan berikan padanya. Ternyata, di sana tertulis sederet nomor ponsel yang Aisha yakini milik Alfan. Bukan hanya nomor saja yang Alfan tuliskan, namun juga beberapa kata yang berhasil membuat Aisha melotot kaget, bahkan dia hampir menjerit saking kagetnya.
***
Aisha kini berada di ruang makan, baru saja selesai makan malam bersama dengan om dan tantenya, juga Alexa. Alex dan Senna tak ada di sana karena memang mereka sudah memiliki rumah sendiri. Mereka hanya berkunjung sesekali saja.
"Sha, Senna bilang katanya dia merekomendasikan seseorang yang mungkin bisa membantumu." Luna berucap setelah makanan di piringnya habis.
"Iya, Tante. Aku sudah menemui orang tersebut," ucap Aisha. Dia mengambil tisu dan membersihkan bibirnya.
"Siapa memangnya?" Kini Daffa yang bertanya karena penasaran.
"Namanya Alfan Gerald Wijaya. Mantan bos Kak Senna. Pewaris Wijaya Group." Aisha menjawab. Daffa dan Luna membelalak kaget mendengar itu. Sedangkan Alexa hanya menatap heran, karena tak tahu siapa yang sedang di bahas.
"Kak Senna bilang Papa beberapa kali mengajukan kerja sama namun selalu ditolak karena beberapa alasan. Aku menawari beliau sebagian saham milikku jika beliau mau membantu aku," jelas Aisha. Daffa dan Luna saling berpandangan saat mendengar itu.
"Wijaya Group itu perusahaan besar loh, Sha. Yang bergerak dalam banyak bidang," ujar Luna. Aisha mengangguk pelan.
"Aku tahu. Rumah sakit tempat Harris bekerja juga salah satu bagian dari Wijaya Group. Bekas tempat kerja Kak Senna, juga tempat kerja Kak Alex sekarang masih bagian dari mereka." Aisha menjelaskan.
"Sebenarnya Kak Senna juga ragu. Tapi Pak Alfan menerima tawaranku kok." Aisha berucap dengan senyuman, berusaha agar om dan tantenya tidak khawatir.
"Aku ke kamar duluan." Aisha langsung pamit setelah merasa cukup memberikan informasi pada mereka bertiga. Senyumnya yang semula terlihat langsung lenyap saat Aisha mengingat isi kertas yang Alfan berikan tadi.
Ya, seperti yang Alfan katakan, pria itu sudah merasa cukup kaya dan tak butuh bagian saham milik Aisha. Karena itu, jelas Aisha harus memberikan imbalan atau keuntungan lain untuk Alfan. Dan permintaan pria itu tentang imbalan membuat Aisha hampir jantungan.
Temani saya setiap malam selama satu minggu. Maka saya akan membantu kamu sampai semuanya selesai. Dan saya menjamin kamu tak akan kalah dan akan memenangkan semuanya.
Pikirkan secara matang. Jika sudah membuat keputusan hubungi no 081XXXXXXXXX
Jujur saja, Aisha malah merasa kesal sekarang. Apakah dia terlihat sangat putus asa saat menemui Alfan tadi? Sepertinya iya. Makanya Alfan berani meminta imbalan seperti itu karena berpikir Aisha tak akan menolak.
Aisha sengaja tidak memberitahu om dan tantenya karena takut mereka kepikiran. Mereka sudah susah payah membesarkannya dari masih bayi merah sampai dewasa sekarang. Mereka berdua lah yang banting tulang mencari uang agar dia bisa sekolah yang layak, sama seperti Alexa. Dan Aisha tak tega jika harus menambah beban pikiran mereka berdua. Jadi, untuk hal ini sebisa mungkin dia akan menyelesaikannya sendiri.
Aisha mengambil kertas yang Alfan berikan tadi dan membaca isinya berulang kali. Tak berubah, isinya tetap sama. Dan Aisha berkali-kali tertawa sinis setelah membaca isi kertas tersebut.
"Apakah orang kaya memang selalu begini?" gumam Aisha. Dia melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam laci di samping tempat tidur. Dia harus berpikir jernih dan matang, tak boleh membuat keputusan secara tergesa-gesa. Satu hal yang jelas, bisa saja ini adalah satu-satunya kesempatan yang dia miliki.