Hari pada kehidupannya yang telah berubah masih saja membuat Ella terkadang mencari ibunya saat bangun pagi, tapi menyapa kamar seluas lapangan voli di kampusnya barulah menyadari jika ia berada di kehidupan dongeng. Ya, seperti timun emas yang menjadi sosok Cinderella.
Matahari terbit mulai menyinari wajahnya dan Ella mencoba bangun ketika dua pelayan datang membawa pakaian terlihat baru untuknya, ia pun ingin tahu mengapa pakaiannya di lemari tersingkir begitu saja dari sana. Pertama Ella ragu harus bertanya dengan bahasa apa karena dilihat dari kedua orang itu tampaknya mereka bukan berasal dari Indonesia.
“Maaf, kenapa ini harus dikemas ke koper?” tanya Ella sopan, ia mengamati wajah ramah dua wanita tinggi itu.
“Saya bisa berbahasa Nona, jadi jangan sungkan untuk berbicara formal. Dan saya hanya menjalankan tugas dari Tuan James untuk mengganti semua pakaian Anda.” jawab pelayan itu singkat dan jelas.
Ella mengerti dengan apa yang diberitahukan. “Ok deh kalau gitu, tapi… Itu kenapa harus diganti? Pakaian lama ku masih bagus kok, baru bulan lalu ayah beli.”
“Kami tidak tahu Nona, Anda bisa mencari tahunya dengan bertanya langsung kepada Tuan!” Sambar salah seorang lagi yang sibuk menata pakaian Ella di lemari.
Semua yang diubah tidak dapat disanggupi hanya dengan anggukan, Ella segera keluar kamar dan mencari keberadaan James. Di lantai dua hingga dasar ia mencari sosok pria dewasa itu, hampir lelah Ella sia-sia sampai ia menemukan suara Alessa di halaman belakang.
Dua orang berpostur tinggi itu tengah bermain basket. Dari bibir pintu kaki Ella berubah kaku karena melihat punggung legam berkeringat tersiram cahaya mewah matahari, juga melihat James sangat lihai mencetak skor dan berhasil mengalahkan Alessa dan 3 pria merupakan bodyguard rumah.
Ella masih saja diam sambil duduk mengatur sikap juga degup yang mulai lihai dengan tubuh kekar berkeringat, sampai ia sadar karena Alessa melambaikan tangan ke arahnya. Tapi mendapati James menoleh ke arahnya Ella pun teringat akan apa yang ingin ditanyakan, juga sikap seenaknya itu terkadang membuatnya malas tersenyum.
Permainan selesai James segera menghapus keringat di tubuh dengan handuk kecil, kemudian ia menghampiri Ella dengan menenteng botol minumannya. “Halo sayangku, sudah bangun ya?”
“Kenapa pakaianku harus dibuang?” tanpa ingin menunggu waktu Ella bertanya, ia malas berbasa-basi.
James menarik kursi hanya untuk duduk tepat di hadapan Ella. “Kamu nggak suka ya? Paman pikir karena…,”
“Pakaiannya jelek dan nggak standar dari cara berpakaian seperti Paman?”
“No! Bukan,” ucapan itu tidak disetujui oleh James. “Paman nggak bermaksud begitu, Paman pikir kamu bakalan suka kalau banyak pakaian baru.”
“Suka, tapi kan jangan dibuang juga pakaiannya. Itu kan dikasih sama ayah sebulan lalu.” jawab Ella lirih, ia merasa tidak tega jika semua barang lama itu tersingkir.
Niat memang tidak selalu harus James yakini akan membuat Ella senang, ia pun mengangguk paham atas ungkapan itu. “Iya, maaf. Kalau gitu nanti Paman suruh pelayan jangan merubah apapun di kamar kamu.”
“Ya udah, aku ada kuliah pagi. Mau siap-siap dulu.” sahut Ella bangkit, namun langkahnya terhalang dan membuatnya duduk di pangkuan James tiba-tiba.
Ingin rasanya Ella menampar kedua pipi agar tersadar dan segera berlalu, degup itu semakin menyiksa karena perlakuan. Bahkan James kini menyibakkan rambut sehingga Ella dapat mendengarkan dengan jelas suara napas itu.
“Kamu nggak mau kasih Paman hadiah di pagi ini?” tanya James menyisir rambut Ella dengan jari.
“Hadiah? Maksud Paman imbalan?” bukan sifat jika Ella harus menahan pertanyaan yang sesuai di hati, basa-basi bukan dirinya.
James tertawa lirih. “Bukan itu, kan dulu kamu sering peluk Paman saat bangun pagi. Terus cium kedua pipi ini.”
Ella gemetar melihat James menunjukkan pipi dengan telunjuk, ia pun segera menyingkir karena tidak sanggup menguasai artinya. “Enggak mau, pipi Paman banyak brewoknya!”
Tanpa merasa bersalah Ella segera berlari sambil tertawa puas karena James hanya menatap sambil mengusap rahang dipenuhi bulu hitam, ia tahu pasti James akan terus menuntut itu sementara Ella mengendalikan napas yang mulai sesak saja hampir tidak mampu.
[...]
Kegiatan seperti biasa menjadi seorang pelajar dan pemusik Ella harus pintar membagi waktu, belum ia wajib mengumpulkan segala materi untuk mempersiapkan diri di ujian tahun ini. Menjadi siswa teladan terkadang membuat Ella merasa terbebani karena ia sering menggantikan dosen saat hari-hari tertentu, cukup menguras pikiran meski menikmati semua ini tak jarang Ella merasa suntuk di kampus.
“Hai Ella.”
Ella segera mengangkat wajahnya untuk mencari tahu siapa yang menepuk bahunya, ia kemudian tersenyum ramah. “Eh hai, butuh tempat duduk ya? Sini aja!”
“Emang aku mau duduk di sebelah kamu kok.” jawab salah satu teman wanita Ella.
“Oh boleh kok, silahkan!”
Ella mengemas semua buku tebal ke dalam tas, kemudian menutup laptop yang masih menyala. Ia hanya merasa tidak enak karena barang-barang miliknya cukup memakan tempat di meja dan jika terus sibuk belajar saat kantin penuh sesak konsentrasinya hilang.
“Aku kagum sama pesta kamu kemarin itu, benar-benar wow El.” teman Ella tiba-tiba mengungkit pesta ulang tahun.
Ella merasa canggung saat memberikan senyuman. “Eh iya, makasih kalian udah mau datang. Tapi maaf kalau aku nggak sempat gabung ya?”
“Ah kamu, biasa aja El nggak perlu minta maaf! Lagian kita-kita ini paham kok nggak selevel sama kamu dan… Siapa ya yang kasih kamu kado itu? Um, nggak kenal tapi sumpah demi apa dia… Keren banget, pinter kamu El cari gebetan.”
Mendengar hal itu Ella merasa tidak nyaman. “Bukan kok, dia… Pamanku, namanya James.”
Ketiga teman satu kelas Ella saling menatap. “Paman? Kok baru tahu ya?”
“Iya, jadi…,”
“Paman ketemu gede,” semua hampir tertawa dan Ella tidak mengerti mengapa. “Ah nggak masalah kok El, kan emang kuliah di sini mahal ya! Perlu biaya besar, biaya hidup apa lagi. Iya ‘kan?”
Pembicaraan ini mengarah pada hal lain di sisi yang sama sekali tidak nyata, Ella berupaya untuk tetap tenang dan menyanggupi sebuah canda atau bahkan hujatan untuknya. Ella masih menerima semua dugaan itu sampai akhirnya ia merasa berada bersama teman-teman satu kelas itu tidak memberikan keuntungan, ia pun bangkit sambil menyampirkan tali tas ke pundak.
“Eh mau ke mana? Kelas masih lama loh El.” salah satunya kembali bertanya, tapi kali ini seperti teguran.
Ella pun duduk kembali karena salah satu dari mereka menarik tangannya ke bawah. “Aku mau ke perpustakaan, ada yang ketinggalan tadi.”
“Kamu alasan aja deh, kan kita masih penasaran sama cowok tampan itu. Ngomong-ngomong dia sepertinya udah dewasa ya? Berapa usianya El?” tanya lagi teman Ella, seperti tengah menginterogasi.
“Aku… Nggak tau berapa umur Paman James, mungkin di atas 35.” jawab Ella mengira-ngira.
“Hah?” Teman Ella pun terkejut. “35? Kamu jadi simpanan om-om ya? Ngaku deh El!”
“Apa sih kalian? Nggak bisa ya stop bikin dugaan yang nggak bermanfaat?” Ella pun mulai kesal.
“Eh El, kan kita cuma bercanda. Jangan dianggap serius lah,” teman Ella mengelak.
Penjelasan itu diluar kenyataan yang diperoleh, Ella pun menyambar kasar laptop di atas meja dan segera meninggal kan kantin. Hatinya merasa ini kenyataan yang tidak adil, setelah ia menerima kedatangan James dalam hidupnya kini tetap saja segala macam keraguan datang, Ella menahan air matanya sampai ia berada di gerbang.
Sejenak Ella mencari di mana Lisa atau Gadis tapi sahabatnya itu sama sekali tidak terlihat, dengan perasaan kacau ia pun pergi tanpa menunggu Alessa menjemput. Rasanya Ella ingin berada di pangkuan ibunya untuk melepas segala lelah dan bosan ketika masalah datang, tapi ia sadar siapa Sandra dan Leo.
“Ayah… Bunda,” di trotoar Ell berjalan sambil menangis. “Aku kangen sama kalian, kenapa kalian harus pergi? Ella nggak bisa hidup sendiri.”
Tanpa disadari, Ella tengah mendapat pengawasan dari anak buah James. Langkahnya semakin cepat saat tahu akan ada bus yang lewat di pemberhentian halte dekat kampus, Ella bersusah payah memasukkan laptop ke dalam tas hingga angkutan kota datang. Sambil berlarian Ella terus berusaha menyimpan laptop namun karena tidak hati-hati ia pun tersandung batu besar dan terjerembab ke aspal.
Malang hari ini tak bisa ditolak, lutut dan telapak Ella tertusuk batu kecil dengan ujung runcing juga laptopnya jatuh dan terbagi menjadi 2, ia pun segera bangkit dan mengambil laptopnya. Ella sempat ingin menyelamatkan data yang tersimpan di sana tetapi layar monitor yang pecah membuat semua sistem berhenti dan mati.
“Aduh, pakai jatuh segala sih? Ini gimana?” Ella ingin menjerit kalau saja ia tidak ingat tengah berada di tempat umum.
Bodyguard itu hanya menjaga Ella dari jarak yang tak dapat dicurigai, kemudian mereka memberitahu keadaan Ella saat ini kepada James. Apa yang sedang menimpa Ella pun seketika membuat James terkejut dan memutuskan akan datang dalam 15 menit, tugas mereka tetap mengawasi ke mana pun Ella pergi.
Belum sempat kedatangan James membantu, rupanya Alessa datang tepat setelah Ella mengemas laptop yang rusak ke dalam tas. Ia pun tidak peduli ketika Alessa terlihat berlarian ke tempatnya, tak lama datang bus berikutnya tapi Ella gagal karena Alessa lebih dulu menghalangi.
“Kau kenapa bisa terluka seperti ini?” Alessa melihat lalu meraba telapak tangan yang terluka, ia pun tahu ini bukan luka serius.
“Hanya terkena batu,” Ella memandangi sekitar mencari James. “Kenapa baru jemput?”
Alessa menarik tas bermaksud membantu, kemudian ia membawa Ella ke tempat duduk panjang di bawah pohon. “Kau terluka Ella, kita ke klinik untuk membersihkan luka itu dan… Ini harus dijahit.”
Baru Ella merasakan luka itu menimbulkan nyeri juga darah yang keluar di kaki cukup banyak karena batu kecil itu berhasil merobek kulitnya, perkataan itu segera ditanggapi dan ia memberi arah menuju klinik kepada Alessa.
Sesampainya di klinik barulah Ella melihat James keluar dari mobil lalu berlari kecil ke arahnya, ia pun sempat tersenyum namun teringat perkataan teman-temannya semua menjadi kembali rusuh dalam pikiran. Ella terdiam ketika James berkata, merasakan luka di kaki saja ia tidak becus dan menahan tangis.
“Kok bisa sih kamu jatuh hm?” James mengusap keringat di kening Ella.
“Nggak ati-ati aja,” Ella tertunduk. “Tadi sempat lari-larian.”
“Kenapa bisa lari-lari di jalanan?” James ingin jawaban yang lebih.
“Tadi… Aku mau ngejar bis,”
James tak habis pikir, meski ingin menyalahkan ia tetap tenang karena ini hal tidak disengaja. “Kamu mau naik bis? Emangnya mau pergi ke mana hm?”
“Pulang,”
Sekali lagi James menarik lalu melepas napasnya pelan, ia tahu Ella masih menyimpan banyak keraguan. Keadaan itu tercetak jelas di wajah. “Ella sayang, kan Paman sudah pernah bilang ‘kan? Ada Alessa yang akan antar jemput kamu kemanapun kamu pergi, kenapa nggak nunggu saja?”
“Kelas udah selesai 30 menit, tapi itu bukan karena Alessa telat. Aku… Cuma mau jalan-jalan ke rumah Ayah sama Bunda.” Terang Ella menahan sakit ketika perawat membersihkan lukanya.
“Ok, besok kita coba ke sana! Walaupun mereka nggak akan datang,”
Ella pun menggeleng lemah. “Aku ingin hari ini, tapi… Nggak apa-apa, bisa lain kali kok.”
Raut itu lesu, sapaan matanya sayu dan James tidak bisa membiarkan hal itu tetap ada. “Besok atau lusa kita ke sana, tapi… khusus hari ini kamu istirahat di rumah, urusan les biar Paman panggil guru kamu ke rumah!”
Ide itu kurang baik bagi Ella. “Kok gitu? Tapi kan…,”
James membungkam bibir tipis itu dengan jari telunjuk. “Ssh… Jangan cerewet! Nanti Paman gigit!”
Ella pun menahan tawa saat James berkata demikian. “Aku bukan tulang, Paman.”
Keduanya saling menahan tawa di ruangan tak terlalu besar, kemudian Ella harus berperang lagi melawan rasa sakit saat beberapa luka kecil di telapak tangan dan lutut itu diberi obat merah, sementara kakinya mendapat jahitan sepanjang 4 centimeter.