The Guardian Angel

2739 Kata
Mentari membuka matanya tepat saat jarum jam menunjuk angka 12. Kamarnya begitu gelap karena lampunya padam. Belum lagi malam memang sudah menjelang. Mentari mengernyit tatkala merasa pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum. Lantas ia menoleh. Benar, jarum infus memang tertancap di pergelangan tangannya. Sesaat, ia merasa heran. Namun, pada detik ketiga ia teringat akan apa yang terjadi padanya. Ia tadi jatuh pingsan di depan kamarnya saat akan mengambil makan. Baiklah, ia tadinya memang bersikeras tidak mau makan. Namun, tiba-tiba saja ia teringat oleh kakaknya. Seketika itu juga ia sadar bahwa tidak seharusnya ia melakukan tindakan bodoh itu. Ia baru sadar kalau ia masih memiliki seorang kakak sebagai alasan agar ia tetap bertahan hidup. Maka dari itu ia mengalahkan ego dan gengsinya sendiri untuk mengambil makan tadi. Sayangnya, sebelum tujuannya terlaksana, ia lebih dahulu tumbang. "Haus ...." Mentari berbisik pada dirinya sendiri. Sungguh, kerongkongannya sudah sangat kering. Entah, sudah berapa lama ia tidak minum. Yang pasti, ia harus membasahi kerongkongannya sekarang juga. Ia melirik nakas di samping ranjangnya. Nihil, tak ada sesuatu yang bisa ia minum di sana. Dengan sedikit kepayahan, Mentari menegakkan badannya. Gerutuan keluar dari plumnya seraya ia menurunkan kedua tungkainya untuk perlahan bangkit dari ranjangnya. Dengan tertatih, ia mulai berjalan keluar kamar membawa infus bersamanya. Saat Mentari membuka pintu, rupanya Daffa—pengawal pribadinya— tidak sedang berjaga di depan kamarnya. Ya, selain mengurung Mentari, Marcel juga mengutus seorang pengawal untuk mengawalnya. Pengawal itu adalah Daffa yang usianya hanya terpaut tiga tahun darinya. Dan Mentari baru mengetahui soal pengawal itu tadi, sesaat sebelum ia pingsan. Bahkan, sepertinya pengawal itu juga yang pertama kali menolongnya saat jatuh pingsan tadi. Lantas, Mentari kembali menggerakkan tungkainya menjejaki lantai marmer untuk menjangkau anak tangga. Ia harus ke dapur untuk mengambil minum di sana. Juga mungkin sedikit makanan karena ia sungguh lapar. Lima menit berjalan ke dapur—yang seharusnya bisa ditempuh kurang dari itu kalau Mentari tidak tertatih— akhirnya membuat senyum tipis terukir di bibir Mentari. Langsung saja ia menjangkau kulkas dan mengambil sebotol air mineral di sana. Mentari minum seperti orang kehausan. Ah, rasanya begitu segar saat air mineral dingin itu membasahi kerongkongannya. Setelah sebotol air itu ia tandaskan, Mentari kembali mengorek isi kulkas. Ia menemukan roti di dalamnya dan segera melahapnya dengan sedikit rakus. Setelah rasa haus dan laparnya terobati. Mentari segera kembali ke kamarnya. Lagi-lagi Mentari berjalan tertatih menuju kamarnya di lantai dua. Lantai yang sama dimana letak kamar Marcel berada. Bicara soal pria b******k itu, Mentari sudah dua hari tidak melihatnya. Mentari bersyukur atas hal itu karena dengan begitu, ia tidak akan teringat akan kelakuan biadab Marcel saat terakhir mereka bertemu. Sepertinya juga pria itu sedang tidak berada di rumah, tapi ... ah, masa bodohlah! Untuk apa Mentari memikirkannya? Saat sudah berada di kamarnya dan hendak naik ke ranjang, langkah Mentari tiba-tiba saja berhenti. Tubuhnya tiba-tiba menegang. Matanya membulat saat mendapati ada sosok lain yang berada di kamarnya. Atau lebih tepatnya di atas ranjangnya. "Dari mana lo?" Bariton yang sudah ia kenal menyapa gendang telinganya. Nada bicara yang terlontar begitu dingin. Mentari juga bisa melihat kalau wajah si pemilik suara juga mengeras. Tatapannya pun seolah mengintimidasinya. Mentari menelan salivanya dengan susah payah. Sesaat, Mentari hanya mampu terdiam. Batinnya berperang. Haruskah ia menjawab pertanyaan itu? Sebetulnya, ia lebih suka bersikap tak acuh pada Marcel, tapi ... kalau ia tidak menjawab, ia takut Marcel akan menghukumnya lagi. Sungguh, Mentari takut kalau sampai 'itu' terjadi lagi. Ia benar-benar merasa trauma. "Da ..." Mentari berdeham guna menetralkan suaranya yang serak. "Dapur. Gue dari dapur," Mentari berujar dengan begitu pelan. Usai mengatakannya, ia lantas menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia mendengar Marcel mendengus kasar. Dengan panik, Mentari memundurkan langkahnya saat tiba-tiba Marcel bangkit dari ranjang dan menghampirinya dengan langkah lebar-lebar. Rasa paniknya makin jadi saat Marcel menarik pinggang dan tengkuknya kemudian menyatukan kedua material basah milik mereka. Lumatan kasar dan tergesa Marcel berikan pada Mentari yang hanya melotot terkejut karena 'serangan' tiba-tiba itu. Mentari ingin melawan, kalau ia boleh jujur. Namun, ia lagi-lagi hanya bisa pasrah menerima perlakuan Marcel karena takut membuat pria itu marah. Mentari mengecap rasa yang aneh dari lidah Marcel saat pria itu melesatkannya ke dalam mulutnya. Rasanya seperti ... ah, vodka! Pasti Marcel habis mabuk. Dan sepertinya ia juga habis ... tidur dengan jalang? Mentari mengetahui hal yang satu itu karena tubuh Marcel berbau parfum wanita. Entah kenapa Mentari seperti tertohok oleh fakta itu. Fakta bahwa Marcel menciumnya setelah ia mencium dan meniduri jalang membuat harga dirinya teriris. Saat Mentari masih sibuk dengan pemikirannya, Marcel justru menghentikan aksinya. Ia tampak terengah. Pun dengan Mentari yang baru sadar kalau menahan napas sedari tadi. "Itu hukuman lo untuk hari ini, Mentari." Marcel menggeram. "Lain kali, kalo kondisi lo nggak lagi kayak gini, gue akan hukum lo dengan cara yang lebih menyenangkan buat gue dan menyakitkan buat lo. Just wait and see." Kemudian, Marcel menarik diri menjauhi tubuh Mentari. Ia melangkahkan tungkai-tungkainya keluar dari kamar sang istri. Sementara itu, Mentari hanya bisa mengernyitkan dahi heran memikirkan perkataan Marcel. Hukuman? Ia membatin. Memang apa kesalahannya pada Marcel hari ini? Mentari menggeleng kemudian melanjutkan kegiatannya yang tadi tertunda. Ia segera menaiki ranjang dan membaringkan tubuhnya dengan nyaman disana. *** Marcel sedikit merasa heran saat melihat Mentari duduk di meja makan yang sama dengannya. Bukan karena apa-apa, ia heran saja pada sikap yang ditunjukkan wanita itu. Pasalnya, beberapa hari ini Mentari enggan makan di ruang makan. Lebih suka menghabiskan waktu seharian di kamar. Oh, sebenarnya Marcel tidak mau terlalu peduli dengan eksistensi wanita itu. Hanya saja ia benar-benar penasaran dengan alasan sang istri hingga sudi makan bersamanya. Marcel pun melanjutkan ritual sarapannya yang tadi sempat tertunda oleh kehadiran Mentari. Mentari juga ikut memakan sarapannya walaupun dengan sedikit tidak berselera. Wanita itu makan dalam diam. “Gue mau ke Dubai selama seminggu,” Marcel berujar tepat setelah ia menyelesaikan sarapannya. Mentari yang sejak tadi hanya menunduk dalam, mengangkat kepalanya untuk menatap Marcel, menunggu kelanjutan kata-katanya. Tatapan yang ditunjukkannya bukan tatapan penuh kebencian seperti yang biasa Marcel dapatkan dari wanita itu. Itu hanya jenis tatapan ingin tahu. Marcel balas menatap Mentari tajam, bahkan terkesan penuh peringatan. "Selama gue nggak ada, jangan macam-macam! Kalau lo sampai macam-macam, siap-siap gue hukum." Ia beralih pada Daffa, pengawal Mentari yang juga berada di sana. "Awasi dia!" "Baik, Tuan," Daffa berkata seraya mengangguk. Marcel langsung bangkit dari duduknya. Namun, ia yang tadinya hendak melangkahkan tungkai panjangnya, tiba-tiba mengurungkan niatnya. “M-Marcel..." Suara Mentari yang terdengar begitu lirih mau tak mau membuat Marcel berbalik. Saat ini, Mentari sedang berdiri sambil menatapnya takut-takut. Keraguan tampak jelas di wajah cantik itu. Sepertinya ia ragu dengan apa yang akan dia katakan pada Marcel. "Hm?" Mentari menghembuskan napas perlahan, kemudian menjawab, “Bo-Boleh nggak kalo gue ... jenguk Kak Adit? Udah dua minggu ini gue nggak—" "Nggak." "Hah?" “Lo budeg? I said, no, Mentari. Lo udah tau peraturannya, ‘kan? Lo nggak boleh pergi ke manapun. Jadi buat apa lo tanya lagi?!" Marcel menukas tajam. Ia menatap Mentari marah. Napasnya memburu. Sementara itu, Mentari justru menatap Marcel dengan perpaduan antara tatapan tak percaya dan tatapan kekecewaan. Bahkan, Marcel bisa melihat lapisan kristal bening sudah menyelimuti hazel cantiknya. Sekali lagi, Marcel dibuat tertegun oleh sikap aneh Mentari. Kenapa reaksi wanita itu tidak tampak seperti biasanya? Biasanya Mentari akan membantah, tapi kali ini? Belum habis rasa herannya, kini Mentari justru menunduk, menyembunyikan wajahnya. Marcel pikir wanita itu sedang berusaha menahan diri agar tidak menangis di hadapannya. "Oke, gue ngerti," ujar Mentari sambil mendongakkan kepalanya kembali. "Gue nggak bakal tanya lagi." Lantas, Mentari pun berbalik dan berjalan meninggalkan Marcel yang masih merasa heran. Marcel melihat raut kesedihan yang menyelimuti wanita itu dengan sangat jelas. Daffa mengangguk singkat padanya lalu menyusul Mentari. Marcel menghela napas kasar kemudian berbalik pergi meninggalkan mansionnya. Berusaha abai pada sikap aneh istrinya. ***** Selepas kepergian Marcel, Mentari hanya duduk di bangku taman belakang mansion sambil menangis dalam diam. Hazelnya tak henti menatap bunga-bunga cantik yang tumbuh di sekitar taman. Senyum miris tersungging di bibirnya. Bunga-bunga itu sangat beruntung karena bisa menghirup udara segar setiap harinya. Tidak seperti dirinya yang harus terkurung di mansion yang hampir menyerupai neraka baginya. Sesungguhnya, sejak tadi ia ingin marah pada Marcel. Ia ingin sekali membantah larangan pria itu. Larangan Marcel sungguh tidak masuk akal baginya. Sekalipun Marcel suaminya, Marcel tetap saja tidak punya hak untuk melarangnya menjenguk kakaknya sendiri. Ia tadi juga hampir menangis karena menahan amarahnya. Tentu saja ia tidak ingin tampak lemah di hadapan Marcel, jadi ia berusaha menutupinya dengan menunduk lalu pergi. Pengecut, Mentari mengutuk dirinya sendiri. Akhir-akhir ini ia memang merasa seperti seorang pengecut sejak kejadian 'itu'. Mentari hanya tidak ingin Marcel kalap dan melakukan 'itu' lagi padanya. Maka dari itu, Mentari berusaha tidak melawan Marcel seperti yang biasa ia lakukan. Biarlah ia tampak seperti pengecut, yang penting ia tidak mendapatkan 'hukuman'. Mentari menghapus air matanya. Cukup, ia tidak boleh menangis lagi, apalagi karena pria b******k itu. Sebab, kalau ia terlihat lemah, maka Marcel akan semakin merasa menang. Lalu, ia menoleh pada Daffa yang sejak tadi berdiri di dekatnya duduk. Pria berusia 24 tahun itu hanya menatap lurus ke depan dengan wajah datarnya. Mentari mendengus. "Harus banget ya kamu deket-deket saya terus?" Mentari bertanya. Sejujurnya ia merasa risih dengan keberadaan Daffa di sisinya. Apalagi ia juga terus-terusan memasang wajah datarnya seperti patung. Daffa yang merasa sedang ditanya, menoleh padanya dan mengangguk. "Benar, Nyonya. Tuan menyuruh saya mendampingi Nyonya ke manapun Nyonya pergi sekalipun itu hanya di dalam mansion ini. Tuan ingin memastikan keselamatan Nyonya." "Wah, Marcel posesif banget, ya?" Mentari baru akan menimpali saat sebuah suara yang familiar menyapa gendang telinganya. Lantas, ia menoleh ke sumber suara. Dahinya berkerut tajam saat melihat seorang pria jangkung sedang menyengir ke arahnya sambil berjalan menghampirinya. "Hai, Sepupu Ipar!" "Marcel ke Dubai." Mentari menyuarakan isi pikirannya sesaat setelah Mario duduk dengan santainya di sampingnya. Mario menatapnya dengan alis terangkat. Cengiran lebar itu kembali Mario berikan seraya berkata, "Gue tau. Lagian, gue ke sini bukan buat ketemu dia. Gue mau ngunjungin lo." "Gue?" Mario mengangguk dengan semangat. Ia tampak seperti anak berumur lima tahun di mata Mentari. "Nggak papa, 'kan kalo gue ngunjungin sepupu ipar gue sendiri? Lagian, gue nggak lagi nangani kasus apa pun saat ini. Gue nggak tau harus ngapain, jadi gue ke sini saja" Mario adalah seorang pengacara. Ia bekerja di firma hukum milik keluarganya. Mentari tidak menimpali. Ia masih menatap Mario heran. Ia dan Mario tidak dekat, jadi wajar bila ia merasa aneh saat tiba-tiba Mario mengunjunginya seperti ini. Namun, sepertinya Mario tampak biasa saja dengan hal ini. "Ini cuma perasaan gue doang atau lo emang keliatan lebih kurus dibandingin pas resepsi kemarin?" Mario memperhatikan Mentari lamat-lamat. Ia memperhatikan wajah dan penampilan Mentari dengan seksama. Mentari mengalihkan pandangannya dari Mario. "Kayaknya gue emang kehilangan banyak berat badan deh," lirihnya. "Tenang aja, lo masih keliatan cantik kok." Mentari menoleh cepat pada Mario. Ia menatap Mario yang tersenyum lebar dengan tatapan tajam. Apa Mario baru saja merayunya? Sadar akan tatapan membunuh yang Mentari berikan padanya, Mario seketika mengubah ekspresi wajahnya. Ia mengibaskan tangannya sambil tertawa gugup. "H-Hei, jangan tatap gue gitu, Mrs. Soebrata! Gue nggak lagi ngerayu lo kok, gue cuma ngomong jujur. Gue yakin Marcel juga pasti mikir gitu." Setelah mendengar penjelasan Mario, Mentari langsung mengubah ekspresi wajahnya. Ia kembali mengalihkan atensinya pada bunga-bunga di sekitar taman. Marcel mana mungkin berpikir seperti itu? Ia justru akan tertawa bahagia melihat Mentari terpuruk. Tujuan Marcel memperistri dirinya hanyalah untuk membalas penolakan Mentari sembilan tahun silam, tidak lebih. Setelah mendapat panggilan dari seseorang, Mario pamit undur diri dari kediaman Marcel. Mentari ikut bersamanya, mengantarkannya sampai depan pintu. Daffa mengekori Mentari seperti biasa. "Lain kali gue bakal sering ke sini," Mario memberitahu. Ia melihat kerutan samar di dahi Mentari setelah ia berkata demikian. Mario buru-buru menambahkan, "Gue tau kita nggak deket, tapi apa salahnya kalo kita mencoba untuk lebih deket, kan? Lo istri dari sepupu gue, itu artinya sekarang lo juga sepupu gue. Jadi, boleh, kan?" Mentari tampak terperangah oleh penjelasan Mario. Namun, perlahan senyum tipis yang tidak sampai ujung mata terlukis di bibirnya. "Boleh kok," Mentari bergumam. "Nice." Senyum Mario semakin mengembang. Kemudian, Mario pun berpamitan. Sesaat setelah ia berbalik, Mentari memanggilnya. Mario menoleh. "Kenapa?" "Makasih ya udah ke sini." Mentari tersenyum. Kali ini senyumnya tidak dipaksakan seperti sebelumnya. Senyum Mario perlahan menghilang setelah mendengar perkataan dan melihat senyum wanita itu. Ia terkejut karena itu adalah senyum pertama yang Mentari tunjukkan padanya setelah sembilan tahun lamanya. Namun, keterkejutan itu tidak bertahan lama. Senyum lebar kembali terkembang di sudut bibirnya seraya ia melambaikan tangan. Setelah masuk ke dalam mobil, wajah Mario mendadak muram. Ia menghela napas berat sambil memejamkan kedua matanya erat. Tak lama, ia kembali memfokuskan netranya pada kediaman Marcel yang begitu megah, khususnya ke arah pintu di mana seorang wanita baru saja berdiri di depannya. "Ternyata benar dugaan gue. Selama ini Marcel nggak memperlakukan dia dengan baik," desah Mario. Ia menatap sendu pintu berpelitur cokelat itu. Ia tidak menyangka bahwa kecemasan dan kekhawatirannya selama ini terbukti benar. Marcel memang tidak mencintai Mentari seperti yang selama ini ia yakini. Marcel punya maksud lain pada Mentari yang tidak ia ketahui apa. Namun, di sisi lain, hal ini justru membuat Mario semakin membulatkan tekadnya. Ia semakin yakin dengan keputusannya. "Gue janji bakal jadi pelindung dan pelipur lara lo, Tar. Jangan khawatir." ***** Mentari tidak menyangka bahwa Mario serius dengan perkataannya. Keesokan harinya, pria itu datang lagi ke kediamannya dengan membawa makanan kesukaannya yaitu spaghetti. "Dari mana lo tau kalo gue suka spaghetti ?" Mentari bertanya saat Mario dengan cekatan membuka kotak styrofoam miliknya dan juga Mentari. Mereka berada di meja makan. Mario menyengir tanpa dosa. "Gue cuma nebak." Lantas, pria itu menyerahkan bagian Mentari. Mentari menerimanya dengan senang hati. Mario mulai makan dengan lahap. Sementara Mentari memandangi spaghetti -nya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Thanks," Mentari berkata sambil tersenyum. "Gue udah lama nggak makan spaghetti . Terakhir kali gue makan pas hari ulang tahun gue sebelum Papa dan Kak Adit kecelakaan terus koma." Senyum Mentari berubah menjadi senyum getir. Ia memainkan spaghetti dengan garpunya. Membicarakan ayah dan kakaknya, membuatnya seketika merindukan kedua pria yang begitu dikasihinya itu. Apalagi, kemarin Marcel melarangnya untuk menjenguk kakaknya. Kesedihan Mentari sekarang semakin terasa menyesakkan. Mentari menggigit bibirnya, menahan air matanya agar tidak keluar. "Mentari," panggil Mario yang ternyata menghentikan acara makannya saat Mentari berkata dengan nada sedihnya itu. Mentari mendongak. Ia mengangkat alis, bertanya. Sesekali, ia mengerjapkan mata agar air matanya yang tadi menggenang tidak tumpah. Mario tersenyum lebar. "Lain kali, kalo lo pengin makan sesuatu, jangan sungkan bilang ke gue. Gue bakal bawain buat lo jadi kita bisa makan bareng lagi. Oke?" Kini, Mentari tercenung dengan pernyataan Mario. Tak lama, senyum getir kembali menghiasi wajah cantiknya. "Jadi lo juga tahu ya, kalo Marcel ngurung gue di mansion ini? Lo tau kalo gue nggak boleh keluar rumah, jadi lo datang ke sini buat hibur gue?" Mendadak, senyum Mario hilang. Namun, cepat-cepat ia mengibaskan tangannya sambil tersenyum gugup. "A-Ah, mungkin lo salah sangka, Tar. Marcel bukannya ngurung lo, dia cuma nggak mau lo kenapa-napa. Lo tau, 'kan kalo Marcel punya banyak saingan bisnis? Dia cuma nggak mau saingan bisnisnya manfaatin lo buat ngancurin dia," Mario menjelaskan. "Bahkan, dia juga nugasin seorang pengawal pribadi buat jagain lo di dalam mansion ini, kan? Itu artinya dia emang khawatirin lo, Tar." Mario menambahkan. Ia mengedik pada Daffa yang sejak tadi berdiri diam di pojok ruang makan. Mentari menghembuskan napas lesu setelah mendengar perkataan Mario. Lo nggak tau, Mario. Marcel nyuruh pengawal ngawasin gue supaya gue nggak ngelukai diri gue sendiri. Dia nggak suka ada orang lain yang ngelukain gue, kecuali dia sendiri, Mentari berteriak dalam hati. Ingin sekali ia mengatakannya pada Mario. Namun, apa daya, ia dilarang keras mengatakan hal-hal apa saja yang telah Marcel perbuat padanya. Karena kalau sampai ia bicara macam-macam, maka nyawa ayahnya yang menjadi taruhan. "Lagian, gue ngunjungin lo karena gue nggak punya temen makan. Apa kata dunia kalo cowok seganteng gue makan sendirian, kan?" Mario merengut kesal. Mentari mau tak mau terkekeh pelan mendengar gerutuan Mario. Lucu sekali saat melihat pria raksasa seperti Mario merajuk bak anak TK. Ekspresi Mario benar-benar sangat menggemaskan di matanya. "Akhirnya lo ketawa juga." Mario tersenyum lega sambil memperhatikan Mentari lekat. Mentari yang merasa tidak nyaman diperhatikan seperti itu, lantas menghentikan tawanya. Ia berdeham pelan, kemudian berkata, "Udah ah, mending kita lanjut makan." "Ekhem!" Suara dehaman yang cukup keras membuat Mentari—yang masih menggenggam tangan Mario— dan Mario menoleh. Mereka dibuat terkejut oleh tatapan tajam dari sang pemilik suara. Terutama Mentari yang langsung melotot tak percaya. "M-Marcel ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN