Slave

1406 Kata
Cahaya matahari mulai masuk melalui celah-celah gorden kamar yang di d******i oleh warna gading itu. Di atas ranjang berwarna merah, seorang wanita masih tertidur pulas dalam keadaan tak berbusana di balik selimut. Ia tampak kelelahan setelah pergulatan panas bersama sang suami semalaman. Wanita itu tiada lain dan tiada bukan adalah Mentari. Lima minggu sudah berlalu sejak insiden dimana Marcel meng'hukum'nya di atas meja kerjanya dengan cara paling tidak manusiawi yang pernah Mentari ketahui. Selama itu pula hampir setiap malam Marcel selalu memintanya untuk memuaskan nafsu birahinya. Tak peduli selelah apapun Mentari, Marcel akan tetap meminta 'jatah'nya, sekalipun itu dengan unsur pemaksaan. Jadi, jangan heran kalau hampir setiap pagi Mentari selalu mendapat luka lebam di wajah ataupun tubuhnya. Kedua mata Mentari perlahan terbuka karena sinar matahari yang mulai menusuk matanya. Mentari menoleh ke samping. Dengusan kasar serta merta keluar dari bibirnya. Ya, tentu saja samping ranjangnya kosong karena Marcel selalu pergi meninggalkannya sendiri di kamar itu setelah ia sudah mencapai kepuasannya. Mentari memang sudah menduga kalau ia tidak akan pernah menemukan sosok Marcel di sampingnya, tapi ia tetap saja mengecek keberadaan Marcel hanya untuk memastikannya. Mentari menegakkan tubuhnya dan duduk bersandar di kepala ranjang. Dipandanginya keadaan ranjang dan tubuhnya yang tampak 'berantakan'. Tawa miris keluar dari bibirnya. "Kayaknya gue lebih pantas disebut pelacurnya atau b***k seksnya dibandingin istrinya," ujar Mentari sinis, mencemooh dirinya sendiri. Benar, lima minggu ini Mentari merasa kalau statusnya tak lebih sebagai seorang p*****r atau b***k s**s bagi Marcel karena pria itu hanya akan mendatanginya kalau pria itu ingin memenuhi kebutuhan biologisnya. Bahkan, sikapnya saja lebih dingin daripada sebelum 'insiden' itu terjadi. Mentari menghembuskan napas lesu secara perlahan. Terserahlah, ia tidak peduli dengan statusnya itu bagi Marcel. Toh, sejak awal ia tahu kalau pernikahannya itu hanyalah omong kosong belaka. Lantas, Mentari membungkus tubuh polosnya dengan selimut dan segera pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, menghilangkan aroma b******a yang menguar dari tubuhnya. ***** Mario kembali menyesap kopinya yang hampir semenit ini ia diamkan. Saat ini, ia tengah bersantai di balkon apartemen mewahnya. Menikmati udara pagi sambil minum kopi di balkon apartemennya itu memang menjadi salah satu kegiatan favoritnya. Mario menghembuskan napas perlahan. Lima minggu yang lalu, ia hampir saja kehilangan momen favoritnya ini karena seorang wanita. Tebak, siapa wanita itu? Benar, dia adalah Mentari, istri dari sepupunya sendiri. Lantas, ingatannya kembali pada percakapannya dengan Marcel tepat sehari setelah kunjungan terakhirnya ke mansion sepupunya itu ketika Marcel datang ke kantornya. "Apa tujuan lo sebenarnya datang ke rumah kemarin? Lo nggak berpikir untuk ngerebut Mentari dari gue, 'kan?" "Nggak sama sekali. Gue cuma khawatir sama dia." "Cih. Khawatir? Atas dasar apa lo khawatirin dia? Dia istri gue, Yo. Jangan coba-coba deketin dia! Gue nggak mau nyakitin dan ngancurin hidup lo. Jadi, menjauhlah dari Mentari." "Gue udah bilang kalo gue nggak mau ngerebut dia dari lo, Cel. Gue cuma khawatir lo nyakitin dia. Gue mohon, berhenti nyakitin dia. Gue tau, tujuan lo nikahin dia cuma buat balas dendam atas penolakan dia sembilan tahun yang lalu, 'kan? Lo udah nggak cinta sama dia kayak pas SMA dulu. Lo benci dia—" "Tau apa lo soal perasaan gue?! Gue cinta atau benci sama dia itu sama sekali bukan urusan lo. Dia istri gue, milik gue. Jadi terserah gue mau perlakuin dia kayak gimana. Bukannya gue udah pernah ngomong ke lo? Jadi, berhenti ikut campur!" "Gue cuma nggak mau lo menyesal di kemudian hari—" "Terserah! Gue sama sekali nggak peduli dengan apa yang bakal gue rasain di kemudian hari. Yang gue peduliin saat ini cuma nuntasin apa yang jadi keinginan gue sejak lama. Dan, nggak ada seorang pun yang bisa menghentikan gue, termasuk lo." Mario memejamkan kedua matanya kemudian menghela napas berat. Marcelino, sepupunya itu memang sosok yang keras kepala sejak dulu. Apa yang menjadi keinginannya harus terpenuhi bagaimanapun caranya. Pria itu tak segan untuk menghalalkan segala macam cara guna mendapatkan apa yang ia mau. Sejujurnya, Mario sedikit menyesalkan sifat Marcel yang satu itu. Apalagi, kalau sesuatu yang diinginkan pria berkulit s**u itu sampai membuatnya menjadi selayaknya monster seperti sekarang. Ia tidak pernah menyangka bahwa Mentari bisa membuat Marcel berbuat hingga sejauh itu. Tidak pernah. Namun, setelah ditelisik kembali, tidak hanya Marcel yang bisa berubah karena wanita itu. Mario pun pernah merasakannya tujuh belas tahun yang lalu. Bahkan, hingga saat ini ia masih mengingat dengan jelas bagaimana senyuman gadis itu bisa mengubah sosok Mario yang begitu rapuh hingga bisa berdiri kokoh setegar karang seperti saat ini. Bagi Mario Handoko, Mentari bukan hanya sekedar sepupu iparnya. Wanita itu adalah sosok Tinkerbell bagi dirinya. Maka dari itu, saat ini ia mencoba untuk menjadi sosok Peterpan untuk Mentari. Sebab, penyebab kerapuhan yang dialaminya dulu kini terjadi pada Mentari. Karena itulah Mario bertekad untuk melindungi Mentari dari kebencian Marcel. Ia tidak ingin baik Mentari ataupun Marcel mengalami nasib yang sama dengan ayah dan ibunya, orang tuanya. ***** Mentari tertawa geli saat menyaksikan adegan di layar televisi yang saat itu sedang menayangkan acara komedi tengah malam. Malam ini entah kenapa ia tidak bisa tidur. Jadi, ia memutuskan untuk menonton televisi saja dengan harapan ia akan lebih cepat mengantuk. Well, sebenarnya hampir setiap malam Mentari memang tidak pernah bisa tidur dalam artian benar-benar tidur karena Marcel selalu mendatanginya untuk s**s beronde-ronde yang akan membuat Mentari terjaga hingga menjelang pagi. Namun, rupanya Marcel belum pulang juga hingga selarut ini. Jika harus memilih, sebenarnya Mentari bisa saja memanfaatkan kondisi ini untuk tidur nyenyak di kamarnya. Sayang, ia justru tidak bisa tidur malam ini. "Kalau ngantuk tidur aja, Daf," Mentari berkata pada Daffa yang menemaninya menonton televisi. Daffa terkesiap. Ia yang tadi sudah hampir tertidur dalam posisi berdiri, seketika menegakkan tubuhnya kembali. "Eh, nggak apa-apa, Nyonya. Saya nemenin Nyonya sampai selesai nonton aja," jawab Daffa dengan suara parau. Mentari tersenyum. "Ya ampun, kamu nggak perlu maksain diri gitu, Daf! Kalau ngantuk, tidur aja. Saya tahu kamu pasti capek kan seharian jaga-jaga kayak gitu? Sana tidur!" "Nggak papa, Nyonya. Udah tugas saya selalu berada di sisi Nyonya baik ketika dibutuhkan maupun tidak. Saya akan tidur setelah Nyonya tidur." Daffa balas tersenyum tipis. Mentari berdecak sambil menggelengkan kepala tak percaya. Astaga, pengawalnya itu memang keras kepala. Akan tetapi, akhir-akhir ini Mentari mulai menyukai sikap Daffa yang sangat patuh pada perintah atasannya, walaupun sebenarnya perintah itu sangat menyebalkan baginya dan terkesan berlebihan. Apalagi, sikap Daffa tidak sekaku lima minggu yang lalu pada dirinya. Pria itu sudah lebih banyak tersenyum dan berbicara padanya. "Ya udah, kalau gitu saya tidur sekarang aja deh. Lagian, acaranya udah nggak menarik lagi." Mentari mematikan televisi dan mulai beranjak ke kamarnya. Namun, belum sempat ia melangkahkan kaki, Daffa sudah lebih dulu menahannya. Wajahnya menunjukkan rasa tidak enak hati. "Kalo masih belum ngantuk, lanjutin aja nonton TV-nya, Nyonya. Nyonya nggak perlu berhenti karena saya." "Saya emang udah ngantuk kok. Lagian, acaranya juga udah selesai. Minggir! Saya mau ke kamar." Akan tetapi, Daffa tak juga menyingkir dari hadapan Mentari. Lagi-lagi, Mentari berdecak kesal. "Ya ampun, Daffa! Jangan ngerasa nggak enak hati gitu deh! Saya beneran mau tidur sekarang." Akhirnya setelah mendengar kekesalan nyonyanya, Daffa mempersilakan Mentari untuk pergi ke kamarnya. Kemudian, setelah memastikan Mentari benar-benar masuk ke kamarnya di lantai dua, barulah Daffa masuk ke kamarnya sendiri yang terletak di lantai satu. ***** Mentari tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur, yang jelas keadaan langit masih cukup gelap saat ia terbangun. Ia bisa menyimpulkan bahwa ia hanya tidur sebentar. Pelan-pelan, Mentari mengerjapkan matanya lalu bangun dari posisi berbaringnya. Wanita bersurai kecokelatan itu lantas bangkit dari ranjang dan hendak pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Ya, Mentari mudah terbangun di malam hari jika ia sedang kehausan. Mentari keluar dari kamarnya kemudian berjalan dengan cukup perlahan menuju dapur. Namun, langkahnya kian melambat dan ia sedikit mengernyit heran saat mendapati kamar Marcel yang pintunya sedikit terbuka dengan keadaan lampu yang masih menyala dari kejauhan. Apa Marcel sudah pulang? batinnya bertanya. Tapi, kenapa Marcel tidak meminta s**s seperti biasanya? Mentari berusaha mengenyahkan rasa heran di benaknya kemudian kembali melangkahkan kakinya dengan langkah yang lebih cepat. Namun, lagi-lagi ia menghentikan langkahnya saat lewat tepat di depan kamar Marcel. Tubuhnya seketika itu menegang. Hazelnya melotot lebar saat mendengar suara-suara nista yang berasal dari dalam kamar Marcel. Dengan takut-takut, Mentari mencoba menilik ke sumber suara. Deg! Mentari merasa jantungnya kini jatuh ke perutnya. Tubuhnya bergetar hebat akibat rasa terkejut sekaligus rasa jijiknya pada pemandangan yang disuguhkan dari dalam kamar Marcel itu. Di dalam sana, tepatnya di atas ranjang, ada seorang wanita tanpa busana yang sedang mengangkangi Marcel, suaminya yang juga berbaring dalam keadaan t*******g bulat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN