Malaikat Pencabut Nyawa

1213 Kata
        -Lima tahun kemudian-         “Class dismissed,” ucap Rhea siang itu.         Satu per satu mahasiswa yang mengikuti kelasnya mulai berjalan keluar meninggalkan kelas. Rhea sendiri mulai membereskan laptop serta buku-bukunya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat seseorang berjalan ke arahnya.         Dengan pakaian semi formal khas kantoran, seseorang itu berjalan melewati deretan bangku dan meja yang ada di depannya. Lalu, ia berhenti tepat di depan Rhea dan Rhea sudah tahu apa yang akan diucapkan orang itu hanya dengan melihat senyum anehnya.         “Selamat siang, Profesor.”         Rhea mendengus. “Ini yang pertama sekaligus yang terakhir lo main-main di kelas gue,” ucap Rhea sambil menatap Salwa dengan tatapan penuh peringatan.         “Astaga, gue nggak ganggu ini.”         “Nggak ganggu, tapi mecahin konsentrasi mahasiswa gue.”         Salwa tersenyum pongah, “Artinya aura gue masih memancar sempurna.”         Rhea memutar bola matanya malas, ia lalu mengambil tas tangannya dan berjalan keluar menuju lapangan parkir universitas diikuti oleh Salwa.         “Gila, lo dingin banget ya kalau lagi ngajar,” komentar Salwa sambil terus mengiringi langkah Rhea.         “Tegas,” koreksi Rhea. “Tolong lo bedain antara dua kata itu.”         Salwa mengangguk-angguk. “Kayaknya lo dulu enggak begitu deh, banyak senyum sama siswa, ada bercandanya juga. Terus, ….”         “Dulu gue ngajar anak-anak, sekarang gue ngajar orang yang sudah bisa punya anak,” potong Rhea         Rhea membuka pintu mobilnya dan naik memasukinya, disusul oleh Salwa yang tertawa setelah mendengar ucapan Rhea tadi.         “Bener juga ya,” katanya.         Rhea menutup pintu mobil dan memundurkan mobilnya keluar dari parkiran.         “Tumben banget lo udah bisa berkeliaran di jam segini?” tanya Rhea sambil fokus menyetir mobil.         “Gue tadi dari rumah nasabah, terus urusannya udah selesai, laporan juga udah gue kirim ke atasan. Terus ngapain lagi gue balik ke kantor?”         Rhea menoleh sebentar ke arah Salwa, lalu ia menggeleng sembari tersenyum. “Nggak berubah ya.”         Salwa tertawa.         “Gue mah konsisten, nggak kayak lo.”         Mobil berhenti ketika tiba di lampu merah, keduanya punya sedikit waktu untuk bercengkrama. Berhubung sudah lima tahun tidak pernah bertemu, setelah Rhea kembali beberapa bulan yang lalu pun, mereka belum memiliki kesempatan untuk bertemu.         Lalu kebetulan hari ini datang, Rhea yang hanya memiliki satu kelas dan Salwa yang tidak perlu kembali ke kantornya setelah urusannya dengan nasabah selesai akhirnya memutus untuk reuni.         “Lo jadi nginap di rumah gue, kan?” tanya Rhea.         Salwa mengangguk. “Iya, gue nggak mau ribet besok lo harus jemput gue dulu ke kosan.”         “Tumben lo pengertian,” ejek Rhea.         “Gue selalu pengertian,” jelas Salwa. “Buktinya, lo yang baru balik dari negeri orang, gue yang samperin. Lo yang ngajak ketemuan, gue yang ke rumah lo. See, selalu pengertian kan gue.”         “Iya, iya,” jawab Rhea. “Lo pengertian banget.”         “Kenapa gue mendengar nada tidak ikhlas ya di kalimat lo?”         Keduanya saling bertatapan, lalu kompak memecahkan jalanan dengan suara tawa mereka. Rupanya lima tahun tidak bertemu tidak membuat canggung menguasai obrolan mereka.         *         Jalan raya terasa lengang siang hari ini, entah karena semua orang menghabiskan akhir pekan di rumah masing-masing atau justru sedang menikmati liburan di luar kota. Namun apapun alasannya tidaklah penting, karena poin pentingnya adalah jalan sepi. Tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang, oleh sebab itulah mobil mungil bewarna merah itu melaju di jalan raya dengan kecepatan yang cukup tinggi.         Sementara dua orang penumpangnya sibuk bercengkrama seolah tidak terpengaruh oleh kecepatan mobil tersebut.         “Lo emang nggak pernah tanggung-tanggung kalau bawa kendaraan,” ujar Salwa.         Rhea melemparkan senyum smirk-nya.         “Mumpung jalan sepi,” jawabnya.         “Jalan ramai juga lo ngebut kayak orang kebelet kawin.”         “Kapan?”         “Iya, nggak papa, amnesia aja terus,” ujar Salwa sarkas.         Rhea mengernyitkan dahi, “Bukan amnesia, cuma gue lagi mikir, kapan gue ngajak lo ngebut-ngebut dijalanan ramai?”         “Terus yang dulu di BSD itu, kalau nggak ngebut namanya apaan?” Salwa bertanya malas, “Melaju kencang?”         “Hoooooo.” Mulut Rhea membulat sempurna. “Itu kan pake motor, ya wajarlah.”         Salwa menarik kedua ujung bibirnya tinggi-tinggi, ia menatap Rhea dengan wajah tersenyum tapi sorot matanya mengatakan yang sebaliknya. “Jadi degup jantung gue yang kayak orang mau dicabut nyawa begitu wajar? Huum, wajar.” Salwa mengangguk-angguk, tatapan matanya mendelik sebal. “Wajar sekali, Jubaidah,” ucapnya dengan nada yang sangat menyebalkan.         Tawa Rhea pecah seketika. Masih segar di ingatannya bagaimana dulu Salwa pucat pasi ketika dibonceng olehnya. Lagi pula salah Salwa sendiri, Rhea sudah mengingatkan dan bahkan minta izin. Dan sahabatnya itu dengan tanpa beban menjawab tidak masalah kalau Rhea ingin membawa motornya dengan kecepatan tinggi.         See, bukan sepenuhnya salah Rhea waktu itu.         “Nyebelin banget ketawa lo.”         Rhea masih tertawa, kemudian ia berhenti untuk mengatakan, “Salah satu penghilang stres, Sal. Cobain deh, kayak pas di jalan itu beban lo hilang aja gitu diterbangin angin.”         “Stres nggak hilang, nyawa gue yang melayang diterbangin angin,” balas Salwa.         Mendengar balasan Salwa membuat Rhea menyeringai usil, “Mau nyobain yang beda nggak?”         “Apaan? Jangan aneh-aneh.”         Rhea tidak menjawab, tapi ia mengutak-atik sesuatu di ponselnya dan tak lama musik dengan tempo yang menghentak terdengar memenuhi seluruh isi mobil. Tidak cukup sampai di sana, perempuan yang saat ini sedang memakai sweater overzise tersebut menginjak pedal gas untuk menambah kecepatannya.         “Gila,” kata Salwa, tapi ia juga menyeringai dan mulai menggoyangkan kepalanya, menikmati musik.         “Is it fun?”         “I feel free.”         “I told you.”         “Bentar deh,” ujar Salwa. “Lo bisa nyetir, kan?”         Rhea menaikkannya sebelah alisnya.         “Gue pasang niat dulu, deh. Takutnya kecelakaan, terus meninggoy, gue belum niat. Entar mati gue nggak sah.”         “Sinting.”         “Gue ingetin ya, Re. Lo tetap harus hati-hati.”         “Iya.”         Namun satu detik setelah Rhea merespons peringatan dari Salwa, sesuatu membuat Rhea kaget dan menginjak rem dengan mendadak. Akibatnya mereka terlempar ke depan, untung saja seatbelt menyelamatkan keduanya dari benturan yang kuat.         “Sori, lo nggak papa?” tanya Rhea khawatir, karena saat ini wajah Salwa terlihat seperti mayat hidup. “Sal.”         “I’m good.” Salwa menjawab sambil memegangi dadanya. Napasnya pendek-pendek, tapi setelah menarik napas beberapa kali, warna wajahnya sudah kembali terlihat. “I’m good,” ulangnya denga suara yang jauh lebih baik.         Rhea menghela napasnya lega. “Syukurlah, sori ngebuat lo takut.”         “Sialan lo emang,” gerutu Salwa. “Gue kira gue beneran mati tadi.”         Rhea tertawa tanpa suara, “Sori,” gumamnya lagi, tapi ia masih menatap cemas.         “Gue nggak papa,” ujar Salwa. “Cuma kaget doang, enggak luka juga. Lo nabrak apa, sih?”         Belum sempat Rhea membalas ucapan Salwa, seseorang mengetuk kaca mobilnya. Dari dalam sini, mereka bisa melihat aura yang sangat menyeramkan menguar dari orang tersebut.         “Kayaknya nabrak dia,” cicit Rhea sambil menoleh ke arah Salwa.         “Berdoa dulu sebelum keluar,” suruh Salwa. “Kayaknya dia malaikat pencabut nyawa lo, deh.”         Rhea mengangguk tanpa suara, ia menolehkan kepala ke arah seseorang yang semakin brutal mengetuk kaca mobilnya, kembali lagi melihat Salwa. Dan Rhea melalukan itu berkali-kali sampai ia membuka pintu mobilnya.         “Jangan lupa berdoa,” bisik Salwa yang masih bisa ia dengar sebelum kembali menutup pintu.         *  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN