Siang yang sudah dijanjikan oleh James tampaknya Ella berharap jika hari ini ia akan kembali berkunjung ke rumah lama, sudah beberapa hari semenjak berada di rumah mewah itu kabar mengenai kedua orang tua angkatnya tak diketahui lagi. Tapi kali ini Ella mencoba ikhlas meski ia sendiri tidak pernah memiliki memori dalam ingatan mengenai kedua orang tua kandung, setidaknya Ella berusaha yakin jika James berkata jujur.
“El, kita jadi ke sana ‘kan?” Lisa menghampiri, sembari sibuk memakai earphone.
Ella mengangguk mantap tanpa ingin menunda. “Iya, nanti kamu boleh anter aku aja deh terus boleh pergi!”
Lisa segera memasang sabuk pengaman. “Nggak tau balas budi kamu, udah nebeng langsung ngusir lagi!”
Ucapan asal itu hanya ditanggapi sebuah tawa renyah Ella, ia hanya tidak ingin terlalu merepotkan meski itu kenyataan yang harus ditelan. Ella pun tidak sabar ingin cepat-cepat berada di rumah lama demi ingin melihat beberapa barang lama dari ayah dan ibunya, sebuah kenang-kenangan yang tak dapat disangka.
Perlu waktu 15 menit saja mobil Mercedes milik Lisa menembus jalanan tak terlalu padat siang itu, sebuah gang kecil mobil terparkir seperti biasa saat berkunjung ke rumah sederhana keluarga Hans, bukannya menuruti perkataan Ella justru Lisa ingin ia bermain-main ke tempat sahabatnya.
Ella dan Lisa segera menuju gang kecil dipenuhi air bekas hujan pagi tadi, pintu berwarna merah itu sudah terlihat karena rumah itu tidak terlalu jauh dari jalan raya. Ketika di depan pintu mereka merasa kesulitan karena ternyata pintu terkunci, Ella pun hanya menduga dalam hati saja jika ini adalah ulah James tapi ia berpura-pura seakan lupa menyimpan kuncinya.
“Ih kamu ceroboh deh El, masa kunci rumah sendiri sampai ilang sih?” Lisa menggerutu.
“Iya, aku beneran lupa deh. Soalnya pas Paman ajak aku ke rumah baru aku lupa naruhnya di mana, beneran.” Ella diam hanya duduk di kursi depan rumah, terlihat santai tapi ia juga kebingungan karena tidak bisa berkunjung ke dalam.
“Hm… Mentang-mentang mau pindah ke rumah mewah jadi lupa sama rumah lama ya?” Sindir Lisa sambil mengibaskan buku, hawanya membuat ia kepanasan.
“Sembarangan,” Ella menatap ke segala arah berharap menemukan sesuatu untuk membuka pintu. “Nggak gitu juga Lisa, aku kan masih bingung aja kok harus pindahan mendadak.”
“Emang Tante Sandra sama Om Leo nggak pernah cerita kalau kalian mau pindah?” Lisa mulai menebak dan bertanya -tanya.
Ella sempat berpikir sejenak. “Bilang sih, cuma… Kan aku nggak pernah dikasih tau kapan kita mau pindah. Lagian kan itu… Bukan rumah kita juga, tapi… Rumah Paman.”
Lisa mengerutkan kedua alis mendengar penjelasan Ella. “Terus kok kita nggak liat Om sama Tante ya? Mereka di mana?”
“Um… Ada kok, cuma waktu itu mereka lagi keluar.” jawab Ella lagi merasa telah menyiksa diri atas kebohongan ini.
Bukan tidak mempercayai sebuah pertemanan yang sudah terjalin dan terjaga selama 8 Tahun, Ella sendiri masih bimbang menemukan tentang kebenaran menimpa dirinya saat ini. Tapi tak ingin berlama-lama dengan pikiran yang bisa mengganggu konsentrasi Ella pun mencari alat bantu untuk membuka pintu rumahnya, dan memang tak ada gembok sehingga ia tidak kesulitan.
Sedikit berjalan ke samping rumah di mana ada ruang tidak terpakai biasa ayahnya gunakan untuk menyimpan barang-barang bekas, di sana Ella mengacak-acak meja terdapat bekas kaleng cat juga alat-alat seperti palu dan martil. Ia mulai merasa kesal karena ada batasan saat akan berkunjung di rumahnya sendiri, Ella pun melampiaskannya melalui barang di gudang.
“Aku harus bisa masuk, nggak boleh nggak!” Tekad Ella harus bulat.
Kemudian sebuah kotak menyimpan mainannya dulu menjadi perhatian Ella, ia pun membuat berantakan karena tak ada barang yang bisa membantu sampai ia menemukan sebuah buku diary kecil miliknya saat sekolah menengah, ia pun merasa ingin membacanya kembali tapi ini bukan saat yang tepat dan segera meringkusnya ke dalam tas, Ella mencari lagi alat lain namun tidak menemukan apapun di sana.
Kesal dan merasa marah itu pasti. Ella pun kembali ke tempat Lisa dengan perasaan kacau, tak lama tangannya menangkap sebuah jepitan rambut pemberian dari James di kepala dan Ella segera melepasnya. Meski tidak mungkin baginya karena semua itu hanya ada di film-film tapi mencoba bukan berarti kesalahan.
Ella segera mencari lubang kunci dan mulai menerobosnya dengan ujung kawat jepitan rambut miliknya, sempat merasa kesulitan tapi Ella terus mencoba hingga beberapa kali ia melepas kemudian kembali memasukkan ke dalam lubang kecil itu dan terdengar panel pintunya terbuka.
“Wah, bisa.” Ella menatap Lisa semringah, gigi kelincinya pun terlihat jelas.
“Keren, kamu berbakat jadi maling El.” Lisa asal bicara.
Ella pun menimpuk kepala Lisa dengan telapak tangan. “Rumah kamu bakal aku jadiin target pertama.”
Entah ini seperti menemukan barang berharga baginya, Ella segera menarik tangan Lisa untuk mereka kembali bersantai di dalam rumah. Sementara itu, di lain tempat sebuah ruang IT kedua mata hazel itu berkedip pelan kemudian senyumnya melingkar di wajah tampannya. James pun menyandarkan punggung pada kursi sambil terus melihat ke arah layar di mana ia telah memasang satelit hanya untuk mengawasi keberadaan Ella.
Bukan hanya James saja merasa bangga tapi Alessa tersenyum picik. “Ternyata kau tidak bisa meremehkan gadismu itu James, dia tahu bagaimana ia bertindak di saat keadaan sulit.”
James hanya menjatuhkan kepalanya di punggung sofa dengan kedua telapak tangan sebagai alas. “Ya, dia memang cerdas Alessa. Bahkan aku tidak memberinya kode sama sekali tapi dia paham hanya dengan telepatinya saja.”
“Mungkin dia memiliki bakat sepertimu,”
James segera menegakkan punggung. “Tidak! Aku tidak akan melibatkan Ella dalam kehidupanku meskipun Charles membawa ratusan anak buahnya ke sini!”
Alessa mendekati wajah yang berubah tidak ramah, ia mengusap d**a James. “Dengar, sebisanya kau mengelak tapi nyatanya dia sudah terlibat James! Kau akan membiarkan dia hidup dengan orang lain lagi? Kau akan menyewa orang lalu memori dalam otaknya kau ubah lagi? Begitu?”
Apa yang terbesit di pikiran rupanya telah mempengaruhi, James dengan mencengkram leher Alessa. “Apa maksudmu hah? Kau pikir aku akan membiarkan semua ini diketahui olehnya? Tidak Alessa, berapapun uang yang akan aku keluarkan itu tidak peduli.”
“Jangan mengukur segalanya dengan uang James! Dia… Tidak membutuhkan itu,”
Napas itu sempat tersengal tetapi Alessa sengaja tidak melawan karena ia tahu James hanya terpengaruh oleh suasana dan perkataannya, hanya selisih beberapa detik saja James memberi Alessa kebebasan.
“Kau harus melakukan sesuatu di mana Ella hanya bergantung padamu saja,” Alessa mendekati telinga James.
James tidak dapat berpikir sempurna seperti saat ia mengatur siasat perang, kali ini ia benar-benar kehilangan sesuatu dalam diri meski memang semuanya sudah menjadi harapan. “Aku sudah melakukannya Alessa, aku tidak bisa terus menyiksanya dengan cara mengekang. Setidaknya dia masih bisa bersenang-senang dengan teman seusianya.”
Alessa mendekati telinga James. “Ada cara lain, kau pasti bisa!”
Pikiran James hanya mampu menjangkau sebatas membahagiakan Ella, tutur kata Alessa pun tak bisa dipahami olehnya karena ini merupakan hal tersulit jika harus membawa gadisnya langsung ke Amerika. Perlu waktu dan cara agar secara alami James bisa membawa Ella ke makam Darius dan Delia.
[...]
Hawa panas udara Jakarta tak jarang membuat penghuni rumah kecil itu selalu kepanasan, bahkan di malam hari saja tubuh menghasilkan keringat lebih meningkat. Jam dinding menunjukkan pukul 8 malam, Ella baru saja selesai membuat hidangan untuk Lisa.
“Makanan sudah siap,” Ella menata nasi dan menu telur juga mi di meja makan. “Maaf ya, cuma ada ini.”
Lisa segera menarik piring kemudian mengisi nasi di atasnya, ia tidak pernah ragu akan olahan telur buatan Ella. “Nggak masalah, kalau ada Gadis di sini paling dia yang abisin semua menu di sini.”
“Kenapa kamu nggak telepon aja, suruh dia ke sini!” Ella menenggak air tawar hangat miliknya.
“Dia lagi ada acara di rumah sepupunya, katanya ada nikahan. Nggak tau, tumben kita nggak diajak.” Lisa mulai mencicipi sesendok nasi ke dalam mulut.
“Mungkin kita nggak kenal, bisa aja ‘kan?” Ella hanya berpikir positif.
Perbincangan mereka terhalang oleh suara ketukan pintu, Ella pun memilih untuk tetap duduk di meja makan dan Lisa lah yang menawarkan jasa membuka pintu. Tak lama suara Lisa menyambut seseorang dan Ella pun kini melihat James berada di depan pintu ruang tengah.
“Hai Rabbit,” James mengangkat dua plastik kresek berwarna putih di tangan kirinya. “Paman bawa makanan laut, tadi lewat di restoran seberang jalan dan mampir dulu.”
Tanpa aba-aba Lisa segera berlari ke dapur lalu mengambil dua piring untuk menaruh dua porsi masakan udang pedas manis. “Hm… Baunya wangi, enak nih kayaknya El.”
Ella hanya diam melihat kepulan asap di atas piring, ia pun menarik piring kosong dan mengisi nasi kemudian menu hasil olahannya sendiri dan ia mulai menyantap perlahan. Dari sebelah kanan Ella tidak perduli jika James terus memperhatikannya, ia bukan tidak ingin masakan yang terlihat menggugah selera tetapi lebih tidak ingin membuang masakan dengan percuma.
“Aku ini aja deh, sayang kan kalau nggak ada yang makan.” sahut Ella sambil mengunyah makanan.
James memahami apa yang terurai di wajah cantik itu, ia pun tidak ingin menyerah begitu saja dalam merangkul perasaan Ella. James merenggut sendok dari wadahnya dan mulai mencicipi makanan di piring Ella, bahkan ia tidak mempermasalahkan meski menu itu terasa aneh di lidah.
“Kan Paman bisa ambil sendiri, kenapa makan punyaku?” Ella melirik ke arah Lisa, ia hanya tidak ingin menimbulkan banyak kecurigaan di sana.
“Hm… Kamu nggak suka ya? Lagian Paman nggak punya asma kok, kamu tetap aman sayang.” ucap James santai, ia suka bagian di mana Ella kebingungan.
Kata-kata James membuat Lisa tersedak, bahkan Ella saja langsung melebarkan kedua mata. “Bukan gitu Paman, kan jadi cepet abis makanan di piringnya.”
“Udah lah El, masa sama Paman sendiri pelit sih.” sambar Lisa ikut campur, ia tersenyum manis ke arah James.
Apa yang tengah diperdebatkan itu hanya menuang sebuah kelucuan di benak James, ia kemudian menambah porsi nasi ke dalam piring Ella dan tetap menikmati makanan itu. “Enak, ini masakan apa? Dari telur ‘kan?”
“Udah tau nanya.” jawab Ella sinis, ia malas berlama-lama menatap James.
“Biar kamu jawab pertanyaan Paman terus,” tangan kanan James bermain ke bawah kursi hanya untuk membuat benda kayu itu mendekat dan ia sengaja menggoda Ella. “Jadi nggak sepi ya ‘kan?”
Sebenarnya Ella ingin sekali tertawa karena sikap James yang berusaha membuat suasana menjadi akrab, tapi jika mengingat ingkar janji siang ini kekesalan itu tidak akan hilang. “Paman kenapa nggak datang? Kan aku nunggu di halaman kampus tadi, karena lama aku minta Lisa buat antar ke sini. Dan…,”
Ella teringat jika Lisa tidak tahu menahu masalahnya dengan James, tentang kunci rumah pun ia memilih diam seakan-akan karena kecerobohannya.
“Kenapa? Kok nggak jadi ngomong?” Ternyata Lisa mendengar ucapan Ella barusan.
“Enggak kok,” Ella melanjutkan menikmati makanannya.
“Ya udah, abis ini mau ke mana?” James menawarkan jasa, ia hanya berniat mengajak Ella menikmati malam.
“Nggak ke mana-mana, aku mau tidur! Capek.” jawab Ella masih saja kesal karena James ingkar janji.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah James tidak bisa memberi satu alasan tepat, terutama keberadaan Lisa lumayan mengganggu sehingga ia membatasi obrolan dengan Ella. “Iya, tadi Paman ada kerjaan. Dan nggak bisa ditinggal, maaf ya!”
“Om James kerja di mana?” Lisa tiba-tiba menyalurkan pertanyaan.
James sempat malas menjawab tapi menjaga sikap adalah hal paling utama baginya saat ini. “Di… Perusahaan tekstil, PT Maxwell.”
Lisa mencoba mengingat sesuatu. “Pabrik yang produksi sutra itu bukan? Wah, dua bulan ini Mama selalu beli di sana kalau ada acara penting dan kemarin sempat beli buat couple gitu sama temen-temennya.”
“Oh ya? Wow, terima kasih sudah percaya produk kami.” James sedikit lega karena ia bisa bersikap sopan, setidaknya memang ini saatnya ia menjadi pribadi yang bisa menjalin keakraban dengan orang lain.
Ella yang hanya menjadi pendengar pun memahami sesuatu. “Bukannya Paman bilang ke Indonesia baru 2 Minggu lalu ya? Pas aku ulang tahun? Tapi kok, PT Maxwell sepertinya udah lama ya?”
“Iya, PT itu udah sekitar 6 bulan. Tapi bukan Paman yang handle,” jawab James berhasil membuka alasan lain untuk gadisnya.
“Oh, gitu.” Ella pun berusaha percaya agar tidak terjadi pertikaian berarti.
Mendirikan sebuah perusahaan bukan sesuatu yang mudah awalnya, tapi James mendapat ide itu dari seorang sahabat bahkan sudah menjadi saudaranya sejak beberapa tahun lalu. Matthew McConaughey Morgan memberinya saran agar James bisa menciptakan lapangan kerja, juga demi memiliki alasan berada di dekat Ella. Matthew adalah salah satu pemilik perusahaan terbesar di New York, bekerja sama dengan banyak perusahaan lain termasuk Allighiero Corp, tak lain adalah milik adik James.
“Gimana kalau malam ini kita jalan-jalan?”
Ella menggeleng. “Enggak ah, udah malem. Besok ada ujian dan aku harus belajar.”
“Baiklah, kalau begitu besoknya lagi. Gimana?” James tidak ingin menyerah begitu saja.
“Ujian dua hari Paman, nggak bisa.”
“Lusa,” James tampak lebih percaya diri. “Ok, nanti Paman ajak kalian bertiga jalan-jalan.”
“Beneran aku sama Gadis boleh ikut Om?” Lisa tidak ingin ketinggalan.
Jelas James harus mengikutisertakan dua teman Ella agar rencananya berhasil. “Boleh, lusa nanti biar Ella yang tentukan tempatnya.”
Suara Lisa terdengar bahagia, tapi Ella hanya diam sambil memalingkan wajah karena ia mulai bisa tersenyum atas usaha James yang terkesan mengutamakan dirinya. Ella merasa memang James tidak pernah berubah, meski sekali lagi bayang kenangan itu samar memudar karena ia masih terlalu kecil mengingat semuanya.