Day 2.1

1334 Kata
"Dia bilang begitu?" Vicky berusaha mensejajari langkah Vara yang terburu-buru ke kantin. Jam istirahat ini dia tidak mau menghabiskan waktu dengan menangis di kubikel. Sepertinya dia kurang cairan setelah mengeluarkan berliter-liter air mata semalaman. Dengan ditemani Vicky yang kebetulan pulang lebih cepat ke kantor karena sudah deal satu iklan yang lumayan besar, Vara memutuskan untuk mengganti cairannya yang hilang di kantin. "Dia bilang selama empat tahun itu always about me. Dia nggak punya waktu buat mikirin diri sendiri. What the .... He likes .... Ahh!" Vara menghentikan langkahnya dan memejamkan mata. Kedua bibirnya terkatup rapat. "Sabar, Ra. Sabar. Gue tahu, Mahes kayak bukan dia yang lu kenal. Gitu, kan?" Vicky menepuk-nepuk bahu Vara lalu merangkulnya. Mereka melanjutkan perjalanan ke kantin. Di belakangnya, Kanaya berjalan mengikuti sambil matanya tak lepas dari layar ponsel. Vara mengangguk mengiyakan kata-kata Vicky. Tarikan napasnya terdengar berat. Di dalam kepalanya terulang kata-kata Mahes semalam. Tepat seperti yang Mahes katakan, apa yang diucapkannya memang membuat Vara menangis semalaman. Tiba di kantin, tidak banyak bangku yang tersisa untuk diduduki. Vicky melihat ada satu meja dengan empat kursi yang mengelilinginya. Hanya satu orang yang duduk di situ dan Vicky mengenal siapa dia. Didekatinya lelaki yang sedang menyuapkan nasi soto ke dalam mulutnya. "Eh, lu pindah, gih!" usir Vicky. "Apaan, sih, Ky. Orang lagi makan juga," katanya sambil melanjutkan makan. "Ya udah kalau nggak mau minggir. Jangan risih, ya." Vicky pun melambaikan tangan pada Vara dan Kanaya. Menyuruh mereka mendekat. Dia lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Danu. "Hai, Nu," sapa Vara ketika disadarinya siapa lelaki yang tadi berusaha diusir Vicky. Danu sering meminta dibuatkan harga paket iklan untuk diajukan ke klien. Dia dan Vicky sama-sama anak iklan hanya saja Danu belum lama bergabung dan dia dua tahun lebih muda dari Vicky dan Vara. "Eh, Mbak Vara. Makan, Mbak?" tanyanya sambil mengangguk ke arah Vara yang menarik kursi dan duduk di sebelah Vicky. Diikuti Kanaya yang duduk di samping Danu. "Enggak. Mau b***k," jawab Vicky ketus. "Mbak Vicky ini, ya omongannya. Nggak lihat saya lagi makan?" protes Danu sambil meletakkan sendoknya. "Ya, lagian lu nanya yang udah jelas. Ke kantin, ya kalau nggak makan pasti minum. Masa kudu diperjelas lagi?" "Mana tahu mau ngerokok." Langsung Danu menutup mulut usai mengatakan hal itu. Sontak Vara dan Kanaya memandang ke arah Vicky. "Lu masih ... frente?" tanya Vara sambil menggerakkan tangannya di depan mulut maju mundur. Simbol orang sedang merokok. Dulu mereka memang perokok sambil mendengarkan lagu-lagu band Frente. Rasanya damai banget, sampai tak sadar sudah habis berapa batang. Itu dulu, sebelum Vara bertemu Mahes. Sekarang Vara berhenti, Jo berhenti, Kanaya memang tidak pernah menyentuh barang satu itu, dan Vicky ... mereka pikir dia juga berhenti. Ternyata belum. "Sekali-kali, Ran. Nggak habis sehari sebungkus, kok." "Serah, lu, sih. Itu hak elu dan lu juga udah baligh. Ngerti mana yang iya dan yang enggak," ujar Vara mengangkat bahu. Dia melayangkan pandang ke arah Kanaya yang masih asyik dengan ponselnya. Seolah dia dan ponsel adalah sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Seperti ... Mahes dan Hanindita? Ahh ... nyeri hati Vara ketika memikirkannya. Kata-kata Mahes semalam memantul-mantul di dinding kepala Vara. "Menjalin hubungan sama kamu itu toxic buat aku. Selama ini kamu terus yang minta diperhartiin. Kamu suka sakit, kamu suka ngeluh, kamu suka ngelarang nggak boleh ini, nggak boleh itu. Aku nggak bisa jalan sama temen-temen aku--" "Nggak bisa jalan gimana?" potong Vara. "Kamu masih bisa basket tiap Jumat sore. Masih maen Dota. Aku cuma nggak suka kamu ke clubbing atau ke bar. For what? It's a kinda suck thing i ever know!" "Iam like that before met you and will like that. You like or not." "This is not you i ever know." "You don't know me at all." "Please ... Mahes. Kamu itu cuma lagi bosen sama hubungan kita. Aku ngerti banget kalau kamu cuma pengen cari sampingan. But, it's not real! Kamu mempertaruhkan empat tahun kita hanya demi cewek yang kamu temui sesaat? Dia mungkin keliatan fresh di awalnya, tapi relationship itu nggak cuma di awal. Kita udah jatuh bangun sampai ke tahap ini dan ayolahhh ... kita bisa melalui ini, Mahes. I forgive you. Kita bisa mulai lagi da--" "Kamu nggak ngerti, ya? Aku udah nggak punya perasaan apa-apa lagi sama kamu, Vara. Ini ...." Mahes menunjuk dadanya berkali-kali. "Udah mati rasa sama kamu. Kamu bisa maksain badan aku di sini tapi pikiran aku? Ada di tempat Hanindita. Aku sayang sama dia. Kamu suka atau enggak, kali ini aku beneran serius sama dia. You know what i mean." Mahes meninggalkan Vara setelah menumpahkan segala perasaannya. Hati Vara seperti tercabik. Dia masih belum percaya Mahes bisa setega ini. _*_ "Gue rasa Mas Mahes masih sayang ama elo cuma dia terlalu b**o buat ngakuin. Kalau emang niat ninggalin ngapain harus tunggu sampai enam bulan. Sampai ketahuan." "Mungkin itu memang rencana dia," kata Kanaya tiba-tiba. "Lu diem-diem aja dari tadi trus sekarang tiba-tiba ngomong. Sehat, lu?" "Gue lagi stalking, Ky. Gue juga cari info gimana awal mulanya Mahes ketemuan sama tu cewek. Demi elu, Ra. Untuk menuntaskan hasrat ingin tahu, lu. Ya ... sebenarnya gue juga, sih." Kanaya memamerkan gigi putih berserinya yang terawat rapi. "Trus lu dapet apa?" Vicky mencondongkan tubuhnya ke depan. Hampir saja menabrak kepala Danu. "Eh, Kunyuk! Kenapa lu masih di sini? Bukannya udah selesai makan?" teriak Vicky yang menyadari masih ada Danu di depannya. Vara memandang Danu tak enak, tapi dia sendiri risih jika ada orang lain yang tahu banyak tentang berakhirnya hubungan dia dan Mahes. "Kamu, tuh, Ky nggak pernah baik sama aku. Judesss terus bawaannya. Masa iya PMS tiap hari. Awet amat." Danu mengomel sambil berdiri dan bersiap pergi. "Mbak Vara, saya permisi dulu, ya. Besok jangan lupa pesanan saya," pamit Danu pada Vara sambil memamerkan senyum manisnya. "Beres, Nu. Abis maksi gue e-mail. Dah siap, kok." Vara berusaha membalas senyum Danu. "Sopan amat sama elu. Nggak kayak ke gue," ujar Vicky setelah Danu pergi. "Danu itu nggak jelek-jelek amat, kok." "Lu, tuh kadang nggak nyambung banget, deh, Ya. Yang bilang dia jelek itu siapa? Dia itu ngeselin. Anak baru yang sotoy ya dia itu!" "Eh, tapi Danu itu mencurigakan, nggak, sih menurut kalian? Dia anak baru di iklan, katanya juga belum lama lulus, tapi kalian lihat nggak bawaannya? Fortuner terbaru! Buat anak iklan baru brojol itu udah wah banget!" "Biasa ajalah, Ya. Mana tahu bapaknya supir konglomerat. Tampilan si Danu aja ala kadarnya gitu. Dahlah, sekarang cerita penemuan lu." Vicky yang nggak sabaran pindah ke sebelah Kanaya. Dia menggeser piring berisi nasi dan lauk pauk ke hadapannya supaya bisa mendengar cerita Kanaya sambil makan. Kanaya menunggu pelayan yang mengambil piring bekas Danu pergi baru melanjutkan cerita. "Kalian tahu sahabat Mas Mahes, yang reporter itu?" "Agil? Kenapa dia? Kemarin gue tanya-tanya ke dia tapi dianya nggak mau cerita apa-apa." "Ya jelaslah, dia pasti melindungi kebobrokan temennya." "Jadi si Agil ini satu circle sama temen gue Ramdan. Ramdan ini pacarnya sepupu Hanindita. Pokoknya gitulah. Nah dari Ramdan ini gue ngorek keterangan dari sepupunya. Jadi Mas Mahes sama Agil itu maen ke Pao pao kira-kira enam bulan atau tujuh bulan yang lalu dan di sanalah Mas Mahes sama Hanindita kenalan." "Mereka kenalan di bar?" tanya Vara tak percaya. "Mahes ke bar?" "And guess ... Anin, itu panggilan Hanindita, dia mabok berat. Mas Mahes yang nganterin Anin pulang ke apartemen." Mereka semua terdiam. Mahes memang baik, apa lagi sama perempuan. Dulu Vara pun jatuh cinta padanya karena kebaikan lelaki berdarah Arab itu. Awalnya Vara cemburu kalau Mahes masih baik kepada perempuan tak dikenal. Lama-lama Vara bisa memahami perasaan Mahes yang perduli pada perempuan karena rasa sayangnya pada ibunya. Katanya, sama perempuan itu harus lembut, baik, perhatian. Namun yang dia lakukan pada Vara apa? Tak jarang karena sikap Mahes ini, banyak perempuan yang salah paham. Namun yang memahami, menganggap Mahes tak lebih sebagai seorang kakak. Terhadap Hanindita ... apa mungkin dia yang kege-eran lalu memanfaatkan Mahes? Terus ... kenapa Mahes bisa begitu nempel pada Hanindita? Seperti ... seperti ... lelaki yang baru saja mencicipi h****n dan dia sedang ketagihan. Apa seperti itu? []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN