Bab 4. Pernikahan Siri

1163 Kata
Hari itu, langit mendung seakan ikut merasakan beban yang dirasakan oleh semua pihak yang terlibat. Sebuah masjid kecil yang sederhana, terletak di sebuah kampung di pinggiran kota, menjadi saksi dari pernikahan yang penuh dengan ketegangan dan air mata. Clara sengaja memilih lokasi ini, jauh dari sorotan media, keramaian kota, bahkan dari keluarga mereka sendiri. Clara tiba lebih dulu dengan mengenakan pakaian rapi namun sederhana, berbeda dari penampilan glamornya yang biasa. Di belakangnya, Bagas dan Maya mengikuti dengan langkah berat. Bagas tampak tidak bersemangat, sementara Maya menundukkan kepala sepanjang perjalanan ke dalam masjid, hatinya dipenuhi kegelisahan. Di dalam masjid, hanya ada seorang penghulu, dua saksi dari kampung setempat yang tidak mengenal mereka, dan suasana hening yang terasa mencekam. Clara memastikan semuanya berjalan sesuai rencananya. Ia berbicara kepada penghulu dengan nada tenang namun tegas, menjelaskan bahwa ini adalah pernikahan siri atas persetujuan semua pihak. Ketika prosesi dimulai, penghulu meminta kedua mempelai untuk duduk. Bagas, yang biasanya terlihat tegas dan percaya diri, kali ini tampak gugup dan enggan. Ia sesekali melirik Clara, berharap wanita itu berubah pikiran. Namun, Clara hanya balas menatapnya dengan ekspresi dingin, seolah memberi peringatan bahwa ini adalah jalan yang harus mereka tempuh. Maya, di sisi lain, duduk dengan kepala tertunduk. Ketika penghulu bertanya apakah ia bersedia menikah dengan Bagas, Maya menjawab dengan suara pelan namun jelas, "Saya bersedia." Jawaban itu seperti pedang yang menusuk hati Bagas. Penghulu kemudian melanjutkan prosesi ijab kabul. Suara Bagas terdengar berat dan penuh keraguan saat mengucapkan akad. Namun, ia menyelesaikannya tanpa cela. Dengan itu, Maya resmi menjadi istri kedua Bagas dalam ikatan pernikahan siri. Clara yang berdiri di belakang mereka tersenyum tipis, puas melihat rencananya berjalan mulus. Ia melangkah mendekati Maya dan berkata dengan nada datar, "Selamat, Maya. Mulai sekarang, kau adalah bagian dari keluarga ini. Jangan lupa peranmu." Maya hanya mengangguk lemah, sementara Bagas menahan perasaan kecewa yang semakin menguat di hatinya. Dalam hati, ia merasa seperti kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Setelah prosesi selesai, Clara dengan sigap membawa mereka keluar dari masjid, memastikan tidak ada warga sekitar yang sempat bertanya-tanya. Mereka langsung kembali ke mobil, meninggalkan kampung itu dalam diam. Sepanjang perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu sunyi. Clara sibuk dengan ponselnya, Bagas memandang keluar jendela dengan ekspresi dingin, sementara Maya memeluk tangannya sendiri, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Sesampainya di rumah, Clara langsung turun dari mobil dengan langkah cepat. Tanpa menunggu Bagas dan Maya, ia masuk ke dalam rumah, mengatur semuanya dengan kendali penuh seperti biasa. Maya mengikuti di belakang, ragu-ragu, sementara Bagas tampak masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Clara berhenti di depan sebuah kamar yang terletak di sudut rumah, bukan kamar utama, melainkan kamar tamu yang sederhana. Ia menunjuk ke arah pintu dengan sikap tegas. "Ini adalah kamar pengantin kalian," katanya dengan nada tanpa emosi. "Tapi ingat, ini hanya untuk malam ini. Besok pagi, semuanya kembali seperti semula. Maya akan kembali menjadi pembantu di rumah ini, dan pernikahan ini nggak akan mengubah apapun." Maya menundukkan kepala, menggigit bibirnya untuk menahan air mata. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan demi menyelamatkan ayahnya, tetapi mendengar ucapan Clara seperti itu tetap saja menyakitkan. "Sebelum aku pergi," Clara memulai dengan nada datar, "aku ingin mengingatkan sesuatu. Aku sudah mengirimkan semua uang yang kau butuhkan untuk pengobatan ayahmu, Maya. Ayahmu akan mendapatkan perawatan terbaik sampai sembuh." Maya mengangguk pelan, matanya masih merah dan berkaca-kaca. "Terima kasih, Nyonya..." ucapnya lirih, meskipun hatinya terasa berat menerima kenyataan di balik bantuan itu. Namun, Clara belum selesai. Ia memandang Maya tajam, seolah ingin memastikan setiap kata-katanya tertanam dalam benak wanita itu. "Dan untuk uang seratus juta yang sudah kujanjikan, aku akan memberikannya setelah kalian berdua bercerai—setelah anak yang kuinginkan lahir." Kata-kata itu seperti pisau tajam yang menghujam hati Maya dan Bagas. Maya menunduk lebih dalam, sementara Bagas mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tidak percaya Clara bisa berbicara seperti itu, tanpa sedikit pun rasa empati. "Clara, cukup!" Bagas akhirnya bersuara, suaranya rendah namun penuh amarah. "Kau nggak bisa memperlakukan ini seperti transaksi bisnis." Clara menoleh dengan ekspresi dingin, menatap suaminya tanpa rasa takut. "Ini bukan bisnis, Mas. Ini adalah cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan tanpa mengorbankan karir dan tubuhku. Dan kau, lebih baik terima kenyataan ini daripada terus berdebat." Ia menghela napas pendek sebelum melanjutkan, "Ingat, Mas. Semua yang kau miliki sekarang, semua yang kita bangun bersama, ada karena aku. Jadi jangan pernah berpikir untuk melawan." Setelah berkata demikian, Clara berbalik dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Langkahnya penuh percaya diri, meninggalkan keheningan yang memekakkan di antara Maya dan Bagas. Maya menatap lantai dengan air mata yang mulai mengalir, merasa seperti pion dalam permainan yang tidak pernah ia pilih untuk mainkan. Sementara itu, Bagas berdiri di tempatnya, memandang pintu yang baru saja ditutup Clara. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya sampai kapan ia bisa bertahan dengan situasi yang begitu menghancurkan ini. Setelah kepergian Clara, keheningan menyelimuti kamar itu. Maya masih berdiri di dekat pintu, terlihat ragu-ragu untuk melangkah lebih jauh. Ia melirik sekilas ke arah ranjang sederhana yang berada di tengah ruangan. "Tuan Bagas," Maya memecah keheningan dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. "Saya akan tidur di lantai saja. Saya tahu posisi saya." Bagas, yang masih berdiri dengan tatapan kosong, akhirnya mengalihkan pandangannya ke Maya. Ia menghela napas berat, mencoba menenangkan kekacauan di dalam dirinya. "Enggak, Maya," jawabnya tegas, namun suaranya tetap lembut. "Kau nggak akan tidur di lantai. Kau adalah istriku sekarang, meskipun aku tahu ini bukan pilihanmu." Maya terkejut mendengar ucapan Bagas. Ia menggeleng cepat, matanya kembali berkaca-kaca. "Tapi, Tuan—" "Berhenti memanggilku 'Tuan'," potong Bagas dengan nada yang sedikit lebih keras. "Setidaknya untuk malam ini, panggil aku Mas. Kau sudah cukup menderita karena keputusan yang bukan milikmu." Maya hanya bisa diam, merasa semakin tertekan dengan situasi ini. Saat suasana malam yang sunyi di kamar itu terasa semakin berat, Bagas berdiri dari tempat tidurnya dan melangkah mendekat ke arah Maya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia meraih tangan Maya yang terulur ke samping, menggenggamnya dengan lembut namun kuat. Bagas menatap Maya dengan intens, matanya penuh kebingungan dan dorongan yang sulit ia kendalikan. Maya terkejut dengan tindakan Bagas yang begitu mendalam, bahkan terasa mengancam. Jantungnya berdegup kencang, dan tanpa bisa menahan dirinya, ia mencoba menarik tangannya kembali, menjauhkan diri dari Bagas. "Mas, jangan ...." kata Maya dengan suara gemetar, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya panik. Namun, Bagas tidak melepaskan cengkeramannya. Ia mendekatkan wajahnya ke leher Maya dan, tanpa peringatan, mencium kulitnya dengan lembut. Maya merasa tubuhnya kaku, seolah seluruh energi di dalam dirinya lenyap begitu saja. Ia tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi, tidak tahu harus bersikap bagaimana di hadapan suaminya, yang sekarang menjadi orang yang terasa asing bagi dirinya. "Mas, tolong ...," Maya berusaha berbalik dan menatap Bagas dengan wajah yang penuh ketakutan. "Aku ... nggak bisa." Bagas, meskipun masih memegang tangannya, berhenti sejenak. Wajahnya tampak bingung, ada perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. "Maya," katanya, suaranya lebih lembut, namun tetap mengandung keraguan dan kebingungan. "Aku nggak mau memaksamu. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kita harus melakukannya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN