Prolog 1
Rhea menghela napas lalu menghembuskannya dengan kasar. Ia baru saja melemparkan ponsel pintar yang baru dibelinya dua bulan yang lalu. Benda tak berdosa itu mendarat sembarangan di atas kasur persis di samping laptopnya yang tengah menyala.
“Gue masih ingat gimana lo nangis-nangis ngumpulin duit buat beli hape itu, ya, Re.”
Rhea menoleh dan mendapati Salwa, teman satu kosannya berdiri di pintu. Perempuan bertubuh mungil itu menatap malas ke arah Rhea. Kemudian Salwa masuk ke kamar Rhea dan langsung merebahkan diri di atas tempat tidur Rhea seolah itu adalah kamarnya sendiri.
Sekali lagi Rhea menghela napas kemudian ia memutar kursi yang sedang didudukinya untuk menghadap ke arah Salwa.
“Udah kelar semua?” tanyanya.
Kali ini giliran Salwa yang menghela napasnya. Butir-butir keringat masih menempel di dahinya, tetapi itu tidak membuatnya urung untuk menjawab pertanyaan Rhea.
“Belum. Sepatu-sepatu sama beberapa tas belum gue packing.”
“Baju udah semua?”
“Belum juga.”
“Lah, kemarin yang lo anterin ke kargo apaan?” Rhea bertanya bingung.
“Baju. Cuma ternyata masih banyak.”
“Gue jadi curiga.”
“Apa?”
“Jangan-jangan selama dua tahun ini lo mindahin barang-barang s****e ke lemari lo.”
“Kayaknya,” jawab Salwa sebelum mereka tertawa terpingkal-pingkal. Keduanya masih tertawa ketika Salwa berhenti untuk bertanya.
“Kenapa lo lempar?”
“Bete,” jawab Rhea mengerti maksud pertanyaan Salwa.
“Belum ada kabar juga?”
Rhea menggeleng.
Seakan ada kesepakatan sebelumnya, mereka terdiam untuk beberapa saat. Tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri hingga Salwa bergumam pelan.
“Lucu, ya.”
Rhea tersenyum sembari mendengus pelan.
“Aneh banget, sumpah.”
“Kurang lebih sama kayak mantan lo yang kemarin.”
“Iya.” Salwa mengangguk. “Kocak, ya. Enggak ada angin nggak ada hujan, dia ngilang gitu aja.”
Rhea mengangguk pelan. Sementara Salwa kembali melanjutkan.
“Lo yakin kalian nggak ada masalah?”
Kali ini Rhea merespons dengan menggelengkan kepalanya.
“Lo selingkuh mana tau.”
“Yang benar aja,” ujar Rhea tidak terima. “Kepikiran mau kenalan sama cowok lain aja gue enggak pernah. Apalagi selingkuh.”
“Iya sih ya.” Salwa menatap Rhea dengan pandangan menilai, “Lo kan cupu banget.”
“Sialan,” umpat Rhea sambil melemparkan sebuah buku ke arah Salwa.
Salwa tertawa terbahak-bahak dan ia kembali bertanya, “Lo aneh-aneh kali selama pacaran.”
“Aneh-aneh gimana?”
“Matre contohnya?”
Rhea terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab ragu, “Gue pernah minta beliin es krim sih. Itu juga karena gue lupa bawa dompet.”
Jawaban yang dilontarkan Rhea berhasil membuat Salwa memutar mata malas. “Enggak ada yang lebih elit lagi?” Salwa bertanya, “Minta tas Louis Vuitton kek, Hermes kek, jadi orang yang pintar dikit kenapa?”
“Emang lo pernah minta gituan sama mantan lo?” tanya Rhea dengan nada datar.
“Ya enggak.”
“Nah, sama aja. Lo juga enggak lebih pintar dari gue.”
Keduanya kembali tertawa lepas.
“Selama pacaran pernah manja?”
“Nggak tau ya. Tapi gue nggak pernah minta dia antar jemput ke tempat kerja.”
“Aneh ya, salah lo di mana dong kalau gitu?”
“Satu-satunya yang gue ingat itu, ya yang waktu itu.”
“Yang waktu kita lagi ngumpul terus dia nelpon nggak lo angkat.”
“Gue angkat,” ralat Rhea.
“Iya lo angkat, terus lo bilang lo lagi ngumpul sama anak kosan.”
“Huum. Udah gitu sorenya gue telepon dia lagi, nggak dijawab-jawab. Gue ngechat enggak dibalas-balas. Mana besoknya nomor gue langsung diblok,” ujar Rhea sebelum kembali menghela napasnya.
“Fix, cowok lo aneh. Bego sih kalau kata gue. Udah deh, nggak usah galau-galau. Percaya sama gue, entar dia bakalan balik lagi, mohon-mohon. Dan saat masa kayak gitu datang, yang perlu lo lakuin, cuma diam, ngeliat dia nyesal setengah mampus.”
“Lo sesenang itu ya, sekarang?”
“Oh jelas.”
Senyum di bibir Rhea terukir tipis.
“Masih ngajakin ketemuan dia?”
“Iya,” jawab Salwa jengkel. “Gue bangun-bangun langsung ketemu mimpi buruk. Hape gue penuh sama panggilan tak terjawab dari dia, chat dia. Parahnya lagi, mamanya ikut-ikutan ngechat gue.”
“Lah.”
“Capek kali ya ngebujuk gue biar bisa ketemuan, terus dia minta tolong mamanya.”
“Anak mami.”
“Makanya gue bilang, nggak usah lo pikirin banget itu si Roman. Ntar juga ada masanya dia kaya mantan gue.”
“Gue enggak galau yang gimana-gimana sih. Kemarin itu setelah dia blok gue sempat bingung, terus pas dia buka blok lagi dan dia pake foto sama cewek lain di profilnya kayak akhirnya kebingungan gue terjawab. Terus ya udah. Tapi .............” Rhea berjalan mengulurkan tangannya, memberi isyarat supaya Salwa mengambilkan handphone-nya yang tergeletak di atas kasur.
“Tapi lo enggak terima aja dia langsung ngilang gitu aja.”
“Iya,” jawab Rhea. “Apa susahnya sih ngomong. Kalau dia bilang dia ada cewek lain juga gue nggak akan masalah. Maksudnya gue nggak akan ngelarang-larang juga. Artinya kalau sampai dia punya cewek lain, berarti dia nggak komit sama gue. Ya buat apa juga gue pertahanin. Atau semisalnya gue ada salah, yaudah kasih tau. Ntar kan gue juga bisa mikir, ini gue salah beneran salah dan gue harus perbaiki atau dia cuma pengen gue berubah agar sesuai sama keiinginannya aja.”
“Kalau beneran salah lo perbaiki, tapi kalau dia cuma mau lo berubah agar sesuai sama keinginannya, lo nggak akan berubah.”
“Jelas, lah. Dia harus paham kalau seseorang nggak bisa diubah sekali pun dia nangis darah saat memintanya.”
Salwa mengangguk-angguk. “Terus kemarin nangis berapa hari?”
“Bentar doang. Itu juga satu hari setelah gue ngeliat foto dia sama cewek itu.”
“Mikir dulu nih pasti.”
“Iya,” jawab Rhea kemudian ia tertawa, “Gue mikir, gue harus nangis apa enggak ya. Karena di satu sisi gue mikir, kenapa juga gue yang harus nangis disaat Tuhan ngasih tahu ke gue, kalau ini cowok nggak baik buat lo. Gitu. Tapi ya namanya juga manusia, gue sedih lah. Sakit hati juga. Jadi, ya gitu, daripada gue pendam gue keluarin aja. Ada kali dua jam kemarin gue nangis.”
“Terus kenapa lo masih bete sampai ngelemparin hape, Jubaedah?”
“Engga tau, bete aja.”
“Dasar cewek.”
“Lo juga cewek, Julaika,” balas Rhea menyebutkan nama orang lain sebagai guyonan dalam percakapan mereka.
“Betewe, kita mau makan siang apa?”
“Lo bisa nggak, enggak kasih gue bahan pemikiran?”
“Iya dah iya, sebagai teman yang baik, gue yang mikirin kita mau makan apa hari ini.”
“Bagus.”
“Ketoprak.”
“Boleh.”
“Bentar, gue cek dulu.” Salwa menggeser-geser layar ponselnya sebelum dengan nada kecewa dia berkata, “Yah, ongkirnya mahal banget.”
“Skip lah.”
“Apa ya. Richeese mau nggak?”
“Boleh.”
“Sama aja, lagi nggak ada promo.”
“Yang lain?”
“Apa lagi ya?”
“Mie?”
“Lo mau makan mie?”
“Enggak.”
“Nasi padang?”
“Yaudah.”
“Gue mau rendang, lo?”
“Ikan bakar ada nggak?”
“Habis.”
“Dendeng balado?”
“Habis juga.”
Rhea berdecak pelan, “Udah jam berapa sih, kok udah pada habis?”
“Di tempat lain ada sih, cuma nggak ada yang diskon.”
“Yaudah rendang juga deh.”
“Bentar ya, gue check out dulu. Dari Rp 56.000,00 jadi Rp 30.000,00 doang nih.”
“Okay. Gue tranfer gopay ya?”
“Gopay boleh, ovo boleh.”
“Udah. Rp. 15.000,00 kan?”
“Iya. Yaudah, gue ke bawah deh, mau mandi dulu sekalian nungguin makanannya datang.”
Dengan begitu Salwa berlalu dari kamar Rhea. Meninggalkan Rhea yang masih menatap ragu ke layar ponselnya yang masih menyala. Lama dia termenung, sebelum akhirnya sebuah pesan berhasil ia kirim.
To : Roman
Thank you for everything.
Semoga sama dia happy ending, ya :)