3. Menantu Hina Dan Mertua Nyinyir

1455 Kata
“Nikah di KUA saja. Apaan sih pakai sewa hotel segala,” nyinyir ibu Santi ketika Tia dan Saka menyerahkan catatan agenda perihal pernikahan. Dari hari pernikahan, sewa keperluan nikah, termasuk tamu undangan, ada di catatan tersebut. “Dananya ada, Ma. Aku dan Tia sudah siapin,” yakin Saka. Ia melirik Saka yang duduk di sebelahnya. Mereka duduk di sofa panjang menghadap ibu Santi. “Memangnya ke depannya kalian enggak butuh uang?” sergah ibu Santi masih mengomel. “Kalian jangan naif. Resepsi memang sekali seumur hidup, tapi masa kalian enggak mikir ke depannya atau setidaknya setelahnya. Ketimbang buat pesta, mending buat modal usaha. Atau, simpan buat tabungan pendidikan anak!” “Sekolahin anak sampai sarjana mirip papanya. Bukan hanya modal dengkul sama keringat mirip mamanya!” “Apaan, hidup kok merantau. Iya, ... maksudnya kerja biar bisa memenuhi kebutuhan hidup. Namun masa iya, enggak mau lebih terpandang dikit. Sarjana lulusan terbaik kek, biar dapat kerjaan terhormat!” Ibu Santi menutup ucapan panjang lebarnya. “Ih, kok lama-lama gemes sendiri ke bibirnya ibu Santi!” batin Tia. “Di luar sana juga banyak sarjana termasuk lulusan terbaik yang enggak guna, Bu!” ucapnya. “Nah gitu, ... yang sarjana saja masih banyak yang enggak berguna. Apa kabar yang enggak?” sergah ibu Santi sengaja memotong pembicaraan Tia. “Sudah jangan dibalas,” bisik Saka yang sadar, Tia akan membalas. Ia menggenggam sebelah tangan Tia dan menatapnya penuh keteduhan. Agar calon istrinya itu mengalah karena melawan ibu Santi, tak ada gunanya. Yang ada pasti hanya ribut. Sementara posisinya tak mungkin membela salah satu dari keduanya. Karena baginya, baik ibu Santi maupun Tia, sama pentingnya. “Enggak gitu loh Sayang. Hidup ini ibarat gelas yang harus selalu dikosongin biar bisa buat nampung pelajaran yang lain. Jangan picik karena enggak semua orang bisa beruntung buat sekolah sampai sarjana. Contohnya saja aku, meski aku sendiri enggak tahu, dulu aku sempat sarjana enggak karena aku amnesia dan yang menemukan aku juga enggak menemukan apa pun buat jadi bagian dari identitasku,” jelas Tia. “Berarti kamu menganggap saya picik, ya?” ucap ibu Santi sambil tersenyum manis dan tentu saja karena ia sudah terlalu jengkel. “Ini mengenai faktor keberuntungan, Bu. Enggak semua orang beruntung bisa sekolah sampai sarjana. Namun seperti pepatah bilang, banyak jalan menuju kesuksesan. Banyak cara buat sukses, asal kita enggak malas! Cukup kerja keras, apalagi di tengah kemajuan teknologi layaknya sekarang, modal hape saja, bikin konten atau jualan, sudah bisa dapat uang!” jelas Tia. “Iya ... kamu memang paling pinter. Sarjana saja kalah!” ucap ibu Santi dan langsung membungkam Tia. “Kok gini banget, ya? Godaan sebelum pernikahan. Apa memang pada kenyataannya, ini sudah wataknya ibu Santi? Atau memang aku wajib hamil dulu, baru dia akan menerimaku? Tetap maju apa mundur saja, sih?” pikir Tia yang menjadi dilanda keraguan. Tia menghela napas pelan sambil sesekali melirik Saka yang juga jadi kerap meliriknya. “Menikah berarti membiarkan dirimu menghabiskan waktumu bersama pasanganmu,” batinnya yang juga menjadi berandai-andai. Karena andai ia memiliki orang tua maupun keluarga, rasanya pasti tak akan seberat sekarang. Masalahnya jangankan kedua kenyataan tadi dan telah menjadi harta yang paling berharga, identitas asli saja, Tia tidak punya. *** Pernikahan Tia dan Saka dilangsungkan sederhana di KUA karena ibu Santi yang memintanya. Ibu Santi tetap melarang keduanya menghambur-hamburkan uang, hingga pernikahan pun hanya melibatkan beberapa saksi tanpa ada pesta bahkan sekadar syukuran. “Sayang, kata kamu tetap ada syukuran meski enggak ada resepsi maupun pesta undang keluarga terdekat kamu?” protes Tia. Rias pengantin bahkan belum Tia hapus dari wajahnya. Namun apa yang sang mama mertua katakan, bahwa tidak ada acara syukuran pernikahan, membuatnya merasa sangat tidak habis pikir. Karena sebelumnya, Saka sempat menjanjikan sekaligus meyakinkan. Bahwa mereka akan melakukan syukuran meski hanya syukuran kecil-kecilan. “Syukurannya nanti kalau kamu hamil!” nyinyir ibu Santi tak lama setelah Saka memeluk Tia. Ia tak segan menerobos masuk ke kamar keduanya. “Sudah Ma ... sudah!” mohon Saka. Melalui tatapannya, ia memohon agar sang mama meninggalkan kamarnya. “Sudah, ... semua yang mama minta. Dari hanya menikah di KUA, tanpa resepsi, tanpa undang pihak keluarga, tanpa syukuran, ... sudah aku turuti,” lemah Saka. Kali ini, ibu Santi tak bisa untuk melakukan perlawanan lagi, meski sebenarnya, dirinya sangat ingin menyingkirkan Tia dari kehidupan Saka. Agar Saka bisa menikah dengan wanita berpendidikan, terpandang, dan tentu saja, kaya. *** “Sayang, ... enggak ada darahnya?” lirih Saka di malam pertama mereka. Saka mencari-cari darah yang tentu merupakan darah perawan. Darah dari pembuluh dara yang akhirnya robek, setelah senggama yang mereka lakukan untuk pertama kalinya. Di malam yang menjadi malam pertama mereka, sebenarnya Tia sedang merasa meriang, mual, pusing, selain perutnya yang sampai keram. Efek yang Tia rasakan setelah dirinya pulang dari klinik kecantikan sekaligus kesehatan milik kenalan ibu Santi, dua minggu lalu. Namun pertanyaan dari sang suami barusan, membuatnya tersadar. Bahwa di permainan cinta mereka yang pertama, memang tidak ada bercak darah di seprai. Tia yang baru menutupi tubuh polosnya menggunakan selimut, berangsur duduk. Niatnya, Tia ingin mensucikan diri terlebih dahulu, meski dengan hanya berwudu. Hal yang dianjurkan bagi pasangan muslim setelah mereka campur atau itu b*********a. Hanya saja, meriang dan semua keluhan sakit yang Tia rasakan, membuat Tia amat sangat rapuh. Yang mana, kenyataan bahwa dirinya sudah tidak perawan di malam pertamanya dan Saka, juga membuat hatinya remuk redam. “Maaf, Mas. Aku beneran enggak tahu kalau aku sudah enggak—” Tia menunduk menyesal. “Tapi tadi sempit banget, sih. Beneran enggak ada ... enggak ada keluhan berarti.” Saka masih menatap Tia penuh cinta karena pada kenyataannya, ia sangat menikmati permainan mereka. Mendengar tanggapan Saka barusan, hati Tia langsung terenyuh. Kedua tangan Tia langsung terulur dan merengkuh tengkuk Saka. Kemudian, bibirnya juga mengabsen wajah Saka dengan kecupan gemas. “Makasih banyak, ya!” lembut Tia yang kemudian mendekap manja tubuh suaminya. “Badan kamu masih panas, loh,” lirih Saka yang telanjur bucin kepada Tia. “Aku beneran enggak enak badan banget.” “Enggak enak badan gimana?” Saka menatap Tia penuh kepedulian. Tia yang masih memeluk manja Saka, sengaja menengadah hanya untuk menatap kedua mata suaminya. Tia mengatakan bahwa keluhan kesehatannya itu terjadi setelah dirinya pulang dari klinik, dua minggu lalu. “Enggak cocok apa gimana, ya?” rengek Tia benar-benar manja. “Bisa jadi, sih. Apa mau ke rumah sakit aja? Periksa keseluruhan kesehatan, biar sama-sama tahu,” balas Saka yang kemudian juga jadi kepikiran. “Aku rasa, kecelakaan yang kamu alami terbilang besar karena dampaknya fatal. Kamu sampai amnesia. Dan aku juga jadi mikir, kecelakaan itu bikin kamu jadi enggak ... maaf, ya. Aku curiga kecelakaan itu bikin kamu enggak perawan. Yang aku tahu, ada beberapa kejadian seorang wanita mengalami kefatalan itu.” Cara pikir Saka yang begitu memahami keadaannya, membuat Tia tak lagi meragukan hubungan mereka. Bahkan meski dirinya terancam memiliki mertua julid bin nyinyir. Bagi Tia, asal Saka tetap memihaknya, ia pasti bisa. *** Pernikahan Tia dan Saka layaknya pasangan yang saling mencintai pada kebanyakan. Keduanya tinggal satu rumah dengan ibu Santi. Tia yang pandai memasak dan rajin bersih-bersih, menjadi IRT yang baik untuk Saka. Namun, ibu Santi tetap tidak bisa menyukai Tia karena status sosial Tia membuat menantunya itu hina di matanya. Selain hobi mengganggu suasana romantis Saka dan Tia, ibu Santi juga mulai menyinggung mengenai kehamilan. “Kapan hamil? Sudah sebulan ini!” sindir ibu Santi bertepatan dengan anak dan menantunya yang sedang berci uman bibir. Seperti biasa dan sudah menjadi ritual setiap Saka pulang kerja. Tia yang sudah mandi, wangi, dan tentu saja cantik karena Tia sampai merias wajah, menyambut kepulangan Saka penuh suka cita. Sementara Saka yang bucin akut ke Tia sudah langsung memperlakukan Tia penuh cinta. Hanya saja, ibu Santi benci jika itu sudah terjadi. “Eh, ... Sayang, kita belum beli test pack buat cek kehamilan aku. Beli, yu! Ayo cek!” ucap Tia tak sabar menyambut buah cintanya dengan sang suami. “Hah ... hamil? Mana bisa kalian hamil, sementara di rahim kamu saja ada IUD?!” batin ibu Santi sambil melirik sinis Tia yang baru saja lewat di hadapannya. Sambil membawa tas kerja Saka ke kamar, Tia meminta ditungguin oleh sang suami. Karena Tia yang memakai piyama lengan panjang, akan ganti baju lebih dulu, sebelum sama-sama pergi bersama Saka ke apotek, untuk membeli test pack. “Beneran sebentar lagi, aku bisa menyebutnya sebagai wanita mandul!” batin ibu Santi tak sedikit pun luluh pada pengabdian Tia yang tak hanya menjadi istri yang baik. Karena selama satu bulan pernikahan, Tia juga sudah berusaha menjadi menantu baik. Rumahnya saja sampai kinclong Tia bersihkan, meski kini di rumahnya tak memakai ART. Termasuk juga, mengenai Saka yang begitu bucin ke Tia. Kenyataan tersebut sungguh tetap tak menyentuh hati ibu Santi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN