Bab 3

1322 Kata
Aku dan Pram berkenalan pertama kali di kereta. Kala itu, aku tengah dalam perjalanan menuju rumah saudaraku untuk menghabiskan masa libur kuliahku. Umurku masih sembilan belas tahun ketika mengenal Pram dan masih mengenyam bangku kuliah di Jurusan Kebidanan. Kami bertukar nomor telepon saat itu juga dan perkenalan kami berlanjut hingga kami memutuskan berpacaran. Pada saat itu, jarak tidak menjadi kendala untuk hubungan kami. Pram yang saat itu sudah cukup mapan, rela bolak-balik Jakarta-Bogor demi untuk bertemu denganku seminggu sekali. Kadang kala, ia juga tiba-tiba muncul di depan kampus untuk menjemputku. Saat hari kelulusan, Pram juga menyempatkan hadir, padahal saat itu Pram sedang berada di luar kota. Hubungan kami selayaknya orang berpacaran lainnya. Nonton, makan, jalan-jalan keliling kota Bogor. Atau kadang hanya menghabiskan waktu di ruang TV rumahku dengan diawasi Ibuku. Dengan segala pengorbanan yang dilakukan oleh Pram, tentu saja saat itu aku luluh dan menerima pinangannya beberapa bulan setelah aku lulus kuliah. Padahal saat itu aku baru tiga bulan magang di sebuah klinik bersalin. Bapak dan Ibu yang awalnya berat untuk melepaskanku, akhirnya mengizinkanku menikah di usia muda, setelah Pram berjanji akan memenuhi segala keperluanku, orang tuaku dan satu-satunya adik lelakiku—Bahtiar. Pernikahanku dan Pram berjalan harmonis. Kami saling menjalankan kewajiban kami sebagai suami istri. Pram yang lebih dewasa enam tahun dariku sangat mengemong diriku yang selama ini selalu bersikap manja padanya. Hingga lima bulan lalu, mimpiku untuk menua bersama Pram dihancurkan dengan kedatangan Ayu ke rumah yang saat itu tengah berbadan dua. Tentu saja Ayu hamil anak Pram. Lima bulan lalu, aku menjadi Lintang yang kehilangan arah. Berhari-hari aku menangisi Pram yang telah tega mengkhianati pernikahan kami. Namun aku tak bisa pergi dari sini. Dari rumah yang aku tempati sekarang, karena jika aku pergi, Pram mengancam akan mengambil alih hak asuh Satria dan Elok. Bagaimana pun caranya. Aku tak bisa berkutik. Jangankan untuk membesarkan Satria dan Elok yang sudah terbiasa hidup nyaman dengan segala kemewahan yang diberikan Pram. Untuk menyewa pengacara yang mengurus perceraianku saja, aku harus menjual koleksi perhiasanku yang tidak seberapa. Bodoh. Ya, aku bodoh. Karena hampir delapan tahun lamanya, aku terlalu nyaman menjadi istri Pram dan tidak berpikir untuk memiliki tabungan sendiri. Dan saat ini, aku tengah merutuki kebodohanku disertai sebuah penyesalan karena memutuskan menikah muda. Saat ini, aku adalah seorang janda yang hanya memiliki tabungan tak seberapa dan juga minim pengalaman kerja. Dan tak bisa berkutik ketika Pram merendahkanku dengan kalimat pedasnya, untuk kesekian kali. “Kamu sok-sokan menolak uang dariku, padahal bekalmu saja cuma gado-gado,” sinis Pram lagi. Tatapannya benar-benar meremehkanku. “Setidaknya aku berusaha untuk berjuang sendiri. Bukan mengemis perhatian dan uang dari suami orang. Apalagi orang itu adalah kamu, Pram,” balasku sengit. Dengan segala kebencian yang menumpuk padanya aku menatapnya nyalang. “Kamu ….” Pram menggeram marah. Dua tangannya terkepal kencang di sisi tubuhnya. Urat-urat di sepanjang lehernya tampak menonjol, sepasang matanya juga mendelik tajam padaku. Mantan suamiku benar-benar marah. Namun aku tak gentar. Dengan segala kebencian yang menumpuk di hatiku, aku kembali berkata, “aku sudah mengorbankan masa mudaku, demi mengabdi padamu selama tujuh setengah tahun, Pram. Tapi kamu balas pengorbananku dengan pengkhianatan. Apakah, setelah semuanya yang terjadi, kamu masih berhak mengatur hidupku, Pram?” tanyaku dengan suara yang lebih lirih dari sebelumnya. “Urusan kita, hanya sebatas Satria dan Elok. Kamu tidak perlu repot-repot mengurusi penampilanku yang seperti gembel ini. Kamu hanya perlu memenuhi kebutuhan Satria dan Elok. Cukup itu.” Aku sama sekali tidak membiarkan Pram untuk berbicara dan kembali melanjutkan ucapanku. “Kalau kamu memang enggan melihatku dengan penampilanku yang seperti ini, mudah saja Pram. Kamu hanya perlu menunggu anak-anak di mobil, dan aku akan meminta Mbak Narti yang mengantar anak-anak ke depan. Atau ….” Tak kuselesaikan kalimatku, karena Pram sudah lebih dulu berbalik dan berjalan dengan langkah lebar menuju teras. Sepeninggal Pram, aku kembali duduk di salah satu kursi meja makan. Tanganku bergetar dan kakiku serasa lemas tak bertenaga. Pagi yang kupikir akan berjalan seperti biasa dengan keceriaan anak-anak. Namun justru berbeda jauh sekali. Pagi ini justru lebih suram dari pagi-pagi sebelumnya. Pram telah menghinaku habis-habisan. Ketika aku mendengar langkah kaki Mbak Narti, dengan tergesa kuhapus air mataku. Aku mencoba tersenyum pada Mbak Narti yang selama tiga bulan ini begitu tulus membantuku merawat anak-anak. “Anak-anak sudah berangkat, Mbak?” tanyaku. “Sudah, Bu.” “Saya juga mau siap-siap ya, Mbak. Jangan lupa kunci pintunya kalau Mbak Narti berangkat jemput anak-anak ya, Mbak,” pesanku pada Mbak Narti yang tengah menatapku iba. Mbak Narti mengangguk patuh. Setelah itu, dia berpamitan untuk mengepel rumah. Aku sendiri segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ketika di teras, aku melihat Ayu yang tengah berjalan-jalan pagi dengan bayinya. Aku pun berjalan menghampiri Ayu untuk menyapanya. “Berangkat, Kak?” Ayu menghentikan langkah, menyapaku lebih dulu. “Iya, Yu,” jawabku singkat sembari tersenyum. Setelah itu, aku sedikit membungkukkan badan agar bisa menatap dengan jelas wajah tampan Kiano—bayi Ayu dan Pram. “Kiano, diajak jalan-jalan sama Mami malah bobo,” kataku pada bayi berusia dua bulan yang terlelap di atas stroller. “Iya, dari tadi bobo terus. Mungkin karena semalam rewel, Kak.” Kutelisik wajah Ayu, yang pagi ini tampak kuyu, tidak seperti biasanya. Ibu muda ini, sepertinya benar-benar kelelahan mengurus bayinya. “Sabar, anak bayi memang suka ngajak main malam-malam. Dinikmati saja. Karena nanti begitu anak-anak sudah besar, kamu akan merindukan momen seperti sekarang,” kataku mencoba memberi dukungan. Ayu tersenyum kecil. Perempuan muda di depanku ini memang cenderung pemalu dan sedikit bicara. Aku pun kadang masih merasa heran dengan kepribadian Ayu yang seperti ini, mengapa bersedia menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri. Meski, saat itu Ayu mengaku mencintai Pram, tetapi aku masih tak habis pikir, mengapa perempuan muda macam Ayu yang dari keluarga berada, merelakan masa mudanya demi untuk bersanding dengan pria yang sudah memiliki anak istri. Melamunkan hal yang tidak-tidak, hingga aku tak sadar Ayu sudah mengulurkan amplop persegi panjang yang kuyakini berisi uang. “Aku nggak bisa menerimanya, Yu,” tolakku secara halus. “Simpan saja uang itu untuk kebutuhanmu dan Kiano,” lanjutku bersikeras menolak, uang dua juta yang diberikan Pram untukku guna membeli pakaian yang lebih layak. “Tapi kata Mas Pram, Kak Lintang sedang butuh uang ini untuk keperluan rumah. Nggak apa-apa, Kak. Aku ikhlas. Mas Pram juga sudah meminta izin padaku sewaktu berniat memberikan uang ini.” Ayu masih membujukku. Berusaha memasukkan amplop itu pada tas kerja yang kusampirkan pada bahu. “Aku nggak bisa menerimanya, Yu. Pram sudah bukan suamiku lagi. Dia sudah nggak memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah untukku. Dengan kalian yang memberikan perhatian dan memenuhi kebutuhan anak-anak saja, itu sudah lebih cukup untukku.” “Tapi, Kak ….” “Simpan saja uangnya ya. Lain kali kalau aku benar-benar membutuhkannya, aku akan meminjamnya padamu langsung,” kataku pelan tak ingin menyinggung perasaan Ayu, yang sudah berbaik hati mengizinkan suaminya memberikan uang pada mantan istrinya. “Ya sudah kalau begitu, Kak. Kalau ada apa-apa Kak Lin bilang saja ke aku ya. Bagaimana pun, Kak Lin adalah ibunya anak-anak. Aku paham, kalau Mas Pram masih perhatian ke Kak Lin.” “Kamu nggak cemburu, Yu?” tanyaku penasaran. Ayu menggeleng dengan cepat. “Enggak. Aku percaya sama Mas Pram.” Aku mengangguk dan memutuskan berpamitan untuk berangkat bekerja. Dan begitu aku membalikkan badan, tepat saat itu juga Pram datang dan memarkirkan mobilnya tak jauh dari aku dan Ayu berdiri. Tak ingin mendengar kalimat pedas dari Pram lagi, aku tergesa menuju motorku yang terparkir di cartport. Sayangnya, aku tak benar-benar lolos dari mulut tajam Pram. Karena begitu aku tiba di restoran dan membuka ponsel, kudapati pesan dari Pram dengan sederet kalimat beracunnya: Kamu yang menolak kebaikanku lebih dulu, Lintang. Ingat baik-baik, kata-kataku ini. Aku tidak akan pernah membantumu lagi, meski kamu dalam keadaan tersulit sekalipun. Kuabaikan pesan dari Pram yang baru selesai k****a, tanpa berniat membalas pesan tersebut. Karena aku tak ingin balasan pesanku justru semakin membuatnya kesal. Lagi pula, mengapa kamu masih harus sebegitu perhatiannya padaku, Pram? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN