Seharusnya Rhea tersenyum, menampilkan wajah ramahnya, membuat si kecil Cheara nyaman. Karena begitulah sejatinya first impression yang ia berikan kepada setiap calon siswanya, apalagi mengingat calon siswanya bukan remaja yang sudah mengalami masa pubertas, bukan juga setingkat remaja yang sedang menuju ke pemikiran dewasa mereka.
Namun alih-alih melihat si gadis bermata jernih tersebut, Rhea justru tidak berkedip saat memandangi Roman yang juga tengah menatap lurus ke arahnya. Keduanya saling mengunci tatapan hingga Mira kembali bersuara.
“Mis Rhea?”
Mungkin Rhea harus bersyukur untuk kemampuannya yang satu ini, bahwa ia tidak terlalu gagap ketika menyahut Mira di saat beberapa detik sebelumnya ia hanya mematung bisu.
“Baik, terima kasih, Mis Mira.”
“Kalau begitu saya permisi, Mis.”
Rhea mengangguk, lalu kini perhatiannya beralih kepada dua orang yang masih berdiri di hadapannya. Tidak ingin mengulang kesalahannya, Rhea langsung menyapa Cheara, gadis kecil tersebut menyahutinya dengan ceria. Kemudian Rhea menyapa Roman dengan sopan.
Roman dan Cheara duduk setelah dipersilahkan. Sementara itu, Rhea mulai mengambil beberapa kertas dari atas mejanya dan membawa benda tersebut ke hadapan Cheara. Setelah basa-basi dengan perkenalan singkat, Rhea mulai memberikan trial kepada Cheara. Beruntung ia sudah terbiasa seperti ini, diperhatikan oleh orang tua si calon siswanya ketika mengajar sang anak. Jadi meski tatapan Roman tidak beralih dari dirinya barang sedetik pun, Rhea mampu memberikan penjelasan terbaik selama lebih kurang satu jam.
Kini gadis kecil itu tengah asyik mengulum permen tangkai pemberiannya. Saatnya bagi Rhea untuk berbicara dengan Roman, selaku orang tua Cheara.
“Seperti yang bapak lihat, untuk trial class-nya kita sudah selesai,” ucap Rhea memulai. “Kesimpulan yang bisa saya berikan mengenai hasil belajar Cheara adalah bahwa Cheara sangat baik dalam perhitungan dasar tapi ia kesulitan dan memahami soal-soal yang melibatkan logika matematika.”
“Begitu?”
Dan pertanyaan itu sukses ingin membuat Rhea mengumpat dalam hati. Sepertinya Roman ini akan sulit dihadapi sebagai orang tua siswa dibanding menghadinya yang seorang dokter.
“Iya, Pak. Dan juga Cheara sangat cepat dalam memahami konsep dasar, tetapi seperti yang saya katakan ia kebingungan ketika mendapati soal yang mengharuskan dia untuk berpikir dan menggunakan logikanya lebih banyak. Seperti contoh, Cheara paham kalau untuk menemukan luas sebuah persegi panjang dia harus mengalikan panjang dan lebar dari persegi panjang tersebut. Cheara juga sangat mengerti kalau konsep dari keliling sebuah shape, dia harus menjumlahkan semua sisi luar dari bentuk shape tersebut. Tapi ketika dia hanya diberikan luas dan salah satu sisi dari persegi panjang tersebut, Cheara tidak tahu langkap apa yang seharusnya ia ambil. Apalagi ketika yang diketahui hanya keliling dan soal memintanya untuk menemukan luas. Cheara akan menganggap kalau soal tersebut tidak lengkap karena dia tidak melihat atribut untuk menghitung luas.”
“Bukankah itu wajar?” Roman bertanya, “Dia masih kecil, pikirannya tidak akan mengarahkan dia untuk bermain dengan rumus.”
Sudahkan Rhea mengatakan kalau ternyata Roman ini sangat sulit dihadapi sebagai orang tua siswa ketimbang menghadapi Roman yang berperan sebagai dokter? Oh, tentu saja ia menjadi dokter yang menyebalkan, meski Rhea baru pertama kali bertemu dengannya. Hanya saja cara pria itu mendominasinya yang berstatus pasien terasa menjengkelkan untuk diingat.
“Benar sekali, Pak. Untuk itulah bimbel kami berdiri, di sini anak-anak akan dibiasakan dengan soal-soal yang seperti itu, diajarkan untuk mengembangkan logika dengan baik, sehingga di kemudian hari dengan konsep yang matang dan juga logika yang sudah diasah diharapkan mereka mampu memecahkan masalah matematika di sekolahnya dan tidak tertutup kemungkinan ia akan semakin kritis dalam kehidupannya,” tutur Rhea terdengar sopan.
Terlihat sekali banyak tanya dari raut wajah Roman, tapi Rhea terlebih dahulu melanjutkan penjelasannya.
“Sebenarnya dengan belajar bersama kami, puteri bapak akan mendapatkan dua keuntungan. Pertama sudah pasti ia akan sangat terbantu dengan pelajaran di sekolah dan yang kedua seperti yang saya katakan tadi, ia akan terlatih untuk memaksimalkan logika, juga berpikir kreatif sebenarnya serta berpikir kritis.”
Dan sepertinya ia belum mengatakan bahwa untuk menjadi guru bimbel tidak hanya dibutuhkan skill mengajar yang mumpuni tapi harus diimbangi oleh kemampuan marketing yang memadai. Karena Rhea sadar betul kalau pundi-pundi rupiah yang mengalir ke dalam rekeningnya berasal dari setiap siswa yang belajar di bawah arahannya.
Kembali kepada permasalahan tadi, Roman kini menatap Cheara yang masih sibuk dengan permennya. Gadis itu tersenyum sambil memamerkan permennya yang sudah hampir habis.
“Jadi untuk jadwal les Cheara, bisa kita bicarakan, Pak?”
“Saya akan membicarakan dengan mamanya terlebih dahulu,” jawab Roman yang membuktikan kalau kemampuan marketing Rhea belum seahli itu.
“Silahkan,” balas Rhea dengan senyum terkembang. Meski ia tahu kalau jumlah kepala menentukan penghasilannya setiap bulan, tapi Rhea tidak pernah lupa kalau dari setiap rupiah yang ia terima ada jiwa yang harus senang berada di dekatnya, suka rela mendengarkan penjelasannya, mengikuti arahannya tanpa bantahan serta kecerdasan yang diupayakan berkembang pesat.
Jadi bisa dikatakan kalau Rhea menerapkan marketing dengan baik, tapi untuk keputusan tetap ia serahkan sepenuhnya kepada mereka. Dia enggan menggiring keputusan seseorang karena nanti akan berdampak terhadap dirinya sendiri.
“Terima kasih sudah datang untuk menghadiri trial class ini, Pak Ramon.”
Ramon tersenyum tipis.
“Terima kasih, Cheara,” ujar Rhea kepada Cheara yang sudah berdiri di samping Ramon.
“Thank you, Mis. Rhea. I am happy to be here with you,” puji anak itu tulus.
Rhea tentu saja tidak keberatan untuk mengutarakan hal yang sama. Karena memang begitu adanya, Cheara merupakan anak yang ceria, pun mudah untuk diarahkan.
“Selamat siang,” pamit Roman sebelum menggandeng tangan kecil Cheara dan meninggalkan Rhea dengan senyum masih setia di bibirnya.
Rhea menggeleng, apa yang baru saja ia pikirkan?
“Pria itu sudah beristeri,” gumam Rhea mengingatkan dirinya sendiri.
*
Sayangnya percuma saja Rhea mengingatkan dirinya sendiri, karena ternyata Cheara hanya seorang keponakan dari Roman yang saat ini mengajaknya berkenalan dengan resmi.
“Maaf membuatmu menunggu,” kata Roman ketika ia tiba di hadapan Rhea hari Sabtu dalam minggu yang sama.
“It’s okay.”
“Bagaimana kabarmu?” tanya pria itu basa-basi.
“Seperti yang kamu lihat, sangat cerah kalau di akhir pekan.”
Roman tersenyum. “Semua orang sepertinya bahagia di akhir minggu.”
“Memangnya kamu enggak?”
“Kadang,” jawab Roman. “Aku petugas kesehatan, satu hal yang kuharapkan tapi tidak akan pernah terjadi adalah sakit mengenal kata libur.”
Rhea tertawa.
Pria ini tiba-tiba menghubunginya dua hari yang lalu, mengajaknya berbicara dan tiba-tiba saja bahasa mereka tidak sekaku pada awalnya. Lalu tadi malam, Roman mengajaknya bertemu.
“Maaf mengambil waktu kesenanganmu,” ujar Roman tulus.
“Tidak masalah. Aku juga butuh keluar sekali-sekali.”
Giliran Roman yang tertawa. Kemudian keduanya hanyut dalam cerita hingga hening tercipta lantaran Roman menyampaikan maksud dan tujuannya.
“Sebenarnya aku igin menjadikan kamu kekasih.”
“A-pa?”
“Bukan sekedar pacar sebenarnya, aku ingin sebuah hubungan yang serius.”
Rhea terdiam. Di benaknya berputar banyak hal. Memori tentang ayahnya yang pergi kemudian tidak pernah kembali. Mimpi-mimpi yang belum ia wujudkan. Kedua adiknya, mamanya.
“Rhe?” Roman memanggil Rhea yang masih bungkam.
“A-ku.” Rhea tergagap, “Enggak bisa.”
“Kenapa?”
Lama Rhea terdiam, lalu akhirnya memutuskan untuk berterus terang. “Bisa dibilang aku memiliki ketakutan tersendiri terhadap laki-laki.”
“Pernah punya pengalaman buruk?”
Rhea mengangguk.
“Seburuk apa?”
“Perselingkuhan?”
Sekali lagi Rhea mengangguk.
“Kamu diselingkuhin?”
Sekarang Rhea tidak tahu harus menjawab apa.
“Sebenarnya aku juga pernah diselingkuhin bahkan ditinggal nikah. Jadi, kurasa kita memiliki sakit yang sama.”
Ingin sekali Rhea mengangguk, tapi ia tahu pasti kalau sakit yang mereka rasakan tidaklah sama. Roman mungkin saja disakiti oleh wanita yang pernah ia cinta, tapi dia, Rhea disakiti oleh pria yang sejak lahir menjadi cintanya.
“Jadi kita bisa sembuh bersama, Rhea. Kita bisa menciptakan bahagia kita sendiri.”
Rhea masih diam.
“So, would you be my future and let me fix you?”
Kalau Rhea menjawab iya, tidak masalah, kan? Lagi pula dia memang perlu teman untuk menyembuhkan diri.
*