Pesan yang dikirim ke WA Mahes sudah centang dua dan biru, tapi belum ada balasan darinya. Vara mendesah, apa begitu bencinya Mahes padanya sehingga pesan WA-nya saja tidak mau membalas? Vara hanya bilang jangan lupa makan, minum vitaminnya, jangan lupa salat. Hanya itu. Hal-hal sepele yang biasa dia lakukan. Vara tidak ingin mengubahnya. Setidaknya selama dua minggu perjanjian mereka. Setelah dua minggu itu, Mahes bebas menghapus namanya dari buku telepon atau bahkan memblokirnya.
[Kamu sibuk?]
[Aku kangen. Hari ini kita nggak ketemu, besok bisa ketemu? Aku janji nggak akan mengungkit atau nanya-nanya soal kamu sama dia.]
[Aku masih sayang kamu, Mahes. Balas chat aku kalau sempat.]
Lagi, pesan yang dia kirimkan langsung centang dua dengan cepat. Lalu berubah biru tak lama kemudian. Namun tanda-tanda Mahes akan membalas belum terlihat. Vara paham kalau Mahes mungkin membencinya sekarang. Orang lagi jatuh cinta memang begitu, kata Kanaya. Mereka tidak memedulikan nasihat dari orang-orang di sekitar mereka. Yang mereka pedulikan hanyalah perasaan bahagia pada orang yang dicintai dan jika seluruh dunia menentang, mereka akan maju terus pantang mundur. Kekuatan orang jatuh cinta hanya bisa disamai dengan kekuatan seorang prajurit yang maju perang membela negara.
Vara melempar ponselnya dan mulai memeluk lutut. Ketika sendirian, dia seperti kertas basah yang mudah koyak dan rusak. Berkali-kali dia mengucap istigfar dan mencari alasan yang membenarkan tindakannya. Mahes tidak boleh memutuskannya begitu saja. Hati kecilnya berkata dia harus merebut Mahes kembali. Harga dirinya sebagai perempuan terkoyak. Ingin rasanya berbuat kasar pada perempuan bernama Hanindita itu, tapi jika dia lakukan Mahes pasti akan semakin membencinya. Vara tidak terima sudah dicurangi seperti ini, dia tidak terima Hanindita sudah merebut Mahes. Kembali dia teringat perkataan Kanaya ketika melaporkan investigasinya.
"Anin ... dia tahu kalau Mas Mahes sudah punya pacar. Tapi dia tetap maju dan mendekatinya. Bahkan terang-terangan merebutnya. Itu kata sepupunya."
"Sakit," desis Vara. Tidak ada kata yang pantas untuk menggambarkan kelakuan Anin. Sebagai perempuan, dia seharusnya memahami perasaan perempuan lain. Bagaimana sakitnya ketika kekasihnya direbut orang.
"Kata Anin, kalau Mas Mahes dan dia saling menyayangi, buat apa dicegah-cegah. Perasaan itu diciptakan untuk dinikmati. Kalau ditahan-tahan artinya kita nggak bersyukur. Jadi terima aja dan nikmati."
"Wah, ngajak perang ni cewek! Di mana, sih tongkrongannya? jadi pengen nyamperin."
"Jangan, Ky. Mahes nggak suka karena kalian tahu tentang kelakuannya nyelingkuhin gue. Kalau sampai kalian rame-rame ngelabrak Anin, dia bakalan makin benci ma gue. Asal kalian tahu, gue masih sayang ma Mahes dan pengen dia balik lagi ke gue. Nggak mudah buat gue untuk suka sama orang apa lagi merasa nyaman seperti ini."
"Ya tapi kalau dianya udah nggak ngerasa nyaman ama lu trus gimana, dong? Mending lu cepet-cepet aja putusin dia terus move on. Lu cakep, masih banyak cowok yang lebih baik dari Mas Mahes mau jadian sama lu. Tapi sebelum lu putus beneran sama Mas Mahes, kita gamparin dulu ceweknya. Asli eneg gue!"
"Ky, anarkis banget sih otak lu! Maen kasar aja bisanya," tegur Kanaya.
"Gue benci banget sama cewek yang suka ngambil milik orang, dalam hal ini Vara sama Mas Mahes masih pacaran. Kalian, kan tahu gimana bokap gue ninggalin nyokap dan milih hidup sama selingkuhannya. Kalau dari pacaran aja udah suka ngambil milik orang, ni cewek pas nikah nanti nggak bisa dipercaya. Sekalinya ada suami orang yang lebih bening dikit bakal digaetnya juga."
Vara dan Kanaya menatap penuh simpati pada perempuan yang cepat meledak tapi sangat baik dan setia kawan itu. Mereka tahu perjuangan Vicky untuk memulihkan kondisi mamanya yang down setelah tahu suaminya selingkuh. Mereka juga tahu bagaimana emosinya Vicky kepada selingkuhan papanya itu sampai hampir dilaporkan kepada polisi seandainya papanya tidak membela Vicky di depan selingkuhannya. Papanya minta agar selingkuhannya itu bisa memaklumi rasa sakit karena ditinggalkan olehnya. Vicky dan papanya sangat dekat. Dulu ... sebelum perempuan yang lebih muda dan lebih cantik menggodanya.
"Masalah gue udah end. Nggak usah ngeliatin gue kayak gitu. Papa udah bahagia sama keluarga barunya, mama juga udah bahagia sama kita. Sakitnya nggak akan bisa hilang dan gue juga nggak bisa memaklumi perbuatan selingkuh Papa dan Mas Mahes. Cowok itu kayak kucing garong, kalau ceweknya nggak nahan diri, ya si cowok juga nggak mau melewatkan kesempatan. Gue yakin kalau si Anin ini kelewat lenjeh, pasti dia yang nyosor-nyosor duluan."
"Mungkin Mahes memang mencari yang lebih baik dari gue, Ky ... Ya. Dalam hal materi," kata Vara spontan. Mematahkan omongan panjang lebar Vicky.
Mendengar itu, Vicky mengernyitkan kening, dia menarik tubuhnya sedikit ke belakang. "Maksud lu, Mas Mahes matre?"
"Kayak gitulah. Kalian tahu seperti apa keluarga Mahes. Papanya meninggal dan mamanya cuma jualan di warung tenda. Kalau Mahes bisa dapetin cewek yang tajir, otomatis perekonomian mereka bakal terangkat."
"Ra ...." Kanaya menyentuh jemari Vara di atas meja. Berusaha berempati pada sahabatnya itu.
Hari ini Vara tidak menyentuh makanan yang sudah dipesannya tadi. Napsu makannya lenyap tak bersisa.
"Ya ... lu bilang Anin itu tajir, kan? Mungkin aja Mahes memang nyari cewek kayak gitu buat dinikahin."
Mata Kanaya memandang Vicky, minta agar sahabatnya itu membantunya menenangkan hati Vara. Mereka berdua sudah membicarakannya tadi malam melalui WA. Mereka tahu, meski sangat penasaran, Vara tidak akan stalking akun i********: Anin lagi karena akan membuatnya semakin sakit hati.
Tadi malam, ketika Vara dan Mahes makan malam di kafe murah di sekitar kantor Vara, Hanindita membuat story di instagramnya. Dia memosting fotonya dan Mahes yang sedang makan malam di kafe mahal. Konon katanya untuk merayakan ulang tahun Hanindita. Postingan itu seolah menyindir Vara yang hanya bisa makan malam di kafe biasa sedangkan dia sanggup membawa Mahes makan malam di kafe elit. Pada foto yang diambil dua bulan silam itu (captionnya: late post), Anin tidak menutupi wajah Mahes dengan stiker lagi. Kali ini dia terang-terangan menabuh genderang perang dengan Vara.
_*_
Kedua sahabatnya itu memang tidak memberitahukan penemuan mereka tentang unggahan terbaru Anin di story IG-nya semalam. Vara juga enggan membahasnya. Namun dia diam-diam mengecek akun IG Anin menggunakan akun fake. Vara tahu foto itu. Dia juga yakin, kedua sahabatnya melihat foto itu. Kembali hatinya teriris mengingat betapa mesranya mereka berdua di foto itu. Mahes dengan tawa lebarnya dan Anin yang menempelkan tubuhnya sedemikian rapat pada Mahes.
Bukan tanpa alasan dia berkomentar tentang kemungkinan Mahes memang sengaja memacari Hanindita. Dilihat dari postingan IG-nya, siapa pun bisa tahu kalau perempuan itu anak orang kaya. Dia sekolah di luar negeri dan sering liburan ke negara-negara asing. Tinggal di apartemen sendiri dan mengendarai BMW. Pergaulannya terbilang bebas, meski dalam beberapa postingan dia berhijab, tapi ketika Vicky memergoki mereka di Central Park, Anin melepas hijabnya. Juga ketika di bar, Anin tidak menggunakan hijab. Secara logika memang aneh kalau ada cewek berhijab minum sampai mabuk di bar. Kecuali mungkin cewek itu dalam kondisi depresi berat.
Vara ingat betapa inginnya dia datang ke kafe mahal itu, tapi tentu saja tidak terjangkau oleh keuangannya dan Mahes. Sekarang, Mahes makan di kafe itu dengan Anin. Seolah segala yang Vara miliki sedang direbut pelan-pelan oleh perempuan itu. Masa depan dan juga impian-impiannya. Vara menghela napas berat. Dia mengambil ponselnya dan melihat belum juga ada balasan dari Mahes. Dia pun memutuskan untuk mencurahkan perasaannya kepada kedua kakaknya, Kak Mery dan Kak Andara.
Vara menulis di ponselnya. [Kak, Mahes tega banget. Coba lihat foto ini.]
Dia mengirimkan SS foto romantis Mahes dan Anin di kafe mahal itu. Balasan datang dengan cepat dari mereka berdua.
[Ya ampun jahappp. Itu, kan kafe yang pengen kamu datengin.]
[Nggak ngerti. Emang kenapa sama kafenya?] Tentu saja Kak Andara tidak tahu karena dia tidak tinggal di Jakarta.
[Itu kafe mahal, Kak. Si Vara ini pengen makan malam sama Mahes di kafe itu. Katanya venuenya bagus banget. Romantic gitu. Cuma harga menunya mihil bingits! Sayang kalau cuma sekali makan.]
[Ohh .. terus itu foto kapan? Katanya Mahes nggak akan ketemu cewek itu dua minggu, kan?]
[Late post. Itu foto dua bulan lalu waktu si Anin ulang tahun.]
[Kok kesel lihatnya. Ini kayak dia mau nunjukin ke kamu kalau dia udah ngedapetin Mahes sepenuh jiwa raga. Nggak distikerin lagi muka Mahes.]
[Iya, Kak. Terus aku harus gimana? Huhuhu. Aku nggak ikhlas Mahes diambil cewek itu. Ini kayak, kurang ajar banget, sih, tuh cewek. Aku kayak dihina gitu, Kak!]
Kak Andara sedang mengetik. Sepertinya cukup panjang karena kata-katanya tidak segera muncul di ruang chat.
[Ran ... kamu nggak bisa ikhlas aja? Move on? Mungkin Mahes bukan pasangan yang baik buat kamu. Bersyukurlah Allah menunjukkan perbuatan curang Mahes sama kamu sekarang. Kalau terjadi setelah kalian nikah, mungkin rasa sakitnya jauh lebih besar dari sekarang. Karena bakal susah untuk meraih kepercayaan lagi pada orang yang sudah berbuat curang sama kita. Lagian kata Kakak, Mahes itu lagi ngerasa enak jalan sama Anin. Dia ngerasa bebas bisa kayak dulu lagi. Anin itu mengajak Mahes jalan menuju kesenangan bukan kebaikan seperti yang kamu lakukan. Itu cara kerja setan, iya, nggak, sih? Saran kakak, doakan saja Mahes kalau memang kamu masih mau balikan sama dia. Kirim Al-Fatihah untuknya. Semoga dia segera sadar kalau dia sedang berjalan di jalan yang nggak baik. Percaya sama Kakak, hubungan kayak gini nggak akan bertahan lebih dari setahun. Mending kamu lepaskan Mahes dan lihat gimana dia selama nggak ada kamu.]
Berulang kali Vara membaca kalimat-kalimat panjang yang dikirim kakaknya. Dia membenarkan nasihat Kak Andara. Namun tetap saja, hatinya belum bisa melepaskan Mahes, Dia masih butuh Mahes, dia masih sayang Mahes, dan dia ingin Mahes kembali padanya seperti dulu. Mungkin benar kata Kak Andara, dia harus banyak berdoa agar Mahes segera sadar. []