Bab 1
Aku tengah menyiangi sayuran untuk dimasak esok hari ketika runguku menangkap suara girang kedua buah hatiku—Satria dan Elok. Selang beberapa detik, keduanya berlarian menghampiriku yang berada di dapur dan kemudian saling berebut untuk memelukku.
“Kangen Mama.” Satria si sulung berkata dengan manja. Sementara Elok adiknya tidak bersuara sama sekali dan hanya menyembunyikan wajahnya di dadaku.
“Elok kangen nggak sama Mama?” tanyaku pada si bungsu dan hanya dijawab dengan anggukan. Bungsuku memang cenderung lebih pendiam dari kakaknya—Satria.
“Ayo anak-anak, bersih-bersih dulu terus tidur. Besok sekolah.” Itu adalah suara mantan suamiku—Pramono Agung yang baru saja memasuki rumah dengan menenteng tas milik Satria dan Elok. Juga beberapa paper bag yang kuyakini adalah barang belanjaan Satria dan Elok.
Aku hanya menganggukkan kepala pada Pram sebagai bentuk kesopanan. Meskipun kami sudah berpisah, mau bagaimana pun hubungan kami saat ini, kami adalah orang tua dari Satria dan Elok. Sehingga, mau tidak mau aku harus menahan egoku yang sejujurnya tidak ingin mengenal Pram lagi.
“Ayo, Nak, Mama antar bersih-bersih. Setelah itu kita bobo bareng,” ajakku pada Satria dan Elok.
Meninggalkan Pram seorang diri di dapur, aku membawa Satria dan Elok menuju kamar mandi. Kubasuh badan keduanya dan memastikan mereka menggosok gigi. Setelah itu kuantar kedua buah hatiku ke kamar untuk berganti pakaian dan menemani mereka hingga terlelap.
Mungkin karena efek kelelahan setelah liburan dua hari bersama ayah mereka, hingga tak membutuhkan waktu lama, Satria dan Elok sudah tertidur pulas. Setelah memastikan tidur mereka benar-benar terlelap, aku beranjak dari kamar untuk kembali ke dapur, berniat untuk merapikan sayuran yang belum sempat kusimpan ke lemari pendingin.
Langkah kakiku tertahan di anak tangga terakhir mendapati Pram yang terlelap di sofa ruang tengah. Pria berkulit cokelat dan berperawakan tinggi terlihat nyaman menyandarkan kepalanya pada bantalan sofa.
Dadaku tiba-tiba terserang nyeri, ketika tiba-tiba kenangan kebersamaan kami melintas begitu saja di ingatanku. Lima bulan yang lalu, rumah tanggaku bahkan masih baik-baik saja. Aku dan Pram masih sempat saling menyalurkan hasrat di sofa yang sekarang diduduki oleh pria itu. Namun tiga bulan lalu, aku harus merelakan rumah tangga yang sudah kujalani hampir delapan tahun lamanya berakhir di pengadilan agama.
Ayu Wardani. Perempuan muda berumur dua puluh dua tahun ini lah yang telah meruntuhkan jalinan rumah tanggaku dengan Pram. Tiba-tiba saja, di suatu siang, Ayu menyambangi rumah ini dan mengatakan jika perempuan muda itu telah mengandung benih dari Pram.
Saat itu, duniaku seolah runtuh. Aku bahkan tak bisa berkata-kata ketika Ayu menjelaskan bagaimana awalnya ia dan dan Pram bertemu pertama kali, hingga menjalani hubungan terlarang di belakangku. Semalaman aku terjaga memikirkan langkah apa yang harus ku tempuh, karena saat itu aku benar-benar merasa belum siap jika harus berpisah dengan Pram. Namun aku juga tidak sudi, jika harus berbagi suami dengan Ayu. Hingga seminggu kemudian, aku membicarakannya dengan Pram. Pram bersikukuh tidak ingin menceraikanku, karena ia menganggap hubungannya dengan Ayu hanya sebuah kekhilafan. Namun ia juga tetap akan menikahi Ayu, karena harus bertanggungjawab atas bayi yang dikandung Ayu.
“Aku minta maaf, Lin. Aku sadar aku telah menyakiti kamu. Tapi tidak pernah terlintas di pikiranku sedikit pun, kita akan berpisah. Aku janji, meskipun aku telah menikah dengan Ayu, aku akan tetap ….”
“Aku yang nggak ingin berbagi, Mas.” Kupotong kalimat Pram begitu saja. “Aku ingin selamanya, hanya aku satu-satunya yang menjadi istri Pramono Agung. Tidak ada yang lain!” teriakku saat itu dengan tangis berderai.
“Lin,” panggil Pram tiba-tiba.
Seketika lamunanku buyar mendengar suara Pram menyebut namaku. Kutundukkan wajah, agar Pram tidak melihat mataku yang menahan tangis kemudian berkata, “Kamu bisa pulang sekarang, Pram,” kataku padanya. Semenjak kami berpisah, aku tak sudi lagi menyebut pria yang kini telah terjaga itu dengan sebutan Mas.
“Lin,” panggil Pram lagi. Dari balik bulu mataku, aku masih bisa melihat, kini Pram telah berdiri menghadapku. Ada jarak sekitar dua meter yang memisahkan kami.
“Aku harus kembali ke dapur untuk menyiapkan sayuran yang akan dimasak besok pagi. Kalau kamu keluar, sekalian tolong kunci pintunya ya,” ucapku yang bergegas melangkahkan kaki menuju dapur.
“Lin, tunggu.” Pram kembali memanggil, dan kudengar suara langkah kaki yang mengikuti langkahku. Namun kemudian aku mendengar dering ponsel milik Pram, dan detik berikutnya, pria itu berbicara dengan sang penelepon yang kuyakini adalah Ayu.
Tak berselang lama, Pram kembali bicara padaku, setelah mengakhiri sambungan teleponnya. “Aku pulang, Lin. Uang bulanan sudah kutransfer seperti biasa.”
“Ya, terima kasih,” sahutku tanpa mengalihkan fokusku dari bayam yang tengah kupetik.
Begitu kudengar Pram telah mengunci pintu dan membawa mobilnya masuk ke garasi rumah yang berada persis di depan rumah yang kini kutinggali, tangisku pecah begitu saja.
Sekuat apapun aku mencoba membenci Pram, tetap saja aku tak bisa mengingkari jika aku masih mencintai pria itu. Tujuh setengah tahun kami menikah, dan dua tahun lamanya kami berpacaran, bukankah sangat cukup membuat cinta yang kumiliki padanya mengakar begitu kuat?
Kupukul d**a yang terasa nyeri setiap kali mengingat pengkhianatan Pram dengan Ayu. Aku merasa bodoh karena hingga berbulan-bulan lamanya, Pram berhasil menyembunyikan perselingkuhannya dengan Ayu. Jika saja Ayu tidak mengandung benih pria itu, mungkin saat ini mereka masih asyik bermain api di belakangku.
Entah berapa lama aku menangis sembari memukuli d**a, hingga sebuah notifikasi pesan masuk membuatku berhenti menangis. Pesan dari Pram yang berbunyi: Aku lebihkan dua juta untukmu, Lin. Gunakan uang itu untuk keperluan pribadimu. Beli pakaian yang lebih layak pakai, karena kulihat pakaianmu sudah banyak yang lusuh.
Kuremas ponsel digenggaman begitu selesai membaca pesan dari Pram. Kenapa dia masih harus begitu perhatian seperti ini setelah kami berpisah? Tidakkah Pram tahu, jika perhatiannya ini akan semakin membuatku sulit untuk melupakannya?
Tak ingin menimbulkan salah paham dengan Ayu, akhirnya kubalas pesan Pram.
Aku: Terima kasih. Tapi nggak perlu, Pram. Aku akan berpakaian sesuai isi dompetku.
Tak lama, aku membuka mobile banking dan mengirimkan kembali uang dua jutanya. Aku hanya akan menerima jatah bulanan untuk Satria dan Elok saja. Tidak untuk diriku. Karena selain menyangkut harga diri, aku tidak ingin dikemudian hari hal ini menjadi sebuah masalah bagi Ayu. Terlebih jika hal ini sampai didengar oleh mantan ibu mertuaku, yang memang sejak dulu kurang begitu menyukaiku sebagai menantu.
Pram: Ini yang aku benci darimu, Lin. Kamu selalu keras kepala.
Dadaku kembali nyeri membacanya. Namun aku tidak ingin menjawab pesan itu. Aku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaanku, karena esok hari aku harus berjuang mengais rezeki. Aku kini bekerja menjadi pelayan di sebuah restoran dengan gaji yang jelas jauh dari kata cukup untuk menghidupi kedua anakku. Namun aku berjanji pada diriku sendiri, jika suatu hari aku akan mampu memenuhi segala kebutuhan Satria dan juga Elok dari jerih payahku sendiri.
Aku sudah merebahkan tubuhku yang terasa begitu lelah di samping Elok, ketika denting pesan masuk kembali berbuyi. Masih dari Pram yang terkesan marah, karena aku mengabaikan pesannya.
Pram: Kamu pikir, kamu sudah merasa hebat, hanya karena sebuah pekerjaan sebagai pelayan restoran? Sampai-sampai kamu berani menolak pemberianku?
Dadaku kembali berdenyut nyeri. Sejujurnya, aku bingung maunya Pram itu apa. Apakah ia belum puas menyakitiku dengan pengkhianatannya? Pram juga mengancam akan mengambil hak asuh Satria dan Elok, jika aku meninggalkan rumah ini. Hingga aku terpaksa harus tetap tinggal di rumah penuh kenangan ini. Dan harus mampu menahan gemuruh di d**a setiap melihat kemesraan Pram bersama Ayu, karena rumah kami yang berhadap-hadapan.
Dan sekarang, mantan suamiku itu justru menghina pekerjaanku, dan marah karena aku menolak niat baiknya.
Setelah berpikir beberapa saat, aku pun mengetikkan balasan untuk pesan Pram: Aku akan menerima uang itu, kalau Ayu sendiri yang memberikannya langsung padaku.
Begitu terkirim, aku memutuskan menonaktifkan ponsel, karena tak ingin diganggu lagi oleh Pram. Aku ingin tidur, karena hanya ketika malam lah, aku bisa beristirahat dengan nyaman.
Bersambung