Between Heaven and Hell
Mentari Serafina Zeline tampak sangat cantik memakai kebaya pernikahan putih rancangan desainer ternama di Indonesia, Vera Wiryanata. Sebuah tiara cantik menghiasai mahkota hitamnya yang digelung hingga di atas tengkuk. Cantik sekali. Namun, kecantikan itu terasa semu karena kini wajahnya tampak begitu murung. Tatapan matanya pun kosong, bahkan saat dirinya mematut diri di depan cermin. Seolah-olah pujian orang sekitar yang merupakan tim penata rias pernikahannya tidak berarti apa-apa. Alih-alih bahagia, Mentari justru mengepalkan tangan kuat dan menahan diri untuk tak menumpahkan semua air mata yang berusaha ditahannya sepagian ini.
“Mbak Mentari pasti kurang tidur, ya? Tadi waktu saya make up-in, kantung matanya keliatan banget, tapi sekarang udah ketutup.” Salah seorang anggota tim penata rias berusaha memecahkan suasana karena Mentari benar-benar diam selayaknya manekin saat orang-orang sibuk memujinya. Mengira kalau kliennya itu merasa gugup pada hari pernikahannya, wanita itu menyentuh bahu Mentari dan berujar, “Rileks aja, Mbak. Saya tau, Mbak pasti dari tadi diem aja karena gugup dan deg-degan, ‘kan? Wajar sih, ini kan hari bahagia, Mbak Mentari.”
Kali ini Mentari menunjukkan reaksi lewat sebuah cebikan. “Bahagia?” beonya pelan dengan nada meremehkan. Dia pun tertawa, bukan jenis tawa penuh suka cita, tapi tawa yang terkesan getir. Menghinakan kata yang dilontarkan olehnya sendiri.
Melihat Mentari yang tiba-tiba tertawa seperti itu membuat si penata rias kebingungan. Sebelum rasa heran wanita itu habis, Mentari mengatakan sesuatu yang begitu lirih hingga membuatnya mengira kalau dia salah dengar.
“Gimana bisa saya bahagia nikah sama monster kayak dia?”
“Hah, gimana, Mbak?”
Belum sempat Mentari merespons, pintu ruangan tempatnya berada kini terbuka dan menampilkan sosok rupawan dengan jas hitam di sana. Mentari membulatkan mata ketika sosok itu menyeringai menatapnya. Wanita itu mendengus dan memalingkan wajah saat sang pria tampan berjalan mendekat. Lelaki itu adalah calon suaminya, Marcelino Soebrata.
Marcelino Soebrata sejatinya adalah sosok suami idaman setiap wanita. Dia sangat tampan. Wajahnya bak pahatan patung dewa Yunani dengan tatapan matanya yang setajam elang. Kulitnya begitu putih seputih s**u. Postur tubuhnya tinggi, tegap, dan gagah. Sempurna. Kesempurnaan itu semakin lengkap dengan otak jenius, kekayaannya yang begitu melimpah, dan jabatan CEO Mahabrata Group yang dipegang olehnya.
Sayangnya, Mentari tidak tertarik sedikitpun pada pria itu. Ia setuju menikahi Marcel karena nyawa sang kakak menjadi taruhannya. Perusahaan keluarganya bangkrut dan berhutang begitu besar pada Marcel. Sebagai imbalan, Marcel meminta Mentari agar menikahinya. Belakangan, baru Mentari ketahui kalau Marcel sendirilah yang mempailitkan perusahaan keluarganya. Berengsek? Kata itu mungkin terlalu bagus untuk menggambarkan betapa busuknya kelakuan Marcel.
“Saya mau berdua aja sama calon istri saya,” ujar Marcel dengan nada dinginnya yang serupa titah. Semua orang, kecuali Mentari keluar dari ruang rias tersebut. Mentari yang masih memalingkan wajahnya hanya bisa mengepalkan tangan menahan amarah.
Marcel kembali tersenyum miring dan membungkuk sedikit guna mengungkung sosok jelita yang duduk di kursi meja rias. Memerhatikan pantulan wajah Mentari yang sedang menghadap samping dengan penuh minat. Dengan nada takjub berdecak, “Wah! Calon istri gue ini emang cantik banget, ya? Betapa beruntungnya gue bisa punya istri secantik lo.”
Mentari paham betul apa yang dilontarkan oleh Marcel merupakan sebuah ejekan. Maka dari itu dia segera menimpali, “Tapi sayangnya gue nggak merasa beruntung lo nikahi.”
Senyum mengejek Marcel lenyap dalam hitungan sekon, kali ini giliran rahangnya yang mengeras akibat merasa tersinggung, apalagi saat harus melihat Mentari menatapnya penuh kebencian dan mendengar kelanjutan kalimat sang calon istri selanjutnya.
“Bertemu dengan lo adalah malapetaka buat gue.”
Brakk!
Marcel yang terpancing emosi langsung melampiaskannya dengan memukul meja rias dengan keras hingga membuat wanita dalam kungkungannya terlonjak kaget. Dari tatapannya jelas sekali Marcel begitu marah, bahkan tadi otaknya menyuruh untuk menampar sang calon istri. Akan tetapi, alih-alih melakukannya, pria itu memilih untuk melampiaskan lewat pukulan meja.
Mencoba lebih rileks, Marcel mengulum bibirnya dan memaksakan seulas senyum di wajah. Senyum yang merupakan ancaman tersendiri bagi Mentari karena selanjutnya dia berkata, “Sayangnya, malapetaka lo belum di mulai, Mentari Serafina Zeline. Tepat setelah gue mengucap ijab kabul, maka itu adalah awal dari malapetaka yang akan lo hadapi seumur hidup lo.”
Dengan cepat Marcel menegakkan tubuhnya dan pergi dari ruangan itu. Meninggalkan Mentari terdiam seorang diri sambil menahan rasa marah di dalam hatinya dan genangan air mata di pelupuk mata.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Mentari Serafina Zeline dengan mas kawin tersebut tunai." Suara Marcel yang selesai mengucapkan ijab kabul, menggema ke seluruh penjuru masjid. Menjadi pertanda bersatunya Mentari dan Marcel dalam ikatan suci pernikahan. Sejujurnya, Mentari ingin sekali menangis. Namun, ia tidak sudi melakukannya di depan Marcel yang kini sedang menyeringai k**i sambil menatapnya.
Saat itulah Mentari menyadari bahwa kehidupannya tidak akan sama lagi. Seandainya bisa, ia ingin sekali kembali ke sembilan tahun yang lalu sebelum ia bertemu dengan Marcel. Ia ingin sekali mengubah takdirnya sehingga ia tidak perlu bertemu atau bahkan mengenal seorang Marcelino Soebrata.
Resepsi pernikahan sudah selesai digelar. Namun, raut wajah Mentari tak ubahnya manekin. Datar. Benar, seharusnya ia bahagia dengan pernikahannya. Tapi hal itu hanya akan terjadi kalau ia menikah atas dasar cinta. Masalahnya, ia tidak mencintai suaminya. Sebaliknya, Mentari begitu membencinya. Pernikahan ini pun terjadi karena Marcel yang memaksanya.
Cih. Bahkan, menyebut nama pria itu saja sudah mampu membuat darah Mentari mendidih. Mentari benar-benar muak padanya. Ia membenci Marcel hingga ke urat nadinya. Ia sedang benar-benar tidak ingin melihat wajah pria itu saat ini. Dan Mentari bersyukur karena pria itu tidak sedang berada di sisinya. Saat ini Mentari sedang sendirian di dalam sebuah kamar yang Bik Mira bilang adalah kamarnya.
Kamar Mentari di d******i warna gading. Well, sebenarnya ruangan itu tidak jauh berbeda dengan ruangan-ruangan lain di mansion Marcel yang memang di d******i warna gading. Hanya saja, sprei ranjang Mentari memberi sedikit warna yang membuat kamar itu tidak tampak membosankan, yaitu warna merah.
Mentari menghela napas berat. Hari ini, kehidupan bak neraka baginya baru saja dimulai di dalam mansion megah bak surga milik Marcel.
***
"Harusnya lo nikmatin malam pertama lo, bukannya minum-minum di sini," Mario berkomentar sambil menghempaskan pantatnya ke kursi tinggi di samping Marcel duduk di meja bar. Marcel hanya melirik Mario sebentar lalu kembali menandaskan seloki vodka yang dipesannya.
Mario menghembuskan napasnya perlahan melihat sikap tidak acuh Marcel. Kemudian, ia ikut memesan vodka yang dipesan sepupunya itu pada bartender. Mario memusatkan atensinya kembali pada Marcel. "Akhirnya, lo dapetin dia. How do you feel now?"
Marcel kembali menenggak vodkanya. "I don't know," tandasnya setelah terdiam cukup lama. Ia kembali menuang vodka ke dalam gelas lalu menandaskannya dalam sekali tenggak.
Mario menghela napas berat. Ia ikut menuangkan vodka ke dalam gelasnya lalu meminumnya sedikit. Mario tersenyum sendu sambil memainkan gelasnya yang masih berisi sedikit vodka yang habis diminumnya. "Dari dulu, lo susah banget ditebak, Cel. Gue udah kenal lo lama, tapi belum pernah sekalipun gue bisa ngerti jalan pikiran maupun isi hati lo."
Marcel diam, tapi ia tampak mendengarkan.
Mario melanjutkan, "Sembilan tahun yang lalu, tiba-tiba lo mutusin pergi ke Amerika buat belajar bisnis di sana. Padahal, sebelumnya lo bersikeras nolak belajar bisnis karena nggak mau jadi pewaris bokap lo. Setelah pulang dari Amerika dan diangkat jadi CEO, lo bikin bokap Mentari bangkrut dan maksa dia buat nikah sama lo. Padahal, selama ini lo bahkan nggak pernah nyebut namanya dan nanyain kabarnya. Dan waktu gue tanya gimana perasaan lo, lo nggak tau."
Mario menghembuskan napas cukup panjang sambil berhenti memainkan gelasnya. Ia menoleh pada Marcel lalu menatapnya serius. "Sebenarnya apa tujuan lo ngelakuin semua itu? Apa rencana lo ke Mentari?"
Marcel menatap gelasnya tajam sambil mencengkeramnya kuat. Mario dengan sabar menanti jawaban dari pertanyaannya walaupun ia tahu belum tentu juga Marcel akan menjawabnya. Mario tahu pasti kalau Marcel pasti melakukan semua itu—belajar bisnis dan menikahi Mentari— untuk tujuan tertentu. Ia tahu Marcel merencanakan sesuatu.
Alih-alih menjawab, Marcel mengeluarkan dompetnya lalu mengambil beberapa lembar uang dari sana. Kemudian, ia meletakkannya di meja bar.
"Apa pun tujuan dan rencana gue, biar itu jadi urusan gue," Marcel berkata dingin sambil bangkit dari duduknya lalu melangkah pergi meninggalkan Mario. Mario menatapnya terkejut, tapi ia tidak menahan Marcel untuk tetap tinggal.
Mario hanya mampu menatap punggung Marcel yang menjauh dengan tatapan ingin tahu. Andai aja gue bisa baca pikiran lo, Cel, Mario membatin.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Mentari masih setia duduk di tepi ranjang queen size miliknya, menghadap keluar jendela kamarnya yang gordennya sengaja ia biarkan terbuka. Mentari begitu karena ia tidak bisa tidur. Banyak sekali hal yang sedang dipikirkannya.
Ceklek.
Mentari mendengar langkah seseorang memasuki kamarnya. Mentari yang awalnya tidak peduli dengan siapa sosok yang memasuki kamarnya, kini menoleh setelah mendengar suara pintu yang dikunci. Matanya melebar begitu melihat Marcel sudah berdiri di dekat ranjangnya dengan seringai kejam menghiasi bibirnya. Mentari sedikit bergidik melihat seringaian itu, tapi ia tetap bersikap biasa dan dengan cepat berpaling.
"Ngapain lo ke sini?" Mentari bertanya dengan nada ketus. Berbeda dengan ekspresi wajah dan sikapnya yang tampak dingin, sebenarnya ia begitu gugup dan sedikit tegang.
Marcel melangkahkan kembali tungkai-tungkainya semakin mendekati Mentari. Semakin Marcel mendekat, Mentari semakin mengeratkan pegangannya pada tepian ranjang. Melihat hal itu, Marcel menyeringai makin lebar.
"Kayaknya lo gugup," seloroh Marcelino Soebrata dengan nada mengejek. Ia membungkukkan tubuhnya sedikit agar wajahnya sejajar dengan wajah Mentari yang enggan menatapnya. "Kenapa? Lo pikir gue ke sini buat minta hak gue, ya? Lo belum siap?”
Mentari mengernyit tak suka. Napas Marcel berbau alkohol. Dia mabuk. Mentari memilih diam. Ia sama sekali tidak ingin menjawab, takut jawabannya mengakibatkan sesuatu yang tak ia inginkan. Ia memilih untuk semakin berusaha menutupi kegugupannya.
Namun, sikap diam Mentari justru membuat kesabaran Marcel habis. Marcel menggeram marah lalu mencengkeram kasar rahang Mentari. Ia memaksa Mentari agar menatap wajahnya. Mentari hanya menatap Marcel sengit.
"Tatap dan jawab gue kalo gue lagi ngomong, s****n!" Marcel membentak. Mentari bergeming. Sedetik kemudian, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain, tak mau menatap Marcel lama-lama. Marcel semakin geram dengan sikap Mentari.
"Jadi lo mau main-main sama gue, hm?" Marcel mendesis. Seringai mengerikan kembali menghiasi wajahnya. "Oke, kalo gitu gue ladeni permainan lo."
Sejurus kemudian, Marcel mencium bibir Mentari secara paksa. Mentari terkejut lalu memberontak dengan berusaha memukuli d**a Marcel. Namun, Marcel menahan kedua tangan Mentari agar tidak bisa bergerak.
Kini, Marcel mendorong Mentari agar berbaring di ranjang. Marcel menindihnya dan mengunci kedua tangan Mentari di kedua sisi kepalanya. Mentari memberontak sebisanya.
"Marcel ... lepas!" Mentari mengelak di sela-sela ciuman kasar Marcel.
Marcel menghentikan aksinya. Mentari terengah. Marcel menyeringai kemudian kembali menjamah bibir yang sudah menjadi candunya sejak lama. Kali ini, ia melumat bibir Mentari kasar dan penuh nafsu. Mentari semakin berontak, tapi tenaga Marcel jauh lebih kuat. Semakin lama, Mentari justru merasakan ada yang aneh pada tubuhnya. Ciuman basah, menuntut, dan penuh gairah yang diberikan Marcel membuat perut dan bagian tubuh bawahnya berkedut aneh. Hal itu justru membuatnya terlena. Bahkan ia tanpa sadar membuka mulutnya agar Marcel mempunyai akses lebih untuk memasukkan lidahnya.
Mentari yang tadi sempat terlena, kini kembali mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memberontak. Sayangnya, ia belum cukup kuat untuk menghentikan aksi gila Marcel. Marcel kini justru berpindah sasaran dengan menyesap kulit leher Mentari hingga Mentari memekik, "M-Marcel! Stop!"
Marcel bergeming. Ia tetap melanjutkan aksinya hingga akhirnya tujuannya terpenuhi; Mentari mendesah. Marcel menyeringai di kulit Mentari. Kini, ia pun dengan sangat tidak sabaran merobek atasan piyama Mentari. Mentari menjerit. Ia semakin berusaha mendorong dan memukuli Marcel. Namun, hal itu justru berakibat fatal.
Plaakk!
Marcel menampar pipi Mentari hingga kepalanya meneleng ke samping.
Mentari dan Marcel sama-sama terdiam dan terengah setelah kejadian itu. Tapi, Marcel lebih dulu bangkit dari keterdiamannya. Ia menarik kasar rambut Mentari agar kepala gadis itu menoleh kepadanya sehingga bisa menatap wajah marahnya. Pipi Mentari basah oleh air mata. Mentari tampak begitu terluka.
"Lo harus gue hukum karena berani ngelawan gue!" Marcel mendesis. Ia kemudian menurunkan celana piyama dan celana dalam Mentari sepenuhnya. Membuatnya t*******g bulat dalam sekejap mata.
Yang bisa Mentari lakukan setelah itu hanyalah terus menjerit di antara rasa sakit dan nikmatnya saat Marcel terus menghujam titik sensitifnya dengan brutal dan kasar.