Jam menunjukkan pukul delapan malam, dan Aisha kini sedang berada di balkon kamarnya. Dia duduk di atas sebuah kursi rotan dengan laptop yang terbuka di depannya. Matanya menatap fokus pada layar laptop yang menampilkan informasi tentang sesuatu yang dia cari.
Ya, Aisha sedang berusaha mencari informasi tentang ayahnya di internet, juga informasi tentang bisnis yang ayahnya geluti. Namun ternyata, Aisha tak mendapatkan apa-apa. Dia hanya bisa tertawa miris saat membaca biografi ayahnya yang ada di internet, dan dikenal orang-orang hanya memiliki dua anak. Ya, sejahat itu ayahnya terhadap dirinya. Yang dianggap anak padahal cuma sekedar anak tiri.
Saat Aisha masih berusaha mencari informasi, terdengar suara ketukan dari arah pintu kamarnya. Aisha pun berteriak, meminta orang tersebut untuk masuk saja karena pintunya tidak dikunci.
"Aish? Kamu belum tidur?" Senna, dia berjalan masuk ke dalam kamar Aisha dan menghampiri Aisha yang berada di balkon.
"Belum ngantuk, Kak." Aisha menjawab tanpa menoleh. Senna lalu duduk di hadapan Aisha, memperhatikan Aisha yang fokus pada layar laptopnya.
"Aku mau bicara sesuatu padamu." Senna berucap, berusaha menarik perhatian Aisha.
"Bicara saja, Kak." Aisha membalas tanpa mengalihkan tatapan.
"Ini penting," ucap Senna. Akhirnya Aisha mengalihkan tatapannya dari layar laptop dan menatap Senna dengan heran.
"Terdengar agak mustahil, tapi mungkin kamu bisa mencobanya. Kita tidak akan tahu hasilnya bagaimana kalau belum dicoba kan?" Senna berucap. Aisha belum paham, dan dia memilih menutup laptopnya agar bisa mendengarkan Senna dengan seksama.
"Maksudnya bagaimana?" tanya Aisha yang belum paham.
"Aku terpikirkan seseorang saat Alex berkata tentang seseorang yang memiliki kekuasaan lebih dari ayahmu." Senna menjawab. Mata Aisha melebar mendengar itu.
"Siapa?" tanya Aisha tak sabar.
"Namanya Alfan Gerald Wijaya. Dia adalah pewaris tunggal Wijaya Group. Dia adalah owner tempat perusahaan aku kerja dulu, Sha. Dia sempat menjabat sebagai Direktur Utama di perusahaan Fresh Food selama tiga tahun." Senna memberikan penjelasan dengan cukup detail. Dia tahu tentang sosok pria bernama Alfan tersebut, karena Senna pernah bekerja sebagai sekretarisnya selama satu tahun sebelum akhirnya resign.
"Saat aku masih bekerja jadi sekretaris beliau, perusahaan ayahmu pernah mengajukan kerja sama beberapa kali, namun selalu ditolak. Beliau bilang cara kerja perusahaan ayahmu, terutama setelah dipimpin oleh kakak tirimu jadi agak kacau dan berpotensi merugikan. Mungkin kamu bisa coba meminta bantuan pada beliau. Walau ya, aku juga agak ragu," ujar Senna. Aisha mengerjap beberapa kali saat mendengar itu. Dia tak bisa optimis setelah mendengar penjelasan dari Senna. Membayangkannya saja agak ngeri. Orang yang Senna ceritakan barusan bukanlah orang sembarangan.
"Aku takut, Kak. Tak mungkin juga kan aku meminta bantuan tanpa memberikan sesuatu yang menguntungkan?" tanya Aisha. Senna mengangguk.
"Jika berhasil, mungkin kamu bisa memberikan saham beberapa persen padanya sebagai tanda terima kasih." Senna menjawab. Aisha meneguk ludahnya sendiri saat mendengar itu. Dia belum paham sepenuhnya tentang cara kerja bisnis dan perusahaan-perusahaan besar. Yang jelas, dia tak rela kalau bisnis yang dirintis ayahnya bersama mendiang ibunya diserahkan pada saudara tirinya.
"Bagaiamana kalau gagal?" tanya Aisha khawatir.
"Berusaha aja dulu, Sha. Kalau semisal tak berhasil, kamu harus tempuh jalur hukum." Senna menjawab dengan tegas. Ya, menempuh jalur hukum pun tak akan mudah jika Aisha tak memiliki seseorang yang berpengaruh di pihaknya.
"Aku juga ragu dengan hasilnya. Tapi, tak ada salahnya di coba dulu kan?" ucap Senna. Aisha diam beberapa saat, kemudian mengangguk pelan. Senna tersenyum melihatnya. Dia lalu menyerahkan secarik kertas pada Aisha.
"Itu adalah alamat rumahnya. Sekarang Pak Alfan tak menjabat di perusahaan mana pun, dan hanya mengontrol saja. Satu lagi, rumah sakit tempat Harris bekerja juga milik Pak Alfan."
Mata Aisha melebar kaget mendengar itu. Wah, Senna benar-benar memberikan rekomendasi yang mengerikan.
***
Aisha duduk di dalam sebuah taksi dengan tangan memegang ponsel. Layarnya menyala, memperlihatkan sebuah undangan online yang dikirimkan kakak tirinya padanya.
Harris Armadana & Dinara Purnama
Aisha tersenyum miris membaca dua nama calon pengantin dalam undangan pernikahan online tersebut. Harusnya, nama dia lah yang bersanding dengan nama Harris. Harris berjanji akan melamarnya setelah dia wisuda. Nyatanya, pria itu malah melamar kakak tirinya.
Sampai sekarang, Aisha masih merasakan sakit. Hatinya terasa sangat perih saat membayangkan orang yang dia cintai akan segera menikah dengan orang lain. Padahal dia lah yang menemani Harris selama tiga tahun lamanya. Semakin terasa sakit saat Aisha kembali mengingat perkataan ayahnya yang menyayat hati.
"Dinara sedang mengandung anak Harris, Aisha. Kamu jangan egois dan memikirkan diri sendiri! Harris juga setuju untuk menikah dengan Dinara. Dinara lah yang Harris pilih untuk dijadikan istri. Bukan kamu. Sadar diri."
Bagaimana bisa seorang ayah mengatakan hal menyakitkan begitu demi membela anak tirinya? Kadang, Aisha berharap dia tak pernah tahu kalau pria tua bernama Theo itu adalah ayahnya. Mungkin akan lebih baik jika dia tahu kalau ayahnya sudah mati.
Aisha menghela nafas dan menyeka sudut matanya yang basah. Dia tak boleh menangis agar penampilannya tidak kacau. Siang ini dia ada rencana untuk menemui Alfan, yang Senna ceritakan. Karena yang akan dia temui bukanlah orang sembarangan, maka Aisha berusaha tampil sebaik mungkin agar tidak dianggap sebagai pengemis nantinya.
Taksi yang Aisha tumpangi berhenti di alamat yang Aisha sebutkan. Sebelum keluar, Aisha melihat sebuah pagar tinggi dan kelihatan sangat mewah. Dia jadi grogi sekarang.
Aisha berterima kasih pada supir dan keluar dari sana. Matanya menatap ke arah pagar tersebut, kemudian kakinya melangkah mendekati gerbang. Ada dua satpam yang berjaga di sana, dan mereka berdua langsung sigap berdiri saat Aisha mendekat.
"Apa benar ini rumahnya Pak Alfan Gerald Wijaya?" Aisha bertanya.
"Iya benar. Ada perlu apa, Dek?" Salah satu satpam yang sudah agak tua bertanya.
"Saya ingin bertemu dengan beliau, Pak. Ada urusan penting," jawab Aisha dengan senyuman gugup.
"Sudah ada janji?"
Aisha menggelengkan kepala dengan pelan sebagai jawaban.
"Maaf ya, Dek. Pak Alfan tak bisa bertemu dengan orang sembarangan kalau tidak ada janji temu terlebih dahulu." Satpam tersebut menjawab dengan sopan. Aisha menekuk bibirnya mendengar itu, merasa kecewa.
"Benar-benar nggak bisa ya, Pak? Walau cuma sebentar?" tanya Aisha, berusaha membujuk. Satpam tersebut pun menggelengkan kepala dengan tegas.
"Baiklah. Terima kasih banyak, Pak. Saya pamit dulu," ucap Aisha. Dia berbalik hendak pergi dari sana. Namun baru juga empat langkah, satpam tadi berteriak memanggilnya.
"Iya, Pak?"
"Boleh minta kartu identitas? Pak Alfan yang meminta." Satpam yang satunya lagi bertanya pada Aisha. Aisha mengerjap pelan, namun langsung merogoh tasnya dan memberikan kartu identitas miliknya.
"Tunggu sebentar ya." Satpam yang usianya terlihat masih muda tersebut membuka gerbang dan berlari kecil masuk ke dalam rumah. Aisha pun melihat sekitar, dan dia menemukan beberapa kamera CCTV di dekat gerbang.
Tak lama, satpam tadi kembali dan mengembalikan kartu identitas milik Aisha.
"Silakan masuk, Dek. Pak Alfan sudah menunggu," ucap satpam tersebut. Aisha terlihat kaget mendengarnya. Semudah ini dia bisa bertemu dengan pria bernama Alfan tersebut? Hanya dengan modal kartu identitas saja?
Karena sudah dipersilakan, Aisha pun masuk ke area rumah megah tersebut. Sebelum mencapai rumah, Aisha melewati halaman depan dulu yang menurutnya sangat luas. Dan melihat keadaan rumah tersebut membuat Aisha semakin gugup.
Semoga saja semuanya berjalan lancar sesuai dengan harapan dan rencananya.